Angin Kencang Robohkan Tenda Lokasi Seminar yang Diinisiasi PT PLN, Warga Lembata Meyakininya Tanda Leluhur Tidak Restui Proyek Geotermal

Warga menganggap bahwa Ina Kar, ‘penjaga’ lokasi yang hendak menjadi sasaran proyek geotermal tidak setuju

Floresa.co – Seminar budaya di Kabupaten Lembata yang diinisiasi PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] Persero terpaksa dipindahkan ke kantor desa setelah tenda yang didirikan di tengah kampung roboh diterjang angin kencang.

Warga setempat meyakini peristiwa saat seminar pada 9 Agustus pagi itu  – rangkaian dari upaya memulai proyek geotermal Atadei – sebagai tanda alam bahwa leluhur tidak merestui proyek.

Seminar dengan tema “Jaga Alam, Jaga Budaya” itu digelar di Watuwawer, Desa Atakore Kecamatan Atadei.

Pantauan Floresa, angin kencang dari berbagai arah tiba-tiba muncul pada pukul 08.25 Wita, saat seminar hendak dimulai dengan sambutan dari Manager Pertanahan dan Sertifikasi PT PLN UIP Nusa Tenggara, Bobby Robson Sitorus.

Angin itu membuat panggung utama roboh, sementara tenda, kursi, dua layar proyektor dan meja berantakan.

Warga pun lari berhamburan meninggalkan lokasi.

Kejadian itu membuat penyelenggaraan seminar dipindahkan ke Aula Desa Atakore dan baru dimulai pukul 10.00 Wita, molor sejam dari yang dijadwalkan.

Agnes Wukak, warga Watuwawer berkata, mereka menyebut angin kencang yang tiba-tiba muncul itu sebagai angi gutun.

Warga, katanya, meyakini angin itu pertanda akan terjadi hal buruk, termasuk akan ada peristiwa duka.

“Kemungkinan ada berita buruk,” kata Agnes, yang berdiri di depan Kapel St. Konradus Beeker, mengarahkan pandangan ke arah tenda yang roboh.

Tenda itu didirikan di halaman tengah kampung yang disebut warga sebagai muhuk breketen, tempat keramat.

Agnes berkata, sebelumnya tidak ada embusan angin kencang seperti dalam peristiwa itu.

Seminar itu digelar PT PLN merespons permintaan warga Desa Atakore agar menjelaskan secara terbuka dampak proyek geotermal Atadei.

Proyek itu hendak memanfaatkan potensi panas bumi di lokasi yang warga sebut sebagai dapur alam dan dijaga oleh Ina Kar.

Di tempat yang berjarak satu kilometer dari Kampung Watuwawer itu, setiap kali musim panen jagung mereka menggelar ritual syukuran, Ploe Kwar.

Agnes berkata, seminar budaya itu kurang tepat dilakukan saat ini karena PT PLN sudah mulai melakukan pengeboran untuk eksplorasi geotermal pada 2004 dan 2006.

Dua kali pemboran itu dinyatakan gagal, yang menurutnya karena tidak direstui Ina Kar.

Niko Lejap, warga Watuwawer lainnya mengatakan hal senada.

Angin kencang itu, katanya, menunjukkan tanda-tanda leluhur tidak mengizinkan kegiatan pengeboran.

“Dari sudut pandang adat, kejadian itu semacam peringatan.”

Selain angin kencang, ia mengklaim banyak warga Watuwawer yang akhir-akhir ini bermimpi buruk setelah ada rencana eksploitasi geotermal.

“Angin hari ini tanda ada kesalahan,” kata Niko.

Damianus Laba, pemuda Desa Atakore sepakat dengan Agnes bahwa kegiatan itu seharusnya sudah terjadi pada 2004 saat eksplorasi pertama. 

Munculnya angi gutun, katanya, adalah ungkapan kemarahan leluhur. 

Pentingnya Menjaga Adat Istiadat

Seminar itu tetap digelar hingga sore di Aula Desa Atakore.

Petrus Ata Tukan, salah satu pembicara menekankan bahwa ritual Ploe Kwar tidak dapat dipindahkan dari lokasi dapur alam.

“Ritual ini tidak bisa di tempat lain. Dia harus berada di tempatnya Ina Kar,” katanya.

Dalam ritual tersebut, katanya, masyarakat memberi persembahan hasil panen, sembari bersyukur, memohon restu dan meminta perlindungan untuk usaha selanjutnya. 

Acara ini, katanya, dilakukan setiap tahun saat jagung sudah mulai bisa dipanen.

Ritual, katanya, dilakukan oleh anggota Suku Wawin di Desa Atakore dan Suku Puhun di Lewokoba.

Warga berpindah tempat seminar di Aula Desa Watuwawer. (Adrian Naur)

Sementara tokoh budaya Yosep Beda Lein berkata, pentingnya warga bersatu hati dan pikiran terkait proyek geotermal, termasuk dalam hubungannya dengan adat istiadat.

Kalau tidak ada kesatuan pemahaman, kata dia, “pasti akan ada hambatan.”

Diakon Eusabius Purwarta Manehat, SVD, yang ikut menjadi salah satu pembicara seminar berkata, kehadiran proyek itu tidak boleh memecah bela warga sebagai komunitas umