Teringat Biaya Sekolah Anak dan Jenuh di Pengungsian, Petani Terdampak Erupsi Lewotobi Laki-laki Putuskan Kembali ke Kebun

Beberapa lainnya urung menengok kebun yang jauh dari kampung, takut ada apa-apa jika terjadi erupsi

Baca Juga

Floresa.co – Kebun di sisi ruas jalan Desa Nobo itu tampak semrawut. Belukar hingga setinggi kira-kira satu meter menyesaki lahan yang dua bulan silam padat oleh tanaman padi dan jagung.

Jumat siang, 19 Januari itu, Bernadette tengah sibuk menyiangi rumput liar di lahannya ketika Floresa mendekat. 

Kebun Bernadette tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Ilebura, Flores Timur.

“Saya dan suami baru tiga kali tengok kebun sejak letusan Tahun Baru,” katanya mengacu pada erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pada malam pergantian tahun. 

Di lahan seluas kira-kira satu hektare itu, ia dan Hendrikus Saru Kedang, suaminya, menanam padi dan jagung – tanaman pangan yang banyak dibudidayakan petani lain di sekitar lahan mereka. 

Sejak 1 Januari, Bernadette yang kini berusia 54 tahun tinggal sementara di suatu pos pengungsian di Desa Konga, Titehena.

Ia seringkali memikirkan nasib kebunnya, yang berkali-kali urung ditengok lantaran “gemuruh terus saja terdengar dari puncak gunung.”

Ia dan Hendrikus, 42 tahun, memutuskan untuk menengok kebun seusai “memikirkan masak-masak dampaknya jika tak lekas diurus.”

Selama bertahun-tahun hasil kebun menjadi penyokong utama biaya pendidikan kedua anak mereka. 

“Biarpun hasilnya tak seberapa,” kata Bernadette sembari duduk beristirahat di kebunnya, “tetapi bisa untuk beli kebutuhan sekolah anak, juga penuhi beberapa kebutuhan di rumah.”

Membayangkan itu, ia dan suami lantas berketetapan untuk kembali mengurus kebun.

Sempat Frustasi

Hari pertama kembali ke kebun, mereka mendapati “abu vulkanis yang panas itu bikin daun mengering.”

Hendrikus, kata Bernadette berkisah, “sempat frustasi melihatnya.” Terbayang tanaman padi dan jagung mereka bakal gagal bertumbuh.

Hendrikus Saru Kedang (42) bersama istrinya Bernadette membersihkan kebun jagung mereka. (Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Nyaris putus asa, esoknya “hujan turun hingga berhari-hari kemudian.” Semangat Hendrikus tumbuh kembali.

Meski mulai menghabiskan separuh hari di kebun, tetap saja “kami khawatir jika suara gemuruh mulai terdengar.”

Kebun mereka berjarak sekitar 10 kilometer dari puncak Lewotobi Laki-laki.

Sementara itu, nyaris setiap hari terdengar personel Satuan Polisi Pamong Praja dan kepolisian berseru-seru di sekitar kebun. Mereka meminta warga lekas mengungsi. 

Sejumlah warga menurut. Seperti yang disaksikan Floresa pada 19 Januari itu, beberapa perempuan tampak menjinjing sebuah tas, sebelum menaiki truk-truk polisi yang berjajar di sisi jalan. 

Beberapa warga Desa Nobo, ,Kecamatan Ile Bura yang dievakuasi oleh Satpol PP dan polisi menuju ke posko pengungsian di Desa Konga. (Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Hampir sebulan bertahan di pengungsian, Bernadette merasa “hidup di pos pengungsian itu serba tak pasti dan membosankan.”

Sebagian besar hari hanya dihabiskan dengan “duduk-duduk atau berbaring.”

Itulah kenapa ia dan Hendrikus memutuskan “siang berladang, sore baru pulang ke pengungsian.”

“Takut Ada Apa-Apa”

Pilihan Bernadette berbeda dengan Alfonsus Noba, lelaki 53 tahun asal Dusun Bawalatan, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. 

Hingga 20 hari sesudah mengungsi ke SMPN 1 Wulanggitang, ia belum lagi menengok kebunnya. 

“Saya takut kembali ke sana. Apalagi lokasinya jauh dari kampung. Kalau ada apa-apa ketika di kebun, bagaimana?” katanya.

Alfonsus Noba (53) warga Bawalatan, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur sedang berada di pos pengungsian SMPN 1 Wulanggitang. Ia enggan kembali ke rumahnya karena khwatir dengan erupsi Lewotobi Laki-laki.(Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Kebunnnya berada sekitar tiga kilometer dari Dusun Bawalatan, dapat ditempuh tak sampai sejam berjalan kaki melewati jalan tanah. 

Di lahan seluas kurang dari satu hektare itu, ia menanam padi dan jagung yang masing-masing berumur dua bulan. Apakah tanaman pangan itu rusak terdampak abu vulkanis Lewotobi Laki-laki, ia tak tahu. 

Pada saat yang sama, ia terus memikirkan nasib ketika kelak pulang dari pengungsian. “Bisa sambung hidup dengan apa nanti, jika kebun rusak?”

Sebelum Lewotobi Laki-laki mulai aktif erupsi pada 1 Januari, ia mengkhawatirkan kemarau berkepanjangan bakal membuatnya gagal panen. Begitu hujan mulai turun, “ternyata gunung meletus yang membuat saya mencemaskan kebun.”

Kerusakan Lahan Masih Didata

Hingga 20 Januari, pemerintah Flores Timur masih mendata lahan warga Wulanggitang dan Ilebura yang terimbas rangkaian erupsi Lewotobi Laki-laki sejak malam pergantian tahun.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Flores Timur, Sebast Sina Kleden mengatakan “ancaman debu vulkanik menimpa tanaman jagung dan padi, termasuk tanaman perkebunan dan pangan terdampak debu vulkanis.”

Taksiran mereka, kata Sebast pada 17 Januari seperti disitir dari Antara, luas lahan terimbas “bisa melampaui 100 hektare.”

Lahan pertanian di Desa Klatanlo, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur yang terdampak banjir lahar dingin dari Lewotobi Laki-laki. (Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Ia menyatakan identifikasi lahan pertanian terdampak yang mengarah ke rekahan kawah “masih belum maksimal,” mengacu pada radius larangan beraktivitas warga selama Lewotobi Laki-laki masih berstatus “Awas.”

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan status peringatan Lewotobi Laki-Laki menjadi “Awas” [Level IV, tertinggi] pada 9 Januari.

Berturut-turut sesudahnya, lembaga itu melarang warga beraktivitas dalam radius tiga kilometer, yang dua hari lalu diperluas menjadi lima kilometer.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini