16HAKTP di Flores: Konteks, Gerakan Bersama dan Agenda

Beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi melahirkan pertanyaan, sejauh mana upaya kita bersama efektif dalam mencegah dan menghapus kekerasan, terutama yang terjadi di sekitar kita?

Naskah ini ditulis Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo yang menggelar rangkaian kegiatan bertema Perempuan Melawan, Galang Solidaritas Hapus Kekerasan dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau 16HAKTP 2023. Koalisi terdiri dari Sunspirit for Justice and Peace, Yayasan Ani’s, Rumah Singgah St. Theresia, Puanitas Indonesia dan Floresa.


Sejak 1991, Women’s Global Leadership Institute yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership menginisiasi gerakan 16 Days of Activism Against Gender Violence, sebuah kampanye internasional dalam rangka mendorong upaya-upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh dunia.

Di Indonesia, gerakan yang sama mulai digalakkan sepuluh tahun sesudahnya, yakni pada 2001 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan], dengan nama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau 16HAKTP.

Kampanye 16HAKTP ini berlangsung tahunan, mulai 25 November, bertepatan dengan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga Hari Hak Asasi Manusia pada 10 Desember, dua peringatan yang  dihubungkan secara simbolik atas dasar kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran HAM.

Tema global yang diusung oleh UN Women dalam peringatan 16 Days of Activism against Gender-Based Violence 2023 adalah “UNITE! Invest to prevent violence against women and girls.”  

Tema ini mendorong partisipasi aktif negara-negara dalam mengalokasikan anggaran untuk pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tema ini juga mendorong solidaritas antara gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia.

Refleksinya berangkat dari kenyataan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih merupakan salah satu kekerasan dan pelanggaran HAM yang paling umum dan meluas di seluruh dunia, kendati banyak negara telah memiliki undang-undang anti kekerasan terhadap perempuan.

Secara global, menurut UN Secretary General’s Campaign UNiTE, diperkirakan terdapat 736 juta perempuan, atau satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangan dan dari orang lain, atau setidaknya keduanya, sekali dalam hidup mereka.

UN Woman berpandangan bahwa kondisi tersebut diperparah oleh situasi dunia yang tidak stabil yang dipicu krisis ekonomi, konflik yang berkepanjangan, dan perubahan iklim.

Konteks Flores

Di Indonesia, juga Flores khususnya belakangan ini, situasinya juga tidak kalah mengkhawatirkan.

Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan lewat berbagai lembaga layanan di berbagai daerah selama 2022. Sementara yang dilaporkan secara langsung ke Komnas Perempuan adalah 4.371 kasus. Itu berarri berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 17 kasus  per hari.

Data pengaduan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2022 didominasi kekerasan seksual [2.228 kasus/38.21%], diikuti kekerasan psikis [2.083 kasus/35,72%]. Sedangkan data dari lembaga layanan didominasi kekerasan fisik [6.001 kasus/38.8%], lalu kekerasan seksual [4.102 kasus/26.52%%].

Sementara di Flores, kita bisa merujuk pada beberapa data berikut yang tersedia, yang memperlihatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kian marak.

Dalam empat tahun terakhir, tercatat 47 kasus kekerasan seksual di wilayah hukum Polres Manggarai Barat, di mana korban umumnya anak di bawah umur.

Rumah Singgah St. Theresia yang dikelola para biarawati SSpS di Labuan Bajo mencatat, selama tahun 2019 hingga 2022 mendampingi korban dari 15 kasus kekerasan seksual dan 27 kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Juga terdapat 5 kasus pemerkosaan selama tahun 2020 dan 2021.

Sementara itu, pada tahun 2023 jumlah kasus yang didampingi rumah singgah tersebut meningkat signifikan, yaitu 27 kasus kekerasan seksual, tujuh kasus pemerkosaan dan 34 kasus KDRT.

Data-data tersebut belum termasuk beberapa kasus terakhir yang terjadi, misalnya kekerasan seksual oleh ayah terhadap anak kandung dan oleh pemuka agama terhadap santri di Manggarai Timur. 

Tidak termasuk dua kasus itu, kabupaten tersebut mencatat 12 kasus kekerasan seksual terhadap anak selama tahun ini, 11 di antaranya adalah pemerkosaan.

Sementara itu, di beberapa wilayah konflik akibat proyek pembangunan, misalnya geothermal Wae Sano dan Poco Leok, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, dan privatisasi bisnis dalam kawasan Taman Nasional Komodo, kelompok perempuan yang menjadi garda terdepan menuntut keadilan dari negara justeru mengalami tindakan kekerasan oleh aparat keamanan. 

Padahal, tuntutan keadilan dari kaum perempuan tersebut lahir karena mereka mengalami situasi yang semakin rentan, di mana sumber daya, penghidupan, dan lingkungan sekitar mereka terancam rusak oleh pembangunan.

Selain itu, angka Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang sebagian besar menempatkan perempuan sebagai korban, juga masih sangat tinggi di seluruh Provinsi NTT.

Secara nasional, menurut Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), 80 persen korban TPPO adalah perempuan.

Hingga bulan Juni 2023,  ada 2.204 jenazah pekerja migran Indonesia [PMI] korban TPPO yang dipulangkan,  terbanyak berasal dari NTT yang mencapai 55 peti jenazah.

Kepolisian Daerah NTT mengatakan, selama tahun 2023 terdapat 255 korban TPPO, termasuk 104 pekerja migran non-prosedural yang meninggal di luar negeri. Selama 5 tahun terakhir, tercatat 514 PMI meninggal di luar negeri, di mana 505 orang adalah PMI non-prosedural.

Butuh Gerakan Bersama

Kasus-kasus tersebut kemudian melahirkan pertanyaan reflektif; sejauh mana upaya kita bersama sudah efektif dalam mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di sekitar kita?

Dalam kenyataan, isu kekerasan terhadap perempuan dan anak tampaknya belum mendapat perhatian serius, baik dari pemerintah maupun publik luas.

Sayangnya pula, gerakan pendampingan dan advokasi atas kasus-kasus tersebut kebanyakan dilakukan oleh kelompok atau organisasi perempuan yang masih sporadis, terpecah-pecah dan tanpa dukungan yang signifikan dari berbagai pihak.

Gerakan perempuan yang peduli pada isu kekerasan dan pendampingan korban juga bisa dikatakan terputus, belum mampu membangun jejaring yang kuat dan luas demi mencapai misi bersama mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Karena itulah, pada peringatan 16HAKTP 2023, Koalisi 16HAKTP Labuan Bajo, Flores menginisiasi kegiatan bertema“Perempuan Melawan; Galang Solidaritas Hapus Kekerasan”, bagian dari gerakan bersama yang digaungkan secara global dan nasional dalam rangka 16 Days of Activism against Gender-Based Violence 2023.

Kegiatan punya beberapa tujuan. Pertama, diseminasi pengetahuan agar isu kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi isu bersama publik. Kedua, membangun solidaritas bersama atas dasar kesadaran bersama bahwa perjuangan anti kekerasan adalah perjuangan bersama melawan pelanggaran HAM.

Ketiga, mempertemukan gerakan perlawanan perempuan, khususnya di Flores, NTT agar menjadi jejaring yang terhubung kuat satu sama lain, dalam rangka pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perlindungan bagi korban dan penyintas kekerasan.

Agenda

Koalisi ini, yang terdiri atas beberapa lembaga, yakni Sunspirit for Justice and Peace, Puanitas Indonesia, Yayasan Ani’s, Rumah Singgah St. Theresia dengan media partner Floresa mengundang semua pihak, mulai dari pemerintah, lembaga non-pemerintah, aktivis HAM, akademisi, mahasiswa, pelajar, dan publik luas di Labuan Bajo dan sekitarnya untuk terlibat dalam aneka kegiatan.

Pertama Ruang Tuang Pikiran, yaitu kesempatan membuat karya tulisan dalam berbagai bentuk (opini, esai, cerpen, karikatur, infografis, dll) yang akan dipublikasi melalui situs dan media sosial Floresa.

Kedua,  Gender on School dalam bentuk road show ke beberapa Sekolah Menengah Atas di wilayah Labuan Bajo; dengan memfasilitasi workshop sehari tentang Hak Kesehatan Seksual Reproduksi dan Dasar Pengetahuan Gender.

Ketiga, Seri Diskusi Online “Upaya Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak”, yang menghadirkan pembicara dari Komnas Perempuan dan aktivis perempuan dari NTT.

Rangkaian acara ini ditutup dengan  kegiatan keempat, berupa workshop “Indonesia Darurat Stunting,” Meditation Day, pameran instalasi seni ruang, seni pertunjukan dan Rilis Komitmen Kolektif Manggarai Barat Nol Kekerasan Berbasis Gender.

Dengan beragam inisiatif ini, kami mengajak publik luas untuk bergerak, menggalang solidaritas agar bersama-sama melawan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Baca tulisan lainnya terkait kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [16HAKTP] 2023 bertajuk “Perempuan Melawan, Galang Solidaritas Hapus Kekerasan,” dengan klik di sini

Artikel Terkini