Floresa.co – Di depan kantor bupati Manggarai, warga Poco Leok bergantian orasi dalam aksi unjuk rasa pada 5 Juni menentang proyek geotermal di kampung halaman mereka.
Aksi itu semula berlangsung damai, namun terpaksa bubar lebih cepat setelah Bupati Herybertus G.L. Nabit mendatangkan massa tandingan.
Pantauan Floresa, kehadiran massa itu memaksa warga bubar demi menghindari bentrokan.
Sebagian langsung kembali ke Poco Leok, sementara yang lainnya diamankan di Polres Manggarai sebelum diizinkan pulang pada pukul 17.00 Wita dengan pengawalan polisi.
Aksi itu diikuti sekitar 100 warga dari 14 kampung adat atau gendang. Mereka ke Ruteng menggunakan delapan bis kayu atau oto kol, istilah yang umum dipakai di Manggarai.
Mereka kompak mengenakan pakaian adat Manggarai, berupa baju putih yang dipadu dengan sarung.
Aksi itu berpusat di kantor bupati, setelah sebelumnya warga mendatangi kantor DPRD.
Sejumlah warga, baik perempuan maupun laki-laki berorasi di depan kantor bupati yang diselingi dengan lagu-lagu nenggo atau nyanyian tradisional Manggarai.

Suarakan Kekhawatiran, Kecam Nabit
Dalam orasinya, Maria Suryanti Jun, perempuan asal Gendang Lungar menyoroti langkah Nabit menerbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Lokasi Proyek itu pada Desember 2022 “tanpa sepengetahuan perempuan adat.”
“Bupati, dengar baik-baik. Bukan energi bersih dan hijau jika hutan kami gundul,” ujarnya lantang.
“Poco Leok bagi kami seperti ibu kandung yang menyusui kami,” katanya.
Ia menyatakan, menolak proyek itu karena khawatir dengan dampaknya pada air bersih, seperti yang terjadi di sejumlah lokasi proyek lain di Flores, di mana mata air mati dan tercemar.
“Kami hidup dari air. Kami sebagai perempuan sangat bergantung pada air bersih,” katanya.
Ia juga menyampaikan bahwa proyek ini telah menghancurkan keharmonisan sosial di kampung.
“Dulu kami hidup rukun, sekarang kami saling bermusuhan.”
Ia menolak anggapan bahwa masyarakat Poco Leok tidak paham dengan geotermal.
“Kami berpendidikan dan tahu dampaknya,” katanya.
Sementara itu, Maria Teme, perempuan lainnya berkata kepada Nabit, “kamu seakan membunuh kami.”
“Ternyata kami pilih manusia jahat,” kata Maria yang mengaku memilih Nabit pada pilkada 2020.
Ia menilai Nabit mengkhianati kepercayaan pemilihnya, sembari menegaskan bahwa alasan menolak proyek adalah demi “anak cucu kami.”
“Kami bukan orang bodoh. Suara kami percuma kalau akhirnya dibalas dengan kebijakan yang membunuh kami,” tambahnya.
Ia juga menyinggung ritual adat yang diikuti Nabit di Gendang Mucu – salah satu kampung adat Poco Leok-, bagian dari salah satu rangkaian persiapannya saat mengikuti pilkada 2020.
Dengan upacara itu, kata dia, Nabit mendapat status kehormatan di Poco Leok.
Namun, kata Maria, “karena biadabnya kamu menghadirkan proyek geotermal ini, kamu sendiri yang mencoreng kehormatan itu.”

