Floresa.co – Pengalaman menyaksikan seorang penyandang gangguan kejiwaan yang tidak terawat di jalan di Maumere, Kabupaten Sikka lebih dari satu dekade lalu menjadi titik awal yang menggerakkan Pater Avent Saur, SVD peduli pada kelompok marginal ini yang umumnya masih kurang diperhatikan.
Seperti halnya warga kebanyakan, imam Katolik ini menyebut Orang Dengan Gangguan Jiwa [OGDJ] pada awalnya sebagai “orang gila,” sebelum ia kemudian mengenal lebih banyak tentang masalah kesehatan mental.
Perasaannya terus tergerak setiap kali menyaksikan ODGJ yang sering ditertawakan di jalan, dibiarkan memakai pakaian compang camping dan umumnya dipasung dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Bermula dari kepedulian pribadi, upaya Pater Avent dalam perjalanan waktu menggerakkan hati banyak orang lain, hingga kemudian terbentuk sebuah komunitas relawan Kelompok Kasih Insanis [KKI].
Menyambut usia ketujuh tahun KKI, Floresa berkesempatan mendapat cerita dari Pater Avent tentang dinamika perhatian terhadap ODGJ, apa yang mereka sudah capai saat ini, bagaimana kemudian para relawan kini berkiprah dan apa saja yang masih jadi pekerjaan rumah berbagai pihak.
Berangkat dari Situasi yang Memperihatinkan
Pater Avent mengatakan, gerakannya dan KKI lahir di tengah keprihatinan terhadap kondisi masyarakat, termasuk di NTT, yang umumnya belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang kesehatan mental dan karena itu menganggap keberadaan ODGJ “sebagai aib atau bahkan kutukan.”
Padahal, kata dia, sama seperti sakit secara fisik, “sakit secara mental adalah bagian dari kondisi kesehatan kita” yang membutuhkan penanganan dari segi medis, psikologis, dan sosial.
Kurangnya pemahaman ini membuat masyarakat umumnya mencari jalan pintas, kadang dengan membiarkan ODGJ berkeliaran, atau jika yang dianggap membahayakan, maka jalan yang ditempuh adalah pemasungan.
“Tanpa penanganan yang memadai dari pemerintah, anggota keluarga, dan masyarakat, banyak ODGJ yang menggelandang [gelandang psikotik], dibuli di media sosial, diabaikan hak hukumnya, dan bahkan [ada yang] ditembak mati oleh polisi,” katanya.
“Hal ini bertambah parah dengan pengobatan medis yang tidak memadai, diberikan janji palsu oleh dinas sosial, dipasung di bawah pohon tanpa pondok, dan aneka wajah [ketidakpedulian] lainnya,” tambahnya.
Pasung sebetulnya fenomena yang berkembang di seluruh Indonesia, menurut Human Rights Watch, yang merilis laporan setebal 74 halaman, Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia, pada 2016. Setidaknya, menurut laporan itu, 57.000 ODGJ penah dipasung dan sedikitnya 18.800 orang yang masih dipasung.
Pater Avent menjelaskan, kondisi ini masih bertahan sampai sekarang di sejumlah wilayah NTT.
Ia mengambil contoh ketika pada 24 Februari 2023, relawan KKI mengunjungi Satarmese Raya, wilayah di bagian selatan Kabupaten Manggarai dan menemukan seorang ODGJ perempuan yang dilepaskan dari pasungan pada Desember 2022.
Ia mengatakan, selama menderita dalam pasungan hingga bebas pasung, perempuan usia 29 tahun itu sama sekali belum mendapat layanan medis dari Puskesmas setempat.
Pelayanan medis, katanya, diperolehnya dari Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose di Ruteng, Kabupaten Manggarai, dengan biaya mandiri.
“Pengobatan dengan biaya mandiri yang berlangsung bertahun-tahun tentu sangat melelahkan bagi keluarganya yang berekonomi pas-pasan. Dan kondisi ini cukup riskan untuk putusnya pengobatan dan cukup riskan pula untuk mengalami kekambuhan pada waktu mendatang,” katanya.
Ia mengatakan, ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk kasus gadis itu, seperti mengapa ia belum mendapat layanan medis dari fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas; apakah keluarga tidak mengakses fasilitas itu atau apakah tenaga kesehatan belum sempat menjangkaunya; atau apakah tenaga kesehatan dengan sengaja tidak mau menjangkauinya.
“Tentu ada sekian banyak jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini bergantung pada siapa yang menjawab. Namun, satu hal yang pasti bahwa sudah sekian tahun, hak asasi kesehatan gadis itu sama sekali belum dipenuhi oleh negara,” katanya.
