Jalan Mulus BPO-LBF Berbisnis di Kawasan Hutan yang Dikhawatirkan Perparah Krisis Ekologi Labuan Bajo

Penguasaan ratusan hektar Hutan Bowosie itu juga dilakukan di tengah konflik yang belum selesai dengan warga.

Baca Juga

Floresa.co – Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] telah mengantongi sertifikat lahan untuk proyek bisnis pariwisata di kawasan Hutan Bowosie di tengah kekhawatiran kelompok sipil terhadap dampak alih fungsi hutan itu yang akan memperparah krisis ekologi di kota pariwisata Labuan Bajo dan konflik lahan dengan warga sekitar yang belum tuntas.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] telah menyerahkan sertifikat lahan bernomor 00003 untuk proyek di kawasan yang disebut Parapuar itu pada 15 September.

Penyerahannya berlangsung di Kantor BPO-LBF, Desa Golo Bilas oleh Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni dan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesoedibjo.

Selain dua wakil menteri, hadir pula dalam acara tersebut Direktur BPO-LBF Shana Fatina;  Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi dan para pejabat kementerian. Beberapa dari 11 investor yang disebut akan berinvestasi di lahan tersebut juga hadir, seperti Kaliwatu, Sudamala Group dan Komodo Shuttle.

Dikutip dari laman Kemenparekraf.go.id, penyerahan sertifikat tersebut tertuang dalam SK MenATR/BPN Nomor 110 tentang Pemberian Hak Pengelolaan [HPL] atas nama BPO-LBF untuk lahan 129,609 hektar.

Raja mengatakan salah satu masalah besar yang dihadapi para investor di kawasan Indonesia adalah kepastian hukum, hal yang menurut Presiden Joko Widodo menjadi tugas utama Kementerian ATR/BPN untuk menyelesaikannya.

“Inilah yang menjadi tugas utama yang diberikan Pak Presiden kepada kami, bagaimana memberikan legal certainty kepada para investor yang datang, untuk dengan senang hati, nyaman dan dengan kepastian berinvestasi di Indonesia,” katanya.

Mengambil analogi penerbitan sertifikat nikah oleh Kantor Urusan Agama [KUA], Raja yang juga merupakan politisi Partai Solidaritas Indonesia itu mengatakan, tanggung jawab Kementerian ATR/BPN hanya “memberikan sertifikat.” 

Sementara pengelolaan lahan tersebut, kata dia, “bukan menjadi tanggung jawab kami”, tetapi secara penuh ada pada pihak BPO-LBF.

“Silakan bernegosiasi secara nasional, secara objektif, segera dibangun, jaga patok-patok tanah tersebut, jangan sampai diserobot oleh orang lain,” katanya.

“Apabila tidak digunakan secara baik, ditelantarkan dalam arti tertentu, tentu hak [HPL] tersebut juga bisa kami ambil kembali,” tambahnya.

Sementara itu, Angela Tanoesoedibjo, yang adalah putri dari pebisnis dan politisi Harry Tanoesoedibio berterima kasih atas kerja sama Kementerian ATR/BPN yang membuat proses sertifikasi lahan itu “menjadi sangat mudah.”

“Presiden bicara isu yang paling utama dalam penyelesaian PSN [Proyek Strategis Nasional] adalah isu tanah. Beliau senang sekali bahwa bisa banyak yang rampung,” ungkapnya mengutip pernyataan Jokowi dalam acara Sewindu PSN di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, 13 Agustus 2023.

Ia mengatakan, terkait PSN, termasuk pembangunan Parapuar, pesan Jokowi adalah “jangan ada yang mangkrak.”

Ia juga menyatakan Kemenparekraf akan terus mendorong even-even nasional dan internasional di Labuan Bajo dalam rangka mempromosikan destinasi tersebut kepada wisatawan asing.

Shana Fatina mengatakan lembaganya telah mendapat wewenang melalui Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 untuk “mengelola lahan 400 hektar” di Hutan Bowosie.

Kawasan yang dikuasai BPO-LBF itu, kata dia, dulunya adalah kawasan hutan produksi dengan nama Hutan Nggorang RTK 108.

“Karena kawasan hutan, kita berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2019 untuk memproses legalisasi lahan tersebut,” ujarnya.

Lahan seluas 136 hektar  [83 hektar di Desa Gorontalo dan 53 hektar di Desa Nggorang], kata dia, diusulkan menjadi Areal Penggunaan Lain dengan skema tukar guling, dan sisanya seluas 264 hektar diusulkan untuk mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam [IUPJWA].

Proses tukar menukar lahan HPL tersebut diadakan dalam koordinasi dengan Kementerian ATR/BPN sejak awal tahun 2023, “hingga terbitnya sertifikat.”

“Ingin sekali Parapuar menjadi kawasan yang inklusif, terus bersama masyarakat,” kata Shana sembari menyebut tiga desa – Golo Bilas, Gorontalo dan Batu Cermin –  serta Kelurahan Wae Kelambu sebagai penyangga yang ia klaim telah aktif berkoordinasi dengan BPO-LBF.

Diprotes Warga dan Pemerhati Lingkungan

Sesuai dokumen BPO-LBF yang beredar pada Maret 2021, kawasan 400 hektar itu dibagi dalam empat zona, yakni Cultural District, Leisure District, Wildlife District dan Adventure District.

