Dalam Ketidakadilan terhadap Perempuan, Pria di Mana?

Setiap komunitas mesti membuka “ruang bicara,” mengajak perempuan berkumpul dan bercerita, dengan privasi yang dijaga dengan baik, sambil memberi jalur-jalur yang perlu diambil dengan berani, ketika mengalami kekerasan.

Oleh: Valerian Karitas

Ketidakadilan atas perempuan selalu terjadi, sekurang-kurangnya dalam dua bentuk: “haram” dalam kesamaan hak mengambil keputusan, dan “halal” dalam kesendirian menanggung akibat keputusan. Budaya patriarki meminggirkan peran perempuan dalam mengambil keputusan, bahkan atas diri mereka sendiri.

Hal ini berlaku, bahkan untuk hal-hal yang diberi label “perempuan,” misalnya keluarga ibu atau keluarga perempuan dalam hubungan pernikahan. Meskipun peran keluarga perempuan atau keluarga ibu amat dijunjung tinggi, pengambil keputusan dalam keluarga perempuan atau keluarga ibu adalah laki-laki.

Bagian kedua dari ketidakadilan terhadap perempuan, adalah pola pikir “wajar” atas penderitaan atau kesulitan yang ditimpakan atas perempuan. Narasi kekerasan adalah narasi yang “wajar”, “aman”, dan “biasa,” jika dikenakan pada perempuan. Tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan menunjukkan bahwa kekerasan atas kaum perempuan adalah sesuatu yang dianggap wajar dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, sikap bungkam perempuan, termasuk dalam kesetiaan mereka mencari perlindungan dalam kehidupan beragama atau berkomunitas, seringkali menjadi “pembenaran” atas anggapan tersebut oleh perempuan itu sendiri.

Selama berpastoral, saya menemukan bahwa sebagian besar narasi penderitaan dalam kehidupan selalu datang dari perempuan.

Ada dua alasan dan bukti pola pikir “wajar” ini yang bisa ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Pertama, ketidakadilan dalam pembangunan adalah “wajar” bila ditimpakan kepada perempuan. Kesulitan air bersih, buruknya sarana transportasi, jauhnya akses sarana kesehatan, dan perampasan sumber daya alam dan ruang hidup, adalah narasi ketidakadilan terhadap perempuan. Jarang sekali ada yang menyuarakan tentang itu.

Pola pikir ini diperparah oleh, – menurut anggapan saya – , beban kerja perempuan dalam masyarakat tradisional dan agraris yang semakin besar. Jenis pekerjaan yang tidak mendatangkan keuntungan finansial secara langsung [tidak dapat uang] adalah pekerjaan perempuan.

Situasi perantauan yang mengharuskan laki-laki meninggalkan keluarga untuk mendapat pekerjaan yang layak juga memperparah kondisi ini. Dalam konteks ini, ketidakadilan pembangunan yang dikenakan pada masyarakat kelas bawah pasti akan ditimpakan kepada perempuan. Bila ada masalah, jelas perempuan adalah yang pertama yang mesti dipersalahkan.

Kedua, pandangan yang merendahkan perempuan dalam berbagai kebudayaan seringkali dikaitkan dengan potensi “dosa” yang dilakukan oleh perempuan dengan seluruh dirinya bagi masyarakat. Dalam Gereja dan pandangan agama, perempuan seringkali disandingkan dengan kecenderungan untuk berdosa.

Beberapa pandangan “salah kaprah,” misalnya, menghubungkan kasus Hawa dengan dosa perempuan. Tuduhan dan “hukuman” atau akibat “dosa” menjadi lumrah, jika ditanggung perempuan. Maka, setiap persoalan, di dalam rumah, dalam masyarakat, menjadi lumrah jika dibebankan kepada perempuan. Perempuan yang datang ke Gereja atau dekat dengan Gereja pasti bawa beban. Mereka memikul semua beban keluarga, keluarga besar, masyarakat, pekerjaan dan sebagainya. Gereja dan masyarakat menganggap hal ini sebagai sesuatu yang lumrah.

Pola pikir ini melahirkan anggapan bahwa perempuan “layak” menderita, atau sekurang-kurangnya penderitaan atas perempuan adalah sesuatu yang biasa dan dianggap wajar.

Pola ketidakadilan ini adalah sesuatu yang menarik, sebab perempuan dihilangkan dalam pengambilan keputusan, tetapi dimunculkan sendiri, dikuliti, dan diadili sendiri dalam narasi dosa dan penderitaan, dan itu “wajar”.

Membaca Yohanes 8:1-11: Pria di Mana?

Kisah perempuan yang dibawa oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi kepada Yesus dengan tuduhan berzinah bisa menjadi acuan dalam membaca fenomena kekerasan terhadap perempuan. Ada beberapa poin penting dan menarik dari kisah ini.

Pertama, perempuan itu sendirian. Dosa zina [hubungan seksual tanpa ikatan nikah] adalah dosa sekurang-kurangnya dua orang, perempuan dan laki-laki. Dalam kasus ini, perempuan ini sendirian. Laki-laki yang terlibat dalam perbuatan zina itu tidak dihadirkan. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang menguasai Hukum Musa seharusnya tahu bahwa dalam kasus zina, laki-laki juga mesti dihukum mati [bdk. Ul. 22:22].