Ia mengatakan, mereka menemukan kasus lain pada 25 Februari 2023 ketika relawan mengunjungi seorang ODGJ yang dipasung di pondok dan “keadaannya sangat memprihatinkan.”
“Pondoknya sudah reyot. Aroma tak sedap tercium di seputar pondok berdinding pelupu bambu lapuk itu. Rambutnya yang sudah cukup panjang dan pakaian lusuh serta selimut kotor memperlihatkan keadaannya yang kurang terurus,” katanya.
Pada saat relawan menghampirinya, kata dia, sebenarnya hari itu juga, belum seberapa jam berlalu, perawat dan kepala desa setempat sudah mengunjungi ODGJ itu.
“Usai menyapa, mereka meninggalkan sebungkus rokok buat beliau,” katanya.
Ia mengatakan, praktik seperti ini sebetulnya telah membuat banyak ODGJ yang meninggal dalam pasungan.
“Bukannya pemerintah tidak mengetahui keadaan itu. Bahkan pemerintah, semisal ketua RT, kepala desa, dan tenaga kesehatan, polisi dan anggota TNI menonton proses pemasungan,” katanya.
“Bahkan juga ketika ODGJ itu meninggal di dalam pasungan, pemerintah hadir di tempat pemakaman,” tambahnya.
Ia mengatakan, pada wajah pemerintah, tak sedikit pun ada ekspresi rasa bersalah, tak sedikit pun permintaan maaf atas kejadian nahas seperti itu.
“Tak sedikit pun mengambil pelajaran dari peristiwa itu untuk pembaruan diri dan kebijakan politik kesehatan jiwa,” katanya.
KKI Berkembang
Persis dalam situasi seperti inilah, kata Pater Avent, KKI menjalankan peran.
Pada tahun-tahun awal, kegiatan relawan KKI sangat sederhana, yaitu tiap akhir pekan mengunjungi ODGJ di jalanan, memberikan mereka nasi bungkus dan air minum serta kadang-kadang membagikan pakaian.
“Untuk ODGJ yang dipasung, relawan berusaha merawat dengan memandikan, merapikan rambut, dan membersihkan kuku,” katanya.
Namun, seiring dengan perkembangan jumlah relawan yang terus meningkat, kata dia, mereka mulai memperlebar cakupan peran, yakni advokasi kepada pemerintah dan pemimpin agama, edukasi sosial, dan pemberdayaan.
Ia mengatakan, dari 11 orang ketika dibentuk pada 25 Februari 2016, kini KKI memiliki 200 relawan di 17 dari 22 kabupaten di wilayah NTT.
Bersamaan dengan itu, kata dia, pendataan dan penjangkauan ODGJ juga meluas, dengan jumlahnya menyentuh angka 8000 orang.
Ia mengatakan, jumlah ini tentu bukan angka akhir, sebab setiap pekan selalu saja ada ODGJ yang baru terjangkau.
“Makin tinggi angkanya, makin banyak pula yang terjangkau. Makin banyak yang terjangkau, makin banyak pula yang disentuh layanan sosial dan layanan medis,” katanya.
Karena itu, jelas dia, meningkatnya angka data ODGJ di NTT bukanlah fakta yang mencemaskan, apalagi memprihatinkan.
“Meningkatnya angka justru mendatangkan kegembiraan, sekurang-kurangnya buat relawan KKI. Sebab, angka itu menunjukkan dua hal substansial; keseriusan relawan untuk mengabdikan diri pada gerak pembangunan layanan kesehatan jiwa, dan terutama terpenuhinya hak asasi ODGJ setelah sekian lama diabaikan oleh negara dan masyarakat,” katanya.
Hal yang justru mencemaskan, kata dia, adalah justru apabila angka meningkat pada satu sisi, sementara pada lain sisi kepekaan pemerintah dan masyarakat menurun.
Perubahan
Ia mengatakan, kendati masih banyak soal, selama tujuh tahun terakhir KKI juga telah menyaksikan sejumlah perkembangan positif yang terjadi di NTT.
Ia mengatakan, pada fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskemas sudah ada obat bagi ODGJ.
“Ya, sekalipun masih ada pengalaman penolakan terhadap keluarga dari ODGJ korban pasung atau ODGJ gelandangan atau juga ODGJ yang tidak bisa dibujuk ke Puskesmas. Sekalipun juga ada-ada saja ODGJ putus obat lantaran obat tidak selalu memadai,” katanya.