Pada 1 September 2022, beredar video berjudul “Parapuar-The Gateway to Flores Cultural Hills” di kanal Youtube BPO-LBF yang mempromosikan kawasan tersebut. Parapuar, diambil dari Bahasa Manggarai, para [pintu] dan puar [berarti hutan], yang diartikan sebagai pintu gerbang yang mengarah ke hutan.

Sertifikat HPL yang telah terbit adalah untuk Cultural District (zona budaya) atau zona satu yang akan dimanfaatkan sebagai pusat budaya, research center, area UMKM, museum, hingga galeri.

Sejak awal, proyek ini mendapat protes publik, karena khawatir terhadap dampak alih fungsi kawasan hutan itu terhadap Labuan Bajo dan konflik lahan dengan warga sekitar yang belum selesai.

Kekhawatiran terhadap masalah lingkungan itu seakan terjawab ketika hujan lebat pada April dan memicu banjir dari kawasan di Hutan Bowosie yang sudah digusur untuk pembangunan jalan oleh BPO-LBF.

Sejumlah rumah warga di kampung sekitar, seperti Racang Buka, menjadi sasaran. Banjir juga terjadi di sejumlah wilayah lain di Labuan Bajo. Banjir itu disebut warga sebagai banjir pertama yang terparah di ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu.

Venansius Haryanto, seorang peneliti isu pariwisata Labuan Bajo mengatakan kawasan Hutan Bowosie yang kini dikuasai BPO-LBF “sangat penting secara ekologi.”

Selain sebagai sumber mata air, kata dia, lokasi hutan itu yang berada di puncak dan mengitari sisi timur, utara, dan barat Labuan Bajo membuat perannya sangat penting untuk melindungi kota tersebut dari ancaman banjir.

Di samping itu, beberapa komunitas warga masih terus mempersoalkan penguasaan lahan itu oleh BPO-LBF. 

Salah satunya adalah Komunitas Warga Racang Buka yang sejak 1990-an telah menduduki sebagian dari kawasan hutan itu.

Mereka telah lama berjuang mendapat pengakuan negara. Upaya mereka sempat dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, namun hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah APL. Sementara bagian lain dari hutan itu yang mereka mohonkan menjadi bagian dari kawasan yang kini dikuasai BPO-LBF.

Pada 21 April 2021, puluhan warga Racang Buka sempat menghadang alat-alat berat yang dikawal pihak aparat keamanan saat pembukaan jalan, di mana beberapa warga mengalami represi dan satu di antaranya sempat ditahan.

Warga Komunitas Racang Buka di Labuan Bajo menggelar aksi unjuk rasa menentang penggusuran kebun mereka oleh BPO-LBF pada 25 April 2022. (Dokumentasi Floresa)

Perwakilan warga Racang Buka sempat hadir dalam Rapat Dengar Pendapat [RDP] bersama Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta pada 14 November 2022, yang  berakhir dengan janji untuk membentuk Panitia Kerja untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Namun, janji itu belum terealisasi hingga kini.

Warga Tetap Duduki Lahan

Merespons sertifikasi lahan itu yang menurut BPO-LBF akan menjadi lokasi zona 1 Parapuar, Heri Jem, warga Racang Buka mengatakan akan terus mempersoalkannya.

Ia menjelaskan, saat lahan yang disertifikasi tersebut dipatok oleh BPO-LBF bersama Badan Pertanahan Manggarai Barat beberapa bulan lalu, sempat terjadi penghadangan oleh warga karena mencakup 40-an rumah dan lahan pertanian mereka.

Sementara itu, terkait lahan seluas 38 hektar yang sebelumnya diklaim telah diserahkan kepada warga berdasarkan SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, Heri mengatakan “sampai sekarang kami tidak tahu lahan itu berada di mana.”

“Lahan 38 hektar itu kemungkinan ada di sisi jalan dari Tuke Tai Kaba sampai ke arah Kampung Kaper,” ungkapnya melalui sambungan telepon kepada Floresa pada 17 September.

Menurut Heri, dua minggu sebelum penyerahan sertifikat oleh Kementerian ATR/BPN, pihak BPO-LBF, melalui Pemerintah Desa Gorontalo sempat melakukan apa yang ia sebut “identifikasi abal-abal”, di mana masyarakat digiring untuk memberikan tanda tangan “seolah-olah mau disertifikasi.

“Ternyata bukan masyarakat punya yang disertifikat, malah BPO-LBF punya. Makanya kami juga saling sikut secara internanl. Kenapa masyarakat lainnya ini mau saja digiring oleh BPO-LBF,” tambahnya.

“Perjuangan kami belum selesai, kami masih melakukan langkah hukum untuk menggugat sertifikasi lahan ini,” ungkapnya.

Ia mengatakan, warga bersama tim kuasa hukum telah menyiapkan langkah untuk “gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.”

“Selain itu, kami juga akan tetap beraktivitas di lapangan. Kalau mereka memakai pasal perambahan [untuk menjerat kami], kami punya argumen lain, bahwa kami yang duluan masuk [ke wilayah ini],” ungkapnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini