Floresa.co – Menyusul putusnya kerja sama dengan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dalam pengelolaan Pantai Pede yang dipicu kegagalan perusahan itu membayar biaya sewa lahan Rp 250 juta selama 2015-2017, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (BTT) mengatakan, pantai itu akan dikelolah oleh BUMD Provinsi.
Tidak hanya itu, pantai yang terletak di pesisir barat kota Labuan Bajo itu, kata Zet Sony Libing, Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, hendak dikembalikan fungsinya sebagai pantai publik.
BACA: PT SIM Hengkang dari Pantai Pede
Meski keputusan tersebut tampak sangat populis, namun kita patut sangsi dengan keseriusan rencana itu. Seperti apa pengelolaan yang akan dilakukan oleh BUMD Provinsi dan bagaimana ruang publik yang dimaksud?
Pertama-tama, kita tentu saja patut mengapresiasi keputusan dan keinginan Pemprov NTT. Pasalnya, sejak awal, privatisasi Pantai Pede oleh PT. SIM bertentangan dengan tuntuan publik yang menginginkan pantai seluas empat hektar itu tetap menjadi pantai publik.
Nyatanya, pada 2014, Pemprov NTT di era pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya bersikukuh memberikan ijin kepada PT SIM untuk mengelolahnya selama 25 tahun.
Lebu Raya tidak peduli dengan protes yang berlangsung cukup lama. Sejak 2015-2017 berbagai aksi penolakan dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat sipil, mahasiswa, organisasi orang muda dan Gereja Katolik. Beragam cara dilakukan, baik demonstrasi berjilid-jilid, festival seni, bahkan menggelar Misa di pantai itu.
Bertolak belakang dengan keinginan Pemprov, umumnya berbagai pihak menginginkan tempat itu tetap menjadi taman rekreasi publik sebagaimana fungsinya sebelumnya. Apalagi, pantai tersebut adalah satu-satunya pantai yang menjadi harapan menjadi pantai bebas akses di tengah maraknya privatisasi kawasan pantai di Labuan Bajo, daerah yang kini digembar-gemborkan sebagai destinasi wisata super premium.
Sementara itu, guna meningkatkan pendapatan daerah, berbagai pihak mengusulkan pengelolaan pariwisata yang berbasis desa/komunitas, antara lain pengelolah menyediakan fasilitas rekreasi publik seperti panggung seni, lapangan olahraga, jalur jalan, taman, wisata kuliner dan ruang untuk pedagang kaki lima.
Dengan model pengelolaan itu, di satu pihak, hal itu tetap menjamin kebutuhan sosial masyarakat dan di pihak lain mendorong tumbuhnya ekonomi kerakyatan.
Gubernur tidak peduli dengan protes dan usulan tersebut dan ngotot memberinya kepada PT SIM, perusahan yang disebut-sebut milik Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang kini mendekam di penjara karena korupsi. Perusahan itu pun mulai mendirikan bangunan pada tahun 2017, ketika Lebu Raya hendak mengakhiri masa jabatannya. Pantai itu lantas dipagari seng. Sejumlah pohon yang rindang ditebang. Oknum aparat diberitakan turut serta dalam mengamankan proses pembangunan tersebut. Di area itu sudah beroperasi Hotel Plago, meski belum seluruhnya. Hotel ini turut diambil alih pengelolaannya oleh Pemprov NTT.
Kini, Pantai Pede, meski di dalamnya sudah ada hotel yang beroperasi, kondisinya masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Beberapa bangunan yang belum jadi sudah mengisi pantai seluas empat hektar. Pagar seng menutupi sebagian besar akses. Bibir pantainya masih kotor. Semak belukar tampak tinggi dan tak terawat.
Karena itu, Pemprov NTT sudah tepat mengambil kembali aset yang strategis tersebut. Pengambialihan itu setidaknya untuk dua tujuan, pertama, pantai itu dikelola maksimal agar menjamin kebutuhan publik, kedua, dikelola menjadi sumber daya produktif terutama sebagai sumber penerimaan daerah. Meski dipihak lain, hal itu membuktikan bahwa protes berbagai elemen masyarakat benar adanya.
Namun, sejauh manakah rencana itu bisa direalisasikan?
Kita khawatir keputusan tersebut hanya isapan jempol semata. Dikelola BUMD Pemprov ibarat berganti baju saja. Privatisasi tetap berlangsung, sementara keterlibatan komunitas, pemberdayaan ekonomi kelas menengah bawah serta taman rekreasi publik malahan tidak terjadi. Dengan kata lain, elitisme dalam pengelolan justru juga bisa terjadi melalui BUMD Pemprov.
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Motif dari keterlibatan BUMD Pemprov dalam pengelolaan pariwisata di Manggarai Barat sudah menuai pertanyaan.
Pasalnya, BUMD pemprov juga berniat mengelolah kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) sama seperti dua perusahaan yang diijinkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dan PT. Segara Komodo Lestari (SKL).
Dalam kasus privatisasi di TNK itu, rencana Pemprov justru kontraproduktif, mengingat usaha privatisasi dalam kawasan jelas-jelas bertentangan dengan prinsip konservasi. Rencana PT KWE dan PT SKL untuk membangun hotel, restoran, dan rest area di Pulau Padar, Komodo, dan Rinca yang tidak lain adalah habitat dari satwa langka Komodo mengancam usaha konservasi.
Selain itu, kehadiran mereka dalam mendukung TNK sebagai destinasi wisata superpremium berpotensi menciptakan monopoli bisnis yang mematikan usaha-usaha bisnis berskala lokal di Labuan Bajo dan masyarakat dalam kawasan.
Tidak heran, keduanya ditolak berbagai elemen masyarakat.
Anehnya pula, keterlibatan Pemprov NTT justru berawal dari manuver yang dilakukan Gubernur Viktor Laiskodat.
Di satu pihak, pada awal 2019, Laiskodat secara sepihak mengumumkan relokasi masyarakat di Pulau Komodo dan penutupan pulau itu dengan alasan konservasi. Di lain pihak, hanya setahun berselang yakni pada awal 2020, gubernur menyepakati pengelolaan dua perusahaan di kawasan konservasi sekaligus menyertakan BUMD Provinsi.
Fakta inilah yang membuat kita patut bertanya-tanya soal ‘niat baik’ BUMD Pemprov. Dalam TNK, BUMD Pemprov justru ikut mengancam upaya konservasi. Karena itu, kita perlu mengawasi, apa motifnya, bagaimana model kerjanya, dan sejauhmana nanti mereka mengintegrasikan kepentingan masyarakat umum di Pantai Pede.
***