Elisabet Lahus, perempuan adat Gendang Lungar menyoroti kehadiran rutin aparat keamanan di Poco Leok untuk mengawal pejabat pemerintah dan pelaksana proyek dari PT Perusahaan Listrik Negara.
“Saya minta, jangan ada lagi aparat di wilayah kami. Mereka hadir bukan untuk melindungi, tapi untuk membunuh kami,” katanya.
Ia juga meminta Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) asal Jerman untuk “segera menghentikan pendanaan proyek ini agar kami perempuan adat bisa hidup nyaman dan tidak menderita.”
Sementara seorang perempuan lain dari Gendang Mucu berkata, ia ikut menyambut Nabit di kampung itu pada 2020.
Waktu itu, “kami sangat senang” karena Nabit akan duduk di kursi bupati.
“Ternyata setelah dia jadi bupati,” katanya, ia “menjual kami.”
Sementara itu, Tadeus Sukardin dari Gendang Lungar berkata, langkah Nabit menerbitkan SK Penetapan Lokasi Proyek itu tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat adalah “bentuk pelecehan terhadap hak kami, baik sebagai pemilik tanah adat maupun sebagai manusia.”
Ia menegaskan, proyek ini tidak hanya mengancam ruang hidup, tetapi juga keberlangsungan sumber air dan lingkungan mereka.
“Kalau Bupati Nabit tidak mencabut SK itu, kami warga adat Poco Leok tidak akan tinggal diam,” katanya.
Poco Leok bukanlah tanah kosong, “di dalamnya ada manusia.”
“Dan, manusia di Poco Leok bukan manusia biasa, tapi manusia yang punya adat dan beradab,” kata Tadeus.
Ia menyesalkan sikap bupati yang lebih berpihak kepada kepentingan investor, ketimbang rakyat yang memilihnya.
“Bupati bukan tukang cap. Harus ada pertimbangan terhadap hak-hak rakyat,” tambahnya.
Agustinus Tuju, warga dari Gendang Nderu berkata, proyek ini telah memecah belah warga Poco Leok.
“Sekarang kami saling marah. Ada konflik sosial antarsesama,” katanya.
Menurutnya, sebagian orang yang menjual tanah untuk proyek itu mengorbankan keluarga demi uang dan relasi dengan pihak luar.
Ia pun meminta Bank KfW untuk membatalkan pendanaan.
Menyebutnya sebagai “proyek jahat,” kata Agustinus, “kami tidak ingin rumah adat, kampung, sumber air dan alam kami dirusak.”
“Kami akan terus menolak,” ujarnya.
Ia juga menolak kehadiran tim investigasi yang hendak masuk ke wilayah mereka. Tim itu dibentuk baru-baru ini oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena untuk mengunjungi lokasi proyek geotermal di Flores yang memicu resistensi.
Sementara itu, Agustinus Sukarno, pemuda Poco Leok berkata, “kita hadir di sini untuk mengetok isi kepala pemerintah, khususnya Bupati Nabit.”
Ia berkata, aksi itu yang digelar serempak di beberapa kabupaten di Flores adalah dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
“Di momen hari lingkungan ini, kita diminta untuk sadar bahwa kita harus merawat lingkungan dari segala kerusakan, termasuk hadirnya proyek geotermal di Poco Leok,” katanya.
Ia juga mengkritisi penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Mereka perlu sadar bahwa Pulau Flores bukan pulau geotermal, melainkan Nusa Bunga,” katanya.

Sementara Trisno Arkadius, pemuda lainnya menyatakan bahwa “kami merasa tidak nyaman setiap hari” dengan proyek ini.
Kepada warga Ruteng, ia berkata, “tunggu saja gilirannya pemerintah hadir di wilayah Anda, mencaplok lahan Anda tanpa sepengetahuan Anda.”
“Kami turun aksi hari ini karena kami mau melindungi lingkungan dan bumi yang rapuh ini,” katanya.
Tuhan Allah, katanya, pasti sudah tahu isi hati kita bahwa “kita sedang membela kebenaran.”
Trisno pun mengajak berjuang bersama melawan oligarki dan “segala bentuk intimidasi terhadap hak-hak kita sebagai masyarakat adat.”
“Karena apa? Kita perlu hidup dengan layak, tenang, agar bisa mewariskan tanah kita ke anak cucu kita nanti,” katanya.
Reaksi Nabit Hingga Membawa Massa
Wilhelmus Jehau, warga dari Gendang Mucu juga ikut menyampaikan orasi, yang kemudian memicu kemarahan Nabit.
“Kita lihat di depan ada tulisan Kantor Bupati Manggarai,” katanya, “tapi kita harus koreksi, itu bukan kantor bupati, tetapi sampah orang Poco Leok.”
Ia menambahkan, Nabit menjadi bupati “karena ada warga Poco Leok.
Wilhelmus menyinggung soal Nabit yang sebelum jadi bupati periode pertama membuat acara adat di Poco Leok – merujuk ke Kampung Mucu.
“Dia bukan manusia, (tapi) pengkhianat,” katanya, menambahkan bahwa “kami orang Poco Leok tidak pernah panggil Anda sebagai bupati.”
“Kami panggil Anda itu sampah orang Poco Leok karena kamu itu pembohong besar, penipu,” katanya.
“Apa kau bilang, geotermal itu ramah lingkungan. Sekolah di mana kau sehingga anggap geotermal ramah lingkungan,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa “kami hidup dari tanah” dan karena itu menjaganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kami punya anak yang sekolah, bukan karena geotermal tetapi karena punya hasil bumi yang baik,” katanya.
Saat orasi itulah, sekitar pukul 13.20, Nabit keluar dari kantornya menuju gerbang. Ia berjalan cepat sambil berteriak-teriak dan mencoba membuka gerbang.
Namun, aksinya dicegat Satpol PP, yang lalu mengarahkannya kembali ke dalam kantor.

Warga merespons hal itu dengan ikut berdiri, siap menghadapi Nabit. Seorang warga yang berdiri di depan gerbang kantor itu berkata, Nabit sempat berteriak: “Kenapa kalian sebut nama saya (dalam orasi)?”
Reaksi Nabit itu disorot Servasius Masyudi Onggal, pemuda adat yang melanjutkan orasi setelah menenangkan warga.
Ia berkata, “kekuasaan hari ini cenderung mudah tersinggung.”
“Dan itu, bukan hanya watak pemerintah ini saja, tapi watak umum dari banyak pemerintah,” ujarnya.
Ia berkata, “seharusnya Anda tidak tersinggung dengan kebenaran.”
“Masa seorang bupati tersinggung dengan masyarakat adat, tersinggung dengan konstituennya sendiri?”
Tak lama setelah orasi Yudi, sekitar pukul 13.30, Nabit yang dikawal Satpol PP keluar melalui gerbang barat kantornya menuju Gereja Katedral Ruteng Lama, sekitar 700 meter ke sebelah selatan.
Dua jurnalis Floresa yang hendak mengikutinya dicegat segerombolan orang tak dikenal yang kemudian ikut mengawal Nabit.
“Kalian wartawan tidak boleh meliput di atas (Gereja Katedral Lama), ini urusan keluarga. Kalau mau liput di kantor bupati saja,” kata salah satu anggota gerombolan itu.
Pantauan Floresa, di gereja itu tampak sudah ada massa lainnya yang sudah berkumpul.
Bersama dengan massa tersebut, Nabit lalu bergerak menuju ke kantornya.
Informasi kedatangan massa itu membuat warga Poco Leok memutuskan menghentikan aksi dan bersiap untuk pulang pada pukul 14.05.
Namun, saat delapan unit mobil warga hendak berangkat, Nabit dan massa yang dipimpinnya mencegat mereka.
Tiga mobil berhasil dicegat, sementara lima lainnya terus melaju melalui jalur sebelah barat kantor bupati.
Selain terjadi perdebatan di lokasi, beberapa orang dari massa itu hendak menyerang warga Poco Leok, namun ditahan beberapa polisi.
Ketiga mobil itu, termasuk mobil komando, lalu dikawal menuju kantor Polres Manggarai, sementara massa Nabit berkumpul di jalan depan kantor itu.

Warga yang diamankan di Polres Manggarai berkata kepada Floresa, Nabit sempat menemui mereka sekitar pukul 16.30, mengaku dirinya marah karena orasi warga menyinggung perasaannya.
Warga akhirnya keluar dari kantor Polres pada pukul 17.00 dan dikawal polisi kembali ke Poco Leok.
Beragam Upaya Perlawanan
Unjuk rasa ini merupakan yang ketiga yang digelar warga Poco Leok di Ruteng. Mereka menyampaikan tuntutan yang sama, mendesak Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi Proyek.
Selain unjuk rasa di Ruteng, warga telah 22 kali melakukan aksi penolakan di kampung mereka, yang beberapa kali direspons dengan represi, termasuk oleh aparat keamanan.
Warga juga telah mengirimkan surat kepada berbagai lembaga negara, meminta perhatian terhadap perjuangan mereka. Beberapa di antaranya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Proyek geotermal di Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu yang berlokasi sekitar tiga kilometer arah barat.
Proyek ini menargetkan kapasitas listrik 2×20 megawatt.
PT PLN terus berupaya meloloskan proyek ini, sementara Bank KfW mendatangi Manggarai pada bulan lalu, berdiskusi dengan sejumlah pihak. Warga Poco Leok menolak menemui utusan bank itu.
Kunjungan itu terjadi setelah pada tahun lalu bank itu mengutus tim independen, yang dalam kajiannya menemukan bahwa proyek ini melanggar sejumlah standar sosial internasional.
Editor: Ryan Dagur
Catatan Redaksi: Kami merevisi artikel ini pada 6 Juni pukul 14.00 Wita, dengan menambahkan pernyataan dari warga Wilhelmus Jehau