Kepada Yesus, mereka hanya membawa perempuan, menguliti kejahatannya, lengkap dengan hukuman yang akan diterimanya menurut hukum Musa, sendirian. Dalam injil mereka memang berniat “mencobai Yesus” [Yoh 8:6], dan mereka membawa perempuan, contoh yang “wajar” untuk hukuman atas perbuatan jahat.

Kedua, gugatan Yesus. Yesus secara langsung menggugat penghakiman mereka. “Orang yang tidak berdosa di antara kalian hendaklah dia menjadi yang pertama melempar perempuan ini dengan batu.” [Yoh 8:7].

Yesus menggugat rasa ‘tidak berdosa’ mereka, sekaligus “kepergian” para “laki-laki”, yang seharusnya secara nurani menanggung dosa yang sama. Kejahatan, bahkan yang paling pribadi sekalipun, bersifat sosial. Karena itu tidak benar, apalagi dalam kasus zina, bahwa perempuan diadili sendirian, dan yang lain menghakimi tanpa “merasa berdosa” atau “turut berdosa”. Dalam hal ini, rasa “wajar” mereka atas kesendirian perempuan itu menanggung hukuman atas dosa zina digugat oleh Yesus.

Ketiga, “ruang bicara”, keberpihakan gaya Yesus. Setelah “mempersatukan” tanggungan atas kejahatan kepada mereka semua, Yesus memulai kehadiranNya kepada perempuan itu dengan dialog. “Lalu, Yesus berdiri dan berkata kepada perempuan itu, ‘Hai perempuan, ke manakah mereka? Tidak adakah orang yang menghukummu?’,” [Yoh 8:10].

Keberpihakan, yang menjadi kunci pengampunan dan kasih, mesti dimulai dari kesediaan “mengajak bicara.” Yesus tidak pernah menganggap remeh dosa perempuan itu. Sebaliknya, Yesus membuka “ruang bicara.” Yesus mau bersama perempuan itu, membuka ruang “bicara,” kunci utama keadilan, kasih dan dengan demikian, penghargaan terhadap martabatnya sebagai manusia.

Yesus menghentikan cara “jaga jarak,” yang berpotensi menuduh dan menyudutkan perempuan, dan membuat situasi “wajar” atas penderitaan dan hukuman yang mesti ditanggung wanita itu. “Jawab perempuan itu, ‘Tidak ada, Tuhan.’ Yesus berkata, ‘Aku pun tidak akan menghukummu. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi.’ [Yoh. 8:11]

Membaca Kita: Pria di mana, Kita di Mana?

Kekerasan terhadap perempuan mesti dihentikan dalam segala aspek kehidupan. Pola pikir yang menganggap lumrah persoalan ini juga mesti disikapi serius dalam segala aspek, baik religius, sosial, budaya, dan hati nurani setiap orang. Gugatan kesendirian perempuan: pria di mana, juga menjadi gugatan atas kita: kita di mana.

Berkaca pada sikap Yesus, bagian pertama dari cara kita menghentikan pola kekerasan terhadap perempuan adalah membuka “ruang bicara”. “Ruang bicara” perempuan mesti dibuka selebar-lebarnya atas beberapa alasan penting.

Pertama, kekerasan hanya dapat dihentikan dengan “dibicarakan”. Penegakan hukum sekuat apapun, tanpa kesediaan komunitas atau masyarakat untuk membicarakannya, tidak akan menghentikan pola kekerasan terhadap perempuan. Membicarakan kekerasan dapat membongkar kekerasan yang seringkali menjadi “privasi,” yang dalam kenyataannya hanya dikenakan pada perempuan sebagai korban.

Kedua, “ruang bicara” memastikan keterlibatan lebih banyak pihak. Dengan mengajak sebanyak-banyaknya orang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, kita melibatkan semakin banyak orang. Kekerasan terhadap perempuan mesti menjadi topik pembicaraan di sekolah, di gereja, di masjid, di dalam urusan adat atau agama – khususnya tentang pernikahan – , dan dalam program-program pemerintah. Tanpa membuka opsi keterlibatan melalui “ruang bicara,” kita menyiapkan “hakim-hakim” yang selalu akan menyudutkan perempuan, dan menganggap “lumrah” kekerasan terhadap perempuan.

Ketiga, “ruang bicara” memastikan perempuan berbicara. Perempuan mesti menolak diam dalam pembicaraan tentang kekerasan. Perempuan mesti diberi “ruang bicara,” mendiskusikan dan membicarakan apa yang mereka alami.

Karena itu, wadah perlindungan terhadap perempuan, baik dalam komunitas agama, pemerintah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, mesti menjadi “ruang cerita”. Wadah ini jangan hanya dipenuhi dengan sosialisasi pola top–down, atau menunggu kasus untuk memberi perlindungan kepada korban.

Setiap komunitas mesti membuka “ruang bicara,” mengajak perempuan berkumpul dan bercerita, dengan privasi yang dijaga dengan baik, sambil memberi jalur-jalur yang perlu diambil dengan berani, ketika mengalami kekerasan.

Perempuan tidak boleh dibiarkan sendirian dalam siklus kekerasan. Hanya dengan melibatkan semua orang untuk mengalami kekerasan itu dalam “cerita bersama”, kekerasan itu dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Valerian Karitas adalah Imam Diosesan Keuskupan Ruteng, sedang belajar di John Paul II Catholic University, Lublin, Polandia

Baca tulisan lainnya terkait kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [16HAKTP] 2023 bertajuk “Perempuan Melawan, Galang Solidaritas Hapus Kekerasan,” dengan klik di sini

Artikel Terkini