Floresa.co – Puluhan organisasi masyarakat sipil menyerukan reformasi kepolisian merespons kekerasan terhadap aktivis dan penyintas perempuan dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia.
Dalam keterangan yang diperoleh Floresa, mereka menilai kekerasan saat unjuk rasa di Jakarta pada 1 Agustus tersebut merupakan “bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelecehan terhadap hak warga negara untuk menyampaikan pendapat secara damai.”
Mereka pun menyerukan “usut dan tindak tegas aparat yang melakukan kekerasan dan reformasi kepolisian!”
Pernyataan ini didukung oleh puluhan organisasi masyarakat sipil, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Solidaritas Perempuan dan Koalisi Buruh Migran Berdaulat.
Unjuk rasa Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang diperingati 30 Juli itu berlangsung di depan Kantor Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan.
Pesertanya merupakan aktivis dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Sumatra Environmental Initiative dan para penyintas perdagangan orang di sektor darat dan laut.
Koalisi mengklaim, selama aksi, aparat kepolisian yang seluruhnya adalah laki-laki melakukan provokasi dan kekerasan verbal serta fisik terhadap massa aksi, khususnya aktivis dan perempuan penyintas perdagangan orang.
“Sangatlah jelas bahwa kepolisian telah melanggar peraturannya sendiri terkait dengan pengamanan aksi yang menjunjung tinggi HAM, terutama bagi perempuan,” tulis mereka.
Aksi tersebut terjadi dua hari usai SBMI meluncurkan laporan advokasi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang mengungkap sulitnya korban TPPO mendapatkan kepastian pemulihan dan keadilan hukum.
Dalam laporan itu, SBMI mencatat sejak 2014 hingga 2025 setidaknya ada 25 laporan polisi dan aduan masyarakat yang tidak menunjukkan perkembangan penanganan yang signifikan.
Laporan itu juga mengungkap bahwa hingga kini kejaksaan belum mengeksekusi hak restitusi korban yang kasusnya telah diputus pengadilan, dengan nilai lebih dari Rp5,6 miliar.
Selama aksi, mereka menyerukan agar pemerintah serius memberantas perdagangan orang yang berlangsung secara terstruktur, sistematis dan terorganisir.

Koalisi menyatakan, provokasi dan kekerasan berulang oleh aparat kepolisian dalam penanganan unjuk rasa itu menunjukkan watak dan wajah rezim kekuasaan yang bertendensi membungkam suara masyarakat sipil.
Karena itu, mereka mendesak Kapolri, Listyo Sigit Prabowo yang juga menjadi Ketua Harian Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO segera “menindak tegas personel kepolisian yang melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap massa aksi, khususnya terhadap peserta perempuan.”
Mereka juga mendesak Inspektorat Pengawasan Umum Polri mengadili pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh aparat yang terlibat, serta meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan tersebut.
Selain itu, mereka mendesak Komisi Kepolisian Nasional melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perilaku kekerasan aparat dalam berbagai unjuk rasa masyarakat sipil.
“Berbagai bentuk represi yang dilakukan aparat menunjukkan pola kekerasan yang berulang dan tidak ditangani secara serius oleh negara,” tulis mereka.
Mereka menekankan pentingnya jaminan perlindungan terhadap pembela HAM, termasuk mereka yang selama ini aktif dalam kerja-kerja advokasi hak buruh migran.
Mereka juga mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), sebagai langkah untuk menghentikan kriminalisasi terhadap para aktivis.
Editor: Herry Kabut