Hal lain, kata dia, adalah gerakan visit home oleh tenaga kesehatan kepada ODGJ sudah makin sering dilakukan, khususnya yang sedang gaduh gelisah, kambuh, dan agresif pun bisa ditangani dengan cepat.
“Sekalipun tetap saja ada ODGJ agresif yang terlambat ditangani hingga mereka terpaksa dipasung oleh keluarganya,” katanya.
Pater Avent mengatakan, pelatihan, workshop, seminar, dan bimbingan teknis terkait kesehatan jiwa juga dilakukan dengan gencar dalam beberapa tahun terakhir oleh Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.
“Demikian juga kunjungan rumah dan pemberian bantuan sosial oleh Kementerian Sosial sangatlah tampak,” jelas imam ini.
Hal yang masih mandek, kata dia, adalah peran Dinas Sosial pada setiap kabupaten, kecuali Kabupaten Manggarai Barat, yang belum memadai dan bahkan, ada dinas sosial yang sama sekali belum melakukan apapun.
Hal yang menggembirakan dan patut diapresiasi, kata Pater Avent, adalah Posyandu kesehatan jiwa di Puskesmas Wae Nakeng, Kabupaten Manggarai Barat, hal yang sama sekali baru di NTT.
Ia mengatakan, Puskemas itu bekerja sama dengan pemerintah desa untuk menetapkan desa siaga sehat jiwa dan melakukan kunjungan rutin dan Posyandu kesehatan jiwa bagi ODGJ.
“Bahkan, mereka melakukan edukasi kesehatan jiwa buat para remaja di wilayah desa. Lebih khusus lagi, semua pihak menyapa ODGJ dengan term khas ‘sahabat tersayang.’”
“Jika semua Puskesmas dan desa, sekurang-kurangnya di Kabupaten Manggarai Barat, melakukan hal-hal serupa, maka pembangunan layanan kesehatan jiwa di kabupaten superpremium tersebut akan menjadi model buat kabupaten-kabupaten lain di NTT,” katanya
Pater Avent juga menemukan komitmen dan kepekaan politik dari beberapa bupati pada kesehatan jiwa, termasuk dalam rangka ketersediaan tenaga spesialis bidang kesehatan jiwa atau psikiater.
Ia mengatakan, saat ini di NTT hanya ada lima psikiater: tiga di Kupang [semuanya di Kota Kupang], dua di Flores [RSUD Maumere dan RSD Aeramo-Nagekeo].
“Setahu saya, Kabupaten Manggarai Barat akan segera memiliki psikiater, sedangkan Kabupaten Sikka akan segera memiliki tambahan psikiater,” katanya.
Ada Harapan
Di sisi lain, kata Pastor Avent, upaya relawan KKI juga sudah menunjukkan perubahan, baik dalam advokasi, edukasi dan pemberdayaan.
“Sepanjang tujuh tahun sejak 2016 dalam hal advokasi suara para relawan selalu didengar oleh para kepala daerah dan wakil rakyat,” katanya.
Ia menambahkan, ke mana pun para relawan pergi, bukan hanya menemui pemerintah, melainkan juga pemimpin agama, tidak ada penolakan sedikit pun.
“Diskusi hangat selalu saja terjadi. Setidaknya, mereka bisa memahami bahan-bahan diskusi, dan membayangkan kebijakan-kebijakan yang perlu diwujudkan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang,” katanya.
“Setidaknya perubahan positif tentang cara memandang kesehatan jiwa sudah dimulai pada pikiran dan nurani mereka,” tambahnya.
Ia menambahkan, selama tujuh tahun ini juga para relawan sudah sering melakukan edukasi kesehatan jiwa baik secara formal berbentuk seminar dan pelatihan, maupun secara nonformal berbentuk obrolan di rumah-rumah keluarga ODGJ, rumah ibadat Katolik, dan kantor-kantor pemerintah desa serta kantor kepolisian.
“Setidaknya semua pihak memahami bahwa praktik pemasungan itu menodai martabat manusia, pemahaman keliru tentang gangguan jiwa segera diubah, dan diskriminasi terhadap ODGJ harus ditinggalkan. Stigma dan diskriminasi sosial sedikitnya terus diminimalisasi,” katanya.
Ia mengatakan, para relawan juga sudah melakukan bebas pasung untuk ratusan ODGJ.
“Puluhan dari jumlah itu dirawat intensif di Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose di Ruteng dan ratusan di antaranya sudah diberikan modal usaha pemberdayaan ekonomi,” katanya.
“Semuanya itu tentu membutuhkan dana yang jumlahnya tidak kecil,” tambahnya.
Apa Kata Relawan?
Selain KKI telah membawa perubahan cara pandang bagi publik dan pemerintah terhadap isu kesehatan jiwa, mereka sendiri juga merasakan perubahan usai bergabung.
Kristo Tamus (38), relawan KKI di Manggarai Barat yang bergabung sejak 2017 mengatakan, sebelumnya ia berpikir bahwa ODGJ “tidak bisa disembuhkan.”
“Ternyata, mereka bisa sembuh kalau rutin minum obat, bukan ke dukun atau pendoa. Dan ini yang membuat saya semangat dalam menangani dan membantu ODGJ, juga semangat dalam mendorong keluarga pasien untuk terus bersama-sama dalam menolong anggota keluarga mereka,” katanya.
Karena itu, kata dia, memberikan edukasi terkait kesehatan jiwa jadi fokusnya ketika mengunjungi keluarga ODGJ, selain mendata, menggunting kuku dan rambut serta memandikan ODGJ.
“Menurut saya, pemerintah mesti buka mata, punya rasa kepedulian terhadap rakyat yang dililit derita gangguan jiwa. Kepedulian itu ditunjukkan dengan menyediakan obat di setiap Puskesmas, membangun poli jiwa di rumah sakit umum, dan menyiapkan anggaran untuk pemberdayaan pasien yang sudah pulih,” katanya.
“Pemerintah juga mesti bangun rumah singgah bagi ODGJ yang dipasung atau ODGJ yang keluarganya tidak mampu.”
Irma Sinour, 40, relawan KKI Ende yang bergabung sejak 2016 mengatakan, ia tergerak menjadi relawan ketika pertama kali memberi makan kepada ODGJ di Pasar Wolowona.
“Saya terharu dan menangis melihat dua orang ODGJ berbagi makanan dan minuman. Saya berpikir, mereka yang mengalami gangguan jiwa saja bisa berbagi, apalagi saya,” katanya.
“Dari situ saya belajar dan berjanji untuk memperhatikan mereka walau awalnya banyak yang beranggapan saya stres karena tidak ada hubungan keluarga, tapi mau berbagi dan duduk dengan ODGJ di pinggir jalan,” katanya.
Ia mengatakan lama kelamaan belajar banyak dari Pater Avent dan “bisa meyakinkan orang-orang bahwa ODGJ bukan untuk kita olok atau kita hindari.”
Ia mengatakan, ODGJ layak diperhatikan “karena mereka juga manusia yang sama di mata Tuhan, walau banyak orang yang menganggap mereka tidak layak dikasihani atau diperhatikan.”
Ia mengusulkan, agar pemerintah “membangun tempat penampungan yang layak agar ODGJ yang berkeliaran di jalanan mendapatkan tempat yang nyaman buat tidur dan mendapatkan makanan yang layak.”
“Untuk masyarakat, yang harus dilakukan adalah mengubah stigma terhadap ODGJ, bahwa mereka layak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.”
Saturninus Duki (36), Ketua Yayasan Kita Keluarga Insani yang menaungi KKI mengatakan hal yang mendorongnya menjadi relawan adalah ketika kelas enam SD pernah menyaksikan ODGJ meninggal di pasungan dan kesadarannya untuk menolong sesama manusia dengan hati.
Ia merupakan relawan KKI Ende dan bergabung sejak awal kelompok ini terbentuk.
Terus Bergerak
Pater Avent menjelaskan, mengacu pada tiga peran KKI – advokasi, edukasi, pemberdayaan – yang di dalamnya orang-orang bekerja sukarela, juga gerakan pemerintah yang sedapat mungkin terus diawasi “bukan tidak mungkin kemajuan pembangunan layanan kesehatan jiwa itu akan terwujud, sekalipun gerakan itu berlangsung perlahan-perlahan.”
“Dalam situasi inilah, kita selalu memiliki harapan bagi ODGJ di wilayah NTT yang sama-sama kita cintai,” katanya.
“Kiranya pemaknaan ulang tahun ketujuh berdirinya KKI mengetuk nurani kita untuk terus berjalan ke depan, merengkuh apa yang kita harapkan bersama, demi kemajuan layanan kesehatan jiwa di NTT.
Kristo juga berharap agar KKI terus “membawa sinar atau cahaya bagi semua orang, sehingga yang peduli terhadap ODG bukan hanya relawan KKI, tapi banyak orang.”
“Terutama pemerintah yang punya kuasa dan punya dana untuk membantu saudara-saudara yang sakit ini,” katanya.
Irma menambahkan, “semoga lebih banyak lagi ODGJ yang mendapatkan penanganan medis dari Puskesmas dan “banyak yang dibebaskan dari pasungan.”