Floresa.co – Hukum memang menjadi jalan mencapai keadilan. Tetapi hukum sekaligus tidak identik dengan keadilan. Memenuhi standar hukum belum tentu keadilan dengan sendirinya tercapai.
Dari cara berpikir demikian, sikap Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya dan jajarannya dalam persoalan Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) sudah tentu problematis dan menyimpan sejumlah cacat pikir.
Semenjak kasus privatisasi Pantai Pede mulai bergulir beberapa bulan terakhir, argumentasi Lebu Raya sama saja. Privatisasi pantai Pede menurutnya sudah sesuai dengan koridor hukum. Pantai Pede masuk dalam yurisdiksi pemerintahan provinsi. Ia punya kewenangan atasnya.
Sebetulnya bukan kali ini saja argumentasi demikian diucap oleh seorang pejabat publik. Dalam beberapa kasus perizinan tambang, para pejabat sering berdalih mengikuti aturan hukum.
Bupati Manggarai, Christian Rotok adalah contohnya. Karena dianggap terlalu royal mengeluarkan izin pertambangan, Rotok pernah bereaksi, “Jika kita berjuang tolak tambang, maka harus libatkan anggota DPR kita agar UU pertambangan jangan berlaku universal di Indonesia”. Rotok sama saja mau menyalahkan hukum daripada subjek yang menginterpretasikan hukum.
Tentu pernyataan-pernyataan demikian menimbulkan pertanyaan ketika implementasi hukum tersebut tak serta merta mendapat dukungan masyarakat. Kalau hukum tersebut memang memenuhi cita rasa keadilan lalu mengapa menimbulkan gelombang protes dari masyarakat?
Bertolak dari kenyataan tersebut, mengevaluasi peran hukum adalah suatu keniscayaan. Tentu peran hukum sebagai pemenuhan cita rasa keadilan tidak dapat disangsikan. Tetapi sisi lain dari hukum perlu kita sadari. Bahwasanya hukum bukan satu-satunya sumber keadilan dan tidak identik dengan keadilan.
Ciri tersebut tentu bertalian dengan ciri kodrati dari hukum. Hukum adalah buatan manusia. Dan buatan manusia selalu dengan sendirinya mengandung ketidaksempurnaan.Dengan demikian, dalam hukum itu sendiri sudah terkandung kelemahan dasariah manusia, sang pembuatnya. Hukum tidaklah sempurna dan selalu membutuhkan koreksi dan sikap kritis.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, Founding Father, Soekarno sudah menubuatkannya sejak awal. Terkait rumusan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), ia mengakui masih banyak kelemahan yang harus diperbaiki. Tak heran, pasca reformasi ada empat kali amandemen terhadap UUD 1945.
Berangkat dari kesadaran serupa, legislasi nasional juga merupakan suatu keniscayaan. Hukum selalu terbuka untuk dikoreksi dan dikritisi, maka tiap tahun para anggota dewan selain merumuskan hukum, juga bisa mengoreksi dan mengkritisi pasal-pasal hukum agar membawa kebaikan bersama.
Dari pertimbangan tersebut, mendasarkan keputusan hanya atas dasar pertimbangan hukum masih sangat terbatas sifatnya. Sebuah keputusan idealnya tidak hanya berdialog dengan hukum, tetapi juga disiplin ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu-ilmu teknis. Melalui diskursus tersebut, kedalaman sebuah keputusan tentunya sangat berarti bagi kepentingan bersama.
Akan tetapi, dalam kenyataannya, dimensi kekurangan hukum justru seringkali dieksploitasi demi kepentingan privat. Pasal-pasal bukannya dijalankan dengan bijak, malahan dipelintir demi keuntungan pribadi dan pembenaran diri. Hukum seolah tergantung kepada siapa yang paling berkuasa menafsirkan hukum.
Hal itu mencerminkan bahwa tak cukup hanya kerangka objektif hukum terpenuhi, tetapi juga syarat-syarat subjektifnya. Artinya, hukum itu sendiri seperti pisau yang tergantung kepada siapa penggunanya. Pisau bernilai baik ketika digunakan memotong sayur, tetapi menjadi buruk ketika dipakai membunuh orang.
Kesewenang-wejangan menafsirkan hukum seperti itulah yang kita temukan dalam sikap Lebu Raya. Penolakan masyarakat seolah tak pernah ia hiraukan. Padahal sudah banyak argumentasi yang masuk akal dipaparkan dalam menegaskan sikap penolakan privatisasi Pantai Pede.
Mirisnya lagi, gubernur tidak pernah memperlihatkan wajahnya dalam dialog terbuka dengan warga di Mabar. Ia adalah pemimpin yang tinggal di menara gading, membiarkan rakyat berteriak tak karuan.
Ditambah pula, di Pantai Pede akan dibangun sebuah hotel berbintang yang mempunyai relasi bisnis dengan Setya Novanto. Nama Setya Novanto sendiri sudah mendapat catatan merah di mata masyarakat NTT.
Sebelumnya ia pernah mengeluarkan komentar pedas. Katanya, Gereja adalah penghambat kemajuan masyarakat NTT. Padahal buah-buah karya Gereja sudah lama bersemai dalam bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial karitatif.
Dari alasan-alasan tersebut, kesangsian terhadap Lebu Raya sebagai pemimpin NTT sudah sangat wajar. Representasi pemimpin yang mendengarkan rakyat masih jauh dari Lebu Raya. Ia malah berpihak kepada setya Novanto, sang korporat yang sudah punya sepak terjang bisnis di NTT.
Tindakan Lebu Raya seolah menjustifikasi bahwa pemerintah lebih mencintai korporat daripada rakyat yang mempercayainya. Dalam pragmatisme politik, korporasi memang lebih menjanjikan keuntungan daripada rakyat.
Tentu publik sangat berharap Lebu Raya berubah pikiran. Ia harusnya menghapus citranya sebagai pemimpin yang membawa pertikaian daripada damai dan sukacita. Kalau Lebu Raya belum berbuat banyak untuk pembangunan di Manggarai, sekurang-Kurangnya ia tidak melukai perasaan masyarakat dengan keputusan yang diambil.
Ia juga harus paham, Reaksi keras masyarakat yang menolak privatisasi Pantai Pede memperlihatkan bahwa bahwa apapun alasan Lebu Raya atas dasar hukum, belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Jika ia tetap bersikukuh, sudah pasti konflik bakalan menghantui Pantai Pede.
Kita merindukan pemimpin yang pola pikirnya tidak hanya terpusat dan bersandar pada satu dimensi, yakni klaim hukum, yang sejatinya hanya berupaya menyembunyikan arogansi demi memuluskan niat busuk.