Pantai Pede, Pantainya Kaum Marhaen

Bung Karno menegaskan bahwa kaum marhaen adalah orang-orang kecil yang memiliki tanah dan alat produksi sendiri namun ‘terbelenggu’ oleh sistem ekonomi-politik maupun sistem kekuasaan, seperti pada masa penjajahan, sehingga dia tetap miskin, bahkan makin miskin.

Dengan demikian, marhaenisme cakupannya lebih luas dari sekadar proletar dalam sistem perburuan yang terjadi di Eropa.

Akhir-akhir ini, polemik Pantai Pede kembali mencuat. Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di bawah kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya tetap ngotot memperjuangkan pembangunan di Pantai Pede, pantai satu-satunya yang tersisa untuk rakyat Mabart.

Alasannya juga hanya berkutit pada pembukaan lapangan pekerjaan, pendapatan asli daerah (PAD) dan infrastruktur pariwisata yang akhir-akhir ini semakin masif di Mabar, namun masyarakatnya hanya jadi penonton di tanahnya sendiri.

Wilayah pesisir pantai di Labuan Bajo sebagian besar sudah jatuh kepada kepemilikan pribadi. Panjang pesisir pantai yang seluruhnya 30 km di sebelah utara, barat dan selatan, kini hanya sisa sebagian kecil di sebelah barat yakni Pantai Pede yang panjangnya cuma sekitar 1 km.

Area tersisa inilah yang hendak diprivatisasi oleh PT. Sarana Investama Manggabar, perusahaan milik Setya Novanto.

Sementara itu pro-kontra antara aktivis mengenai strategi dan konsep perjuangan berakhir tragis dengan membelotnya beberapa aktivis yang sebelumnya ngotot mempertahankan Pantai Pede.

Bagi saya, persoalan ketidaksepahaman strategi dan taktik adalah persoalan biasa dalam setiap perjuangan. Bung karno dan Syarir saja dalam membangun bangsa sering berbeda pandang soal strategi dan taktik ini.

Menariknya, walaupun kedua tokoh bangsa ini berbeda pendapat soal strategi, mereka masih mempertahankan asas perjuangan untuk kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam konteks Pede, asas perjuangan kita adalah menolak privatisasi untuk kesejahteraan rakyat Mabar. Hal ini berangkat dari suatu pengalaman empiris bahwa privatisasi maupun investasi yang sekarang membanjir selalu menempatkan rakyat kecil sebagai orang-orang kalah.

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA