Saya Diperkosa Saat Berlibur di Labuan Bajo, Hingga Kini Masih Terus Mencari Keadilan

Seorang perempuan yang tiga tahun lalu diperkosa saat berlibur di Labuan Bajo mengisahkan perjuangannya mencari keadilan, di tengah sikap polisi yang mempersulit dan justru menyalahkannya. Kasus ini telah beberapa kali diulas Floresa. 

Trigger Warning: Artikel ini mengandung konten eksplisit terkait pemerkosaan yang dapat memicu kondisi emosi dan mental Anda. Anda bisa memutuskan tidak melanjutkan membacanya, jika merasa tidak siap.

Malam itu, 12 Juni 2020, lima orang pria datang ke rumah tempat saya tinggal selama berlibur di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat.

Mereka beralasan ingin duduk-duduk dan mengobrol santai sebelum saya kembali ke Pulau Jawa.

Inisial mereka adalah SF, NL, HB, AP, dan KD, yang semuanya bekerja sebagai pemandu wisata atau tour guide.

Di rumah itu saya tinggal dengan seorang kenalan perempuan, inisialnya E.

Di luar dugaan, malam itu, E justru ikut membantu kelompok pria biadab ini memperkosa saya.

E dan HB mengatur pertemuan itu. Mereka memastikan saya ada di lokasi. HB juga berperan  membawa minuman beralkohol jenis soju, yang saya duga bagian dari skenario untuk memperkosa saya.

Tidak butuh waktu lama, saya langsung hilang ingatan dan tidak sadarkan diri setelah meneguk minuman tersebut.

Meski tidak melihat sendiri, namun saya menduga malam itu minuman tersebut dicampuri obat-obatan tertentu untuk bisa melumpuhkan saya.

Segera setelah saya tidak sadarkan diri, E memberikan akses kepada SF dan NL untuk membawa saya ke kamar. Di sanalah, mereka berdua memperkosa saya, secara bergantian.

Berdasarkan keterangan E dalam pembicaraan dengan saya beberapa hari usai kejadian itu, AP menunggu di teras sampai larut malam saat saya diperkosa.  Sementara HB dan KD segera pulang setelah saya berhasil dilumpuhkan.

Keesokan harinya, setelah menyadari bahwa saya telah diperkosa dalam keadaan tidak sadarkan diri, saya yang seharusnya balik ke Pulau Jawa, memilih membatalkan tiket pesawat.

Saya menangis di Bandara Komodo Labuan Bajo, lalu memutuskan mendatangi Polres Manggarai Barat, melaporkan kasus ini.

Setelah mengambil keterangan, polisi kemudian mengarahkan saya melakukan visum di RSUD Komodo.

Karena ingin memastikan jenis obat yang membuat saya kehilangan kesadaran saat kejadian, saya meminta kepada polisi agar saya bisa menjalani tes urine.

Namun, keanehan mulai muncul. Polisi yang mendampingi saya, bernama Budiman, mempersulit saya mendapatkan tes tersebut. Padahal, semua biaya visum, juga tes urine itu saya tanggung sendiri.

Setelah perdebatan yang panjang, ia berkata bahwa atasannya telah memberi izin melakukan tes urine.

Proses visum belum selesai, Budiman memutuskan pulang, meninggalkan saya sendirian.

Sebelum pergi, ia meminta uang sebesar Rp780.000, yang ia sebut sebagai biaya administrasi untuk visum.

Terjadi lagi keanehan berikut, karena usai tes urine itu, salah satu perawat di RSUD Komodo mengatakan ada masalah dengan hasilnya.

Ia berkata, hasil tes tidak bisa saya dapat langsung hari itu, tetapi akan diperoleh bersamaan dengan hasil visum.

Kejanggalan yang alami dalam upaya mencari keadilan tidak hanya soal tes urine itu. 

Saat mengisi Berita Acara Pemeriksaan, saya dipaksa untuk mengaku sehat oleh Putu Lia, seorang polisi di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Manggarai Barat.

Padahal, saat itu saya merasakan sakit dada yang amat sangat, kesulitan bergerak, bernafas, dan merasa sakit saat bersin atau batuk.

Ia juga mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang justru menjebak saya dan berpotensi meringankan pelaku.

Di sisi lain, pencarian bukti justru di beban kepada saya.

Saya harus mengumpulkan sendiri botol-botol minuman yang kami konsumsi malam itu dan menyerahkannya kepada polisi.

Saya sendiri yang juga berinisiatif memberikan semua salinan percakapan antara saya dan para pelaku melalui aplikasi WhatsApp dan Instagram.

Kejanggalan kembali terjadi ketika kemudian saya mendapat hasil visum. Ternyata hasil tes urine tidak muncul, seperti yang dijanjikan perawat di RSUD Komodo.

Saat saya tanyakan ke Putu Lia, ia malah menyuruh saya menanyakan sendiri ke RSUD Komodo. Ia beralasan, tes itu bukan tanggung jawab polisi dan tidak berhubungan dengan kasus yang saya alami.

Sementara itu, polisi tetap bersikeras bahwa saya tidak memiliki cukup bukti dan terus-menerus membebani saya untuk mengumpulkan bukti-bukti lainnya.

Polisi juga menganggap luka luka lebam pada tubuh dan vagina saya tidak cukup untuk membuktikan bahwa yang saya alami adalah pemerkosaan.

Karena kasus itu membuat saya terus mengalami trauma, saya tidak menyerah.

Salah satu yang saya kejar adalah kejelasan hasil tes urine. Saya lalu berusaha mencari kontak RSUD Komodo melalui internet.

Singkat cerita, saya akhirnya dihubungkan dengan Dokter Andre Sitepu, Kepala Bidang Pelayanan Medik rumah sakit itu. Awalnya ia merespons pesan saya di WA. 

Namun, ketika saya kemudian meminta ia mengirim hasil tes urine, ia tidak membalas lagi pesan saya.

Saya kemudian melaporkan kasus ini ke Komnas Perempuan di Jakarta. Salah satu komisionernya, Siti Aminah kemudian mengirim surat kepada Kapolres Manggarai Barat untuk segera menindaklanjuti laporan saya dan menahan SF dan NL.

Menurut Komnas Perempuan,, semua alat bukti sudah cukup.

Berbarengan dengan itu, saya juga terus-menerus menanyakan perkembangan kasus ini ke Polres Manggarai. Salah satu yang saya hubungi terus adalah Putu Lia. Ia sempat mengarahkan saya pada atasannya, bernama Marianus Demon Hada.

Dalam pembicaraan dengan Marianus, ia berkata akan segera membalas surat Komnas Perempuan. Namun, surat tersebut rupanya tidak pernah dibalas.

Melihat Polres Manggarai Barat sudah tidak berpihak kepada saya, saya pun melaporkan kasus ini ke Polda NTT di Kupang.

Laporan saya diterima dengan baik dan mereka berkata akan segera melakukan gelar perkara di Polres Manggarai Barat. Anehnya saya tidak pernah dilibatkan dalam proses gelar perkara tersebut. Kasus ini kemudian didiamkan.

Karena kecewa, saya kemudian membuat laporan ke Mabes Polri di Jakarta. Selang seminggu setelah laporan saya kirim, Kapolda NTT meminta saya dan pengacara saya, Bu Siti Sapurah atau Ipung,  melalui salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan pertemuan di Hotel Sultan Jakarta.

Karena tidak ada keterbukaan tentang apa yang akan dibahas, saya dan Ipung memutuskan untuk tidak ikut pertemuan tersebut.

Pada Agustus 2023, Komnas Perempuan kembali menulis surat ke Polres Manggarai Barat. Namun, surat itu juga tidak dibalas.

Saya pun memberanikan diri untuk menceritakan kisah saya di platform X pada September 2023. Dari kisah itu, media mulai memberitakan kasus ini, termasuk Floresa. 

Ketika jurnalis Floresa membantu mengecek laporan saya di Polres Manggarai Barat, bukannya menunjukkan empati kepada korban, Karina Viktoria Anam yang merupakan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak justru menuduh saya sebagai pelaku karena telah memaksa SF dan NL untuk berhubungan seksual.

Ia juga kesal ketika saya menulis kisah di platform X. Ia sempat berkata akan memviralkan saya balik, meskipun pada akhirnya ia menyebut pernyataan tersebut hanyalah sebuah candaan.

Menurut Karina, tidak ada alasan untuk menindaklanjuti kasus ini dan laporan ini sudah ditutup.

Kabar terakhir Karina telah dicopot, sementara Polres Manggarai Barat memilih untuk diam membicarakan kasus ini.

Jurnalis juga berusaha membantu mencari kejelasan hasil tes urine saya di RSUD Komodo.

Dokter Andre dalam pernyataannya kepada Floresa beralasan hasil tersebut sudah ia berikan pada polisi dan lupa membalas pesan saya.

Namun, ketika ditanya nama polisi yang telah mengambil hasil tes urine saya, Dokter Andre memilih untuk bungkam. Saat saya menghubunginya via WhatsApp, ia juga tidak merespons.

Kini, saya tetap terus berjuang untuk bisa mendapatkan keadilan.

Saat ini saya masih dalam pendampingan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang mendiagnosa saya mengalami trauma berat.

Dari kasus ini, saya berkesimpulan bahwa menjadi korban kekerasan seksual tidaklah mudah.

Selain harus tetap berjuang hidup bersama trauma, korban juga harus berhadapan dengan dengan tantangan lain; disalahkan, dianggap sebagai sumber masalah.

Belum lagi aparat penegak hukum seperti polisi yang seharusnya berpihak kepada korban justru melindungi pelaku.

Sebagai perempuan saya merasa perlu tetap berani bersuara. Saya meyakini, kita semua berhak untuk hidup dengan aman dimanapun kita berada.

Jangan biarkan para predator seksual bergerak bebas dan mencari korban-korban lainnya.

Hingga saat ini para pelaku pemerkosaan terhadap saya masih bebas berkeliaran di luar sana.

Mereka masih bekerja sebagai tour guide di Taman Nasional Komodo.

Baca tulisan lainnya terkait kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [16HAKTP] 2023 bertajuk “Perempuan Melawan, Galang Solidaritas Hapus Kekerasan,” dengan klik di sini

Artikel Terkini