BerandaREPORTASEMENDALAMPantai Pede: Desakan Menguat...

Pantai Pede: Desakan Menguat agar Dikembalikan Lagi ke Publik Usai Upaya Privatisasi yang Gagal

Aktivis mendorong agar Pantai Pede diserahkan ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat sesuai Undang-Undang No.8 tahun 2003 dan dikelola menjadi pantai publik.

Floresa.co –  Beberapa tahun lalu, dalam upaya yang diwarnai rentetan aksi unjuk rasa dan aksi simbolik lainnya, gerakan publik di Manggarai Barat gagal menjadikan Pantai Pede sebagai pantai publik di tengah derasnya privatisasi pantai di wilayah Flores barat itu karena kian meningkatnya bangunan-bangunan hotel dan resort.

Pemerintah Provinsi NTT bersikeras menyerahkan pengelolaan lahan 3,1 hektar di pantai sebelah selatan Labuan Bajo itu kepada pihak swasta, PT Sarana Investama Manggabar, perusahaan yang terafiliasi dengan Setya Novanto, yang ketika itu masih menjabat sebagai Ketua DPR RI.

Sayangnya, sementara Novanto kemudian didera beberapa kasus, yang berujung vonis penjara karena korupsi KTP elektronik, PT SIM yang mengelola pantai itu dan mendirikan sebuah hotel bernama Pelago, jadi telantar.

Pantai Pede sekarang tidak terurus, sementara pimpinan PT SIM dan beberapa pejabat di Pemerintah Provinsi NTT berurusan dengan hukum. Tiga orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Kondisi Pantai yang Tidak Terurus

Pantai itu sempat ditutup total bagi publik pada masa-masa awal PT SIM mengelolanya.  Namun, seiring dengan ketidakjelasan pengelolaannya, pantai itu perlahan menjadi tempat warga Labuan Bajo berekreasi, dan sekarang tempat para pedagang lokal mencari rejeki.

Saat mengunjungi pantai itu Kamis, 10 Agustus, Floresa menyaksikan beberapa orang warga lokal sedang mandi di pantai itu.

Kondisinya tampak tidak lagi terurus. Sampah-sampah plastik berserakan di bibir pantai dari arah Hotel La Pima di bagian barat hingga perbatasan Hotel Bintang Flores di bagian selatan. 

Tampak juga puluhan bangkai kapal, sekoci, dan speedboat di bibir pantai. Sementara puluhan kapal motor kecil lainnya bersandar di bibir pantai, membuat pengunjung tidak bisa menggunakan sebagian dari wilayah pantai itu untuk berwisata.

Beberapa pekerja juga terlihat sedang memperbaiki kapal mereka yang bersandar di pinggir pantai. Terdengar bunyi mesin listrik dan alat pertukangan dari pekerja yang sedang memperbaiki kapal.

Sekitar 15 meter dari bibir pantai itu, terdapat 31 tenda-tenda usaha warga yang berdagang di sana, yang mereka bangun secara mandiri. Beberapa di antaranya masih dalam keadaan kosong, tak memiliki penjual.

Leonardus Herman [57], salah satu pedagang mengatakan, mereka mulai berdagang di sana sejak 2020.

Sebelum ASEAN Summit Mei lalu di Labuan Bajo, pemerintah daerah dan pemerintah Desa Gorontalo sempat menata kawasan itu.

“Mereka meminta kami pindah ke belakang,” katanya merujuk posisi tempat menjual yang menjauh dari pantai. Sebelumnya, kata dia, pedagang bisa menjual sekitar tujuh meter dari bibir pantai, kemudian diminta geser hingga 15 meter.

Leonardus Herman [57], salah satu pedagang di Pantai Pede. (Dokumentasi Floresa)
Tak jauh dari garis pantai itu, di bagian belakang stan-stan milik warga, Hotel Pelago milik PT SIM masih terlihat berdiri, namun di sekelilingnya semak sudah meninggi.

Floresa menemukan lima unit kendaraan roda dua yang  masih parkir di halaman depan, sementara tiga orang pemuda duduk tepat di bagian pintu masuk hotel.

Mereka mengaku sebagai karyawan PT Flobamor, Badan Usaha Milik Daerah yang tinggal sementara di bangunan itu.

Pemerintah Provinsi NTT memang dilaporkan telah menunjuk PT Flobamor, badan usaha milik provinsi untuk menangani lahan itu, namun peruntukannya belum jelas sejauh ini.

“Kami tinggal dan berkantor di sini,” kata salah seorang dari penghuni hotel itu kepada Floresa, dan menolak menyebut identitasnya.

Bangunan lain yang diduga milik PT SIM, berdiri tak jauh kira-kira 40 meter  ke arah selatan dari hotel itu.

Bangunan berlantai dua itu tampak terlihat jelas dari jalan penghubung kawasan ekonomi khusus Golo Mori. Bangunan mangkrak itu hanya memiliki atap, tanpa dinding. Beberapa bagian besi terlihat mulai karatan.

Sementara di bagian depan hotel dan bangunan itu, dekat dengan bibir pantai, terdapat sebuah lapangan futsal yang sebelumnya dipakai dalam turnamen menjelang HUT Bhayangkara RI di Manggarai Barat.

Bangunan mangkrak milik PT SIM di Pantai Pede. (Dokumentasi Floresa)

Diincar Investor Sejak Dulu

Sementara pantainya tidak lagi terurus, mereka yang dulu ngotot mengambilnya untuk privatisasi kini berurusan dengan penegak hukum.

Kejaksaan Tinggi NTT mengusut dugaan korupsi pemanfaatan aset tanah Pantai Pede ini dengan nilai kerugian negara mencapai Rp8,5 miliar.

Tiga orang telah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan. Ketiganya adalah Kabid Pemanfaatan Aset Setda Provinsi NTT Thelma DS, Direktur PT SIM Heri Pranyoto dan Direktur PT Sarana Wisata Internusa Lydia Chrisanty Sunaryo.

Pada Rabu 9 Agustus, penyidik Kejaksaan Tinggi NTT menggeledah kantor Badan Pengelolaan Aset Daerah dan Badan Kepegawaian Daerah Provinsi NTT. 

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi NTT A.A Raka Putra Dharmana mengatakan penggeledahan di dua tempat itu “untuk menemukan alat bukti berupa surat dan atau barang bukti” terkait tindak pidana korupsi pemanfaatan tanah Pantai Pede.

Sebelum penyidikan oleh Kejati NTT ini, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat memang memutus kontrak dengan PT SIM pada April 2020.

Pada 18 April 2020 Pemerintah Provinsi NTT melalui Badan Pendapatan dan Aset Daerah secara resmi mengambil alih pengelolaannya, termasuk Hotel Pelago, lalu menyerahkannya kepada PT Flobamor, perusahaan yang juga mendapat karpet merah untuk menguasai sejumlah wilayah di kawasan Taman Nasional Komodo.

Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing saat itu mengatakan PT SIM telah melakukan wanprestasi yakni tidak membayar kontribusi per tahun, terhitung sejak 2015.

Ia juga menyinggung ketidakhadiran PT SIM untuk membahas kenaikan kontribusi menjadi Rp750 juta, merespon temuan BPK.

Zeth juga menyebutkan langkah PT SIM yang tidak menyediakan 10% ruang publik untuk akses menuju Pantai Pede.

Persoalan Kepemilikan

Ditarik ke belakang, langkah Pemprov NTT pada 2016 menyerahkan Pantai Pede ke PT SIM dilakukan di tengah perdebatan soal status kepemilikannya.

Tanah itu semula adalah aset milik Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya – sebelumnya bernama Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi – yang secara resmi dihibahkan ke Provinsi NTT pada 22 Desember 1998.

Departemen itu membeli tanah tersebut dari sejumlah warga pada tahun 1984, sebagaimana tercantum dalam Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 50/SPUMH/1984 dan Nomor:51/SPUMH/1984.

Tanah ini kemudian disertifikasi oleh Kantor Badan Pertanahan  Nasional Kabupaten Tingkat II Manggarai atas nama Departemen Pariwisata, Pos, Telekomunikasi pada tahun 1985 dan 1986.

Ada dua sertifikat yaitu sertifikat Hak Pakai (HP) No.10 tahun 1985 seluas 17.286 meter persegi dan sertifikat HP No.11 tahun 1986 seluas 14.384 meter persegi.

Mengutip buku ‘Pede Skandal Korporasi-Rakyat Lawan Penguasa (Barat Daya & Dabu: 2016), proses hibah tanah ini ke Provinsi NTT tak lepas dari campur tangan Feisol H. Hashim, seorang pengusaha kelahiran Kedah-Malaysia yang memiliki aset tanah di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya. Ia merupakan direktur PT Bajo Putrindo Wisata (PT BWP) dan Presiden Direktur Jaytasha Putrindo Utama (PT JPU).

Keterlibatan Feisol dalam proses hibah tanah ini terjadi karena ia mengincarnya untuk menjadi lokasi hotel bintang dan wisata tirta. Pendekatan Feisol ke Pemprov NTT dilakukan sejak era gubernur Herman Musakabe, Piet A.Tallo hingga Frans Lebu Raya.

Pemprov NTT melalui Dinas Pariwisata dan Seni Budaya pada 9 Februari 2001 bahkan sudah memberikan rekomendasi tukar guling (ruitslag) tanah Pantai Pede ini dengan tanah milik Feisol, merespons tawaran tukar guling yang disampaikan Feisol pada April 1999.

Namun upaya Feisol gagal ketika pada zaman Gubernur Frans Lebu Raya memilih berkongsi dengan PT SIM.

Melalui surat Nomor: BU.360/79/DISPENDA/2012 tertanggal 10 Oktober 2012, Pemerintah Provinsi NTT menunjuk PT SIM sebagai Mitra Kerja Sama Bangun Guna Serah atas tanah Pantai Pede.

Keputusan Lebu Raya inilah yang kemudian memicu gerakan perlawan berbagai elemen masyarakat sipil di Labuan Bajo dan warga Manggarai diaspora berbagai kota di Indonesia.

Tuntutan utama masyarakat saat itu adalah Pantai Pede harus tetap menjadi pantai publik yang bisa bebas diakses oleh masyarakat setelah banyaknya pantai di Labuan Bajo yang dikuasai korporasi sehingga tak lagi bisa diakses bebas warga.

Pantai Pede adalah satu diantara sedikit wilayah pantai yang saat itu masih bisa diakses bebas.

Di sisi lain, kepemilikan tanah di Pantai Pede oleh Pemprov NTT juga dinilai tak sesuai dengan perintah Undang-Undang No.8 tahun 2003 tentang Pembentukan kabupaten Manggarai Barat.

Pasal 13 undang-undang tersebut memerintahkan Gubernur NTT dan Bupati Manggarai (kabupaten induk) untuk menyerahkan selain pegawai, juga barang milik/kekayaan daerah yang berupa tanah, bangunan dan lainnya ke pemerintah kabupaten Manggarai Barat pada saat pembentukan kabupaten itu.

Merespons tuntutan berbagai elemen masyarakat ini, pada 13 September 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyurati Lebu Raya untuk menyerahkan aset tanah itu ke Pemkab Manggarai Barat.

Namun, surat itu tak diindahkan  oleh Lebu Raya hingga era Laiskodat.

Harus Tetap Jadi Pantai Publik dan Kembalikan ke Manggarai Barat

Dengan tidak terurusnya pantai itu saat ini, juga salah kelola yang berujung kasus hukum, mereka yang dahulu ikut berjuang agar pantai itu dikembalikan publik berharap hal itu bisa terwujud, apalagi dengan Labuan Bajo yang saat ini tidak lagi memiliki pantai publik.

“Sebagai aktivis yang dulu ikut aktif terlibat dalam perjuangan merebut kembali Pantai Pede, sampai saat ini saya masih menunggu, siapa yang kemudian berhasil mengembalikan pantai itu menjadi pantai publik untuk rakyat Manggarai Barat,” kata Marta Muslin Tulis, salah satu aktivis.

Meski sekarang pantai itu sudah bisa diakses lagi oleh publik, namun, masalahnya adalah akses masuk dari jalan utama yang ditutup.

“Akses masuk dari jalan utama ini yang penting dan itu domain pemerintah,” ujar Marta Tulis.

Marta juga menyoroti kondisi Pantai Pede saat ini yang dijadikan tempat bersandar kapal, di sisi lain pedagang yang berjualan di sana juga belum tertata.

Bernadus Barat Daya, aktivis lainnya, berharap pantai itu bisa diserahkan ke Pemkab Manggarai Barat, sesuai amanat Undang-Undang No.8 tahun 2003.

“Sampai dengan hari ini, baik Gubernur NTT maupun Bupati Manggarai Barat belum melakukan eksekusi sebagaimana yang diperintahkan oleh Menteri Dalam Negeri,” kata Bernadus, menyinggung surat Menteri Tjahjo Kumolo pada 13 September 2016.

“Sebagai masyarakat, kita sudah maksimal berjuang sampai dengan dikeluarkannya penegasan dari Kementerian Dalam Negeri, sedangkan perintah untuk mengeksekusi itu harus dilakukan oleh pemerintah yaitu provinsi dan kabupaten,” tambahnya.

Bernadus meyakini, sesuatu yang baik itu, meskipun hari ini belum menemukan titik terangnya akan keluar sebagai pemenang, dan “mereka-mereka yang bermain di air kotor kepentingan-kepentingan mereka sendiri, alam yang akan menghukum mereka.”

“Kami yakin hukum alam itu bicara terus di sana. Barang siapa, bupati atau gubernur yang melawan kehendak dan keinginan masyarakat lokal, maka dia akan mendapatkan hukuman. Saya percaya hukum alam itu,” katanya.

Ia mengatakan, jika diserahkan ke Kabupaten Manggarai Barat, pemerintah tetap memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat.

“Biarkanlah Pantai Pede itu menjadi ruang publik. Jangan lagi dikelola oleh perusahaan. Biar pemerintah daerah sendiri yang kelola itu,” ujarnya.

Senada dengan itu, Rikard Rahmat, warga Manggarai diaspora yang juga getol menolak privatisasi Pantai  Pede mengatakan, “masyarakat butuh ruang, bukan uang.”

“Seharusnya lahan itu jadi ruang publik karena itu satu-satunya akses publik yang cukup luas dan terbuka ke laut,” katanya.

Ia mengatakan, merujuk pada Undang-Undang No.8 tahun 2003, aset tanah Pantai Pede ini seharusnya milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Kapal milik Kejaksaan Negeri Labuan Bajo yang diparkir di bibir Pantai Pede. (Dokumentasi Floresa)

“Sementara yang melakukan privatisasi adalah pemerintah provinsi.  Jadi, privatisasi dilakukan oleh pihak yang tidak berhak,” kata Rikard.

Ia melihat Pemda Mabar juga  “tidak tegas mengklaim lahan tersebut sebagai aset Manggarai Barat.”

“Sangat kuat dugaan tidak paham undang-undang atau kurang nyali melawan Pemerintah Provinsi NTT.” 

Rikard berharap, pengelolaan Pantai Pede harus melibatkan publik yang di dalamnya  terdapat  “pusat budaya seni dan budaya, pusat tenun, pusat kuliner, pusat interaksi warga kota, dan sarana olahraga.”

Ia mengenang kembali intisari perjuangan dulu, yang ingin menjadikan Pantai Pede sebagai natas labar atau tempat bermain, yaitu “sebuah ruang terbuka milik publik yang membawa kegembiraan bagi semua orang.” 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga