Bupati Sampah dan Krisis Telinga Kekuasaan

Momen ketika seorang bupati keluar dari kantornya dengan muka merah, lalu memimpin sendiri barisan penghadang, adalah sinyal kuat bahwa kekuasaan tak lagi dikelola dengan kesadaran

Oleh: Ernestus Holivil

Saya menulis ini dengan rasa getir dan marah yang tertahan. Kalau bupati bisa marah, kenapa saya tidak?

Marah bukan semata karena Bupati Manggarai Herybertus GL Nabit mengamuk saat demo warga Poco Leok pada 5 Juni, tapi karena potret kecil itu memantulkan bayangan besar: betapa etika kekuasaan kita sedang ambruk pelan-pelan. 

Ego lebih cepat ketimbang akal sehat. Jabatan lebih sibuk membalas kritikan ketimbang mendengar jeritan. 

Di Manggarai, panas matahari kalah oleh panas kepala seorang bupati yang murka disebut “sampah” karena kebijakannya yang mengabaikan jeritan warga. 

Aksi damai warga adat Poco Leok berubah ricuh hanya karena satu kalimat yang meluncur dari pengeras suara: “Kami panggil Anda itu sampah orang Poco Leok karena kamu itu pembohong besar, penipu.”

Bukan proyek geotermal yang meledak, tapi ego kekuasaan yang meletup di tengah jalan-dan serpihannya mengenai martabat jabatan publik itu sendiri.

Bagi saya, kemarahan seorang pejabat publik yang tidak tahan dihina mencerminkan krisis paling mendasar kepemimpinan hari ini: alergi terhadap kritik. 

Alih-alih bersikap tenang dan bijak, sang bupati memilih menghadang warganya sendiri bersama gerombolan loyalis dan pejabat daerah. 

Artinya, jarak antara rakyat dan penguasa berubah begitu drastis—dari panggung kampanye ke barikade jalanan yang garang.

Alergi Kritik

Tulisan ini bukan terkait persoalan dampak proyek goetermal, melainkan analisis cara kuasa merespons perlawanan terhadap proyek itu. 

Inti persoalannya adalah kekuasaan yang alergi terhadap kritik. Ketika seorang pemimpin lebih cepat tersinggung daripada berpikir, lebih reaktif daripada reflektif, maka yang kita hadapi bukan krisis teknis pembangunan-tetapi krisis etika jabatan publik.

Warga Poco Leok bukan pendemo musiman. Mereka sudah lebih dari 30 kali turun ke jalan. 

Suara yang digaungkan pun sama: tanah mereka sakral, tidak untuk dijual ke mesin. Rumah adat, tempat ritual, kebun-kebun leluhur—itu semua bukan sekadar lahan fisik, tapi ruang hidup spiritual yang tak bisa ditukar dengan megawatt listrik. 

Namun, lebih dari 30 kali mereka bersuara, lebih dari 30 kali pula suara itu dipinggirkan.

Sikap ini menandakan gejala yang lebih dalam dari sekadar “tersinggung.”

Ini adalah gejala dari apa yang disebut Jacques Lacan sebagai “narsisme kekuasaan”—ketika simbol jabatan menjadi cermin identitas diri dan setiap serangan terhadap simbol itu dianggap ancaman terhadap eksistensi pribadi.

Dalam struktur semacam ini, pemimpin tidak lagi mewakili rakyat, tapi mewakili bayangan ideal tentang dirinya sendiri. 

Maka, ketika warga meneriakkan “Bupati Sampah,” yang terluka bukan kebijakan, tapi harga diri personal yang dibangun rapuh.

Momen ketika seorang bupati keluar dari kantornya dengan muka merah, lalu memimpin sendiri barisan penghadang, adalah sinyal kuat bahwa kekuasaan tak lagi dikelola dengan kesadaran. 

Bahkan, aparat birokrasi ikut dalam barisan loyalis, menjadikan institusi negara sebagai alat pembalasan rasa tersinggung.

Michel Foucault menyebut ini sebagai bentuk microphysics of power—kekuasaan bekerja dengan menanam rasa takut, menciptakan kontrol sosial melalui simbol dan gestur.

Ironinya, semua ini terjadi dalam proyek yang dibiayai oleh bank asal Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). 

Di atas kertas, proyek ini membawa misi mulia: transisi energi bersih. Tapi di lapangan, transisi ini terasa seperti kolonialisme baru: datang tanpa bicara, membangun tanpa mendengar. Energi bersih yang dimulai dengan mengotori martabat warga. 

Lalu, apa bedanya dengan rezim yang memaksa rakyat tunduk demi jalan tol atau bendungan?

Kembali ke pertanyaan: apakah pemimpin boleh membungkam rakyat ketika kritik berubah menjadi cercaan?  Jawabannya tergantung pada bagaimana kita memaknai kepemimpinan. 

Bila jabatan dianggap amanah, maka kritik adalah risiko. Namun, bila jabatan dianggap kehormatan pribadi, maka kritik akan dibalas dengan blokade. 

Di titik inilah seorang pemimpin diuji bukan oleh rencana kerja, melainkan oleh kemampuannya menahan diri di tengah amarah.

Mendengar Dengan Hati

Pada akhirnya, ini bukan tentang pelatihan etika, bukan pertemuan adat, bukan pula revisi dokumen proyek. 

Ini soal rekonstruksi telinga kekuasaan—sebuah tata batin kepemimpinan yang menjadikan kemampuan mendengar sebagai inti kuasa. 

Bukan mendengar dalam pengertian administratif, tapi dalam artian batiniah: hadir untuk luka rakyat, menampung amarah mereka dan tidak panik saat kehormatan simbolik digugat.

Etika mendengar semacam ini tidak dibentuk dalam seminar, tetapi dalam latihan batin untuk melihat diri bukan sebagai pusat dari segalanya. 

Dalam sistem demokrasi, seorang bupati bukanlah dewa, melainkan pelayan dengan nama yang bisa disebut, dikritik, bahkan dihina. 

Kepemimpinan bukan soal kehormatan pribadi, tapi kesanggupan untuk menahan diri agar rakyat tidak kehilangan harapan.

Dalam konteks ini, pemimpin harus melatih dirinya untuk hadir bukan sebagai perwakilan negara yang superior, tapi sebagai subyek yang terbuka terhadap luka kolektif

Ia menjadi telinga publik, bukan pengeras suara kekuasaan; menjadi cermin penderitaan, bukan pagar kebijakan.

Etika mendengar ini tidak bisa dibangun lewat lokakarya atau SOP, tapi lewat kesediaan eksistensial untuk menahan diri saat dihina dan tidak membalas saat dikecam. 

Di sanalah kualitas moral seorang pemimpin diuji—bukan dalam pidato seremonial, melainkan dalam momen krisis emosional yang paling brutal.

Maka, satu-satunya jalan keluar dari jurang konflik semacam ini bukan penertiban demonstrasi, melainkan transformasi cara pemimpin hadir di ruang publik. 

Selama kekuasaan lebih sibuk membungkam daripada mendengarkan, maka rakyat akan terus berteriak—dan suatu saat, suara itu tak lagi bisa dibendung. 

Kalau kekuasaan hanya bisa bekerja dalam pujian dan diam, maka yang kita bangun bukan demokrasi, melainkan panggung opera yang penuh drama dan kian menjauh dari realitas.

Ernestus Holivil merupakan Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana Kupang

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING