Ruteng, Floresa.co – Ketika empat tahun lalu hendak menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), Remigius Tau berharap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Namun, tekadnya itu kandas, lantaran kedua orangtuanya tidak memiliki modal yang cukup.
Ketidakmampuan finansial memang selalu menjadi mimpi buruk bagi masa depan anak-anak dari keluarga miskin, seperti Remi.
Walau berniat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, namun apa daya persoalan uang jadi tantangan terbesar bagi remaja asal Kampung Tado, Desa Mbongos, Kecamatan Wae Ri,i, Kabupaten Manggarai itu.
Meski usianya kini, 15 tahun, masih tergolong belia, namun, mau tidak mau, ia harus berusaha mencari uang, demi menghidupi keluarganya.
Dan, sejak meninggalkan SD, pria kedua dari enam bersaudara itu tiap hari berangkat dari Tado menuju Ruteng.
Tujuannya hanya satu: membeli pisang di Pasar Inpres Ruteng, lalu kemudian menjualnya kembali ke rumah-rumah warga.
Kadang, ia juga mendatangi kantor-kantor pemerintah di kota Ruteng.
Saat berbincang-bincang dengan Floresa.co usai menjajakan dagangannya di kantor bupati Manggarai, Senin (13/7/2015), ia mengisahkan, dahulu dirinya memiliki tekad kuat untuk sekolah.
Namun, ia tidak bisa berbuat banyak ketika kemudian orangtuanya mengeluh soal biaya.
Ia mengisahkan, dirinya sempat berharap ada yang membantu membiayai pendidikannya.
Namun hingga putra dari pasangan Stefanus Daru dan Geno Wawul tersebut memutuskan menjadi penjual pisang, bantuan itu tak kunjung datang.
Kini, hari-hari Remi diwarnai dengan situasi yang rumit dan memprihatinkan.
Bilahan bambu sebagai pangkuan beberapa sisir pisang selalu membebankan pundaknya tiap hari, sambil berjalan dari rumah ke rumah warga di Ruteng.
Kata dia, setiap pagi ia datang dari kampungnya menggunakan mobil angkutan umum dengan biaya Rp 10.000 pergi dan pulang.
Kemudian, rutinitasnya selalu dimulai di Pasar Inpres Ruteng.
“Saya beli Rp 8.000 per sisir pisang kepada pedagang, kemudian saya jual Rp 15.000 per sisir. Saya mampu bawa 10-15 sisir pisang setiap kali jalan,” jelas Remi.
Selama menjual pisang, ia harus menyisihkan pendapatannya untuk membeli makan siang.
Ia mengaku biasa makan siang di rumah makan, dan menghabiskan Rp. 10.000.
Walau ia selalu dihantui perasaan malu lantaran sering diolok oleh teman sebayanya, namun ia tetap tekun dan tabah menjadi penjual pisang.
Remi mengaku, apa yang dilakukannya itu merupakan bagian dari tanggung jawabnya untuk membantu sang ayah dalam membiayai kehidupan keluarga mereka.
“Sampai saat ini, hasil jual pisang saya tabung di celengan dan sebagian untuk membeli beras dan pakaian adik-adik saya,” aku Remi. (Ardy Abba/ARL/Floresa.co)