Floresa.co – “Izinkanlah saya memimpin doa menurut keyakinan saya.”
Kata-kata demikian sudah lazim diucapkan oleh para guru dan murid di SMA 2 Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar)-Flores, setiap kali berdoa mengawali kegiatan bersama di sekolah itu.
Seperti sudah mendarah daging, tanpa diingatkan pun, kebiasaan menghormati pemeluk agama lain sudah biasa demikian terinternalisasi.
“Pluralisme sudah menjadi suatu keniscayaan yang dihargai, dipupuk” kata Stefanus Jehanu, wakil kepala sekolah itu kepada Floresa.co beberapa waktu lalu.
Tuntutan demikian tidaklah berlebihan mengingat komposisi murid dan guru di sekolah biasanya berasal dari pemeluk agama Katolik dan Islam.
Tahun ini, tercatat, dari total siswa sebanyak 293 orang, 69 di antaranya adalah Muslim dan sebanyak 224 beragama Katolik.
Sementara, dari 26 orang keseluruhan total jumlah guru, 17 beragama katolik dan 9 orang penganut Islam.
Dari 13 keseluruhan kelas yang ada, hampir semuanya bercampur baur antara kedua pemeluk agama samawi tersebut, kecuali kelas 10 D yang hanya terdiri dari murid beragama Katolik.
Melihat kenyataan keberagamaan tersebut, terdapat berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang sudah dirancang agar merawat sendi-sendi toleransi itu.
Di antaranya adalah kegiatan membersihkan rumah ibadat baik gereja maupun masjid secara bersama-sama, saling memberikan selamat pada hari raya dan kegiatan kerohanian.
Melalui berbagai kegiatan itu, Susan Liunbunga, guru mata pelajaran Agama Katolik mengatakan, para murid menjadi terbiasa “merayakan” perbedaan.
“Memberikan penyadaran bahwa pluralisme adalah suatu realita yang tidak bisa ditolak atau dihindari. Dan, kita dituntut untuk bersikap toleran dan menghargai perbedaan yang ada.”
Tidak hanya itu. Selama Kegiatan Belajar Mengajar (KMB) berlangsung, upaya konkret merawat toleransi juga terus-menerus dipupuk.
Contoh konkretnya, kata Stef Jehanu, dalam kegiatan KBM, ketika ada sesi pembagian kelompok, selalu diupayakan bercampur baur antara yang Muslim dan Katolik.
Pentingnya menghargai perbedaan itu sudah dirasakan oleh Ermi Sumiaty, salah satu siswi Muslim.
Ia mengaku penghargaan terhadap perbedaan sangat nyata.
“Meskipun kami kelompok minoritas, di sini kami diperbolehkan memakai hijab,” katanya gadis 17 tahun itu.
Dibandingkan dengan sekolah negeri yang lain di Labuan Bajo, yang enggan ia sebut namanya, memakai jilbad masih dilarang.
Rasa syukur atas keharmonisan itu disampaikan pula oleh siswi Muslim lain, Dewi Ratnasari.
Di SMAN 2 Komodo ia bersyukur karena ada kegiatan kerohanian.
Tiap hari kamis, katanya, ada kegiatan rohani Islam (Rohis).
“Kami belajar membaca Quran dan membuat ceramah. Sementara untuk teman-teman agama Katolik, mereka belajar Kitab Suci.”
Apalagi, lanjutnya, tiap tahun ketika diselenggarakan bulan bahasa yakni selama bulan Oktober, diadakan perlombaan ceramah antara siswa-siswi Muslim dan baca kitab suci bagi kalangan Kristen.
Tidak adanya dikotomi antara mayoritas dan minoritas, paling dirasakan oleh Faisal Bintahe (16), ketua Osis di sekolah ini, yang beragama Islam.
Bulan September lalu, ia terpilih sebagai ketua Osis melalui mekanisme demokrasi.
“Saya meraih suara terbanyak yakni 92 pemilih. Saya berkompetisi dengan 5 calon lainnya,” akunya.
Bagi Helena Sriyati, siswi beragama Katolik, kebiasaan menghormati itu merupakan suatu keniscayaan.
“Kita sudah semestinya saling menghargai, tidak boleh saling menghina, tidak boleh saling bermusuhan dan menjalin sebuah persahabatan yang lebih erat.”
Nilai-nilai demikian ia rasakan dan diperteguh melalui kegiatan doa di sekolah, juga kadang-kadang lewat rekoleksi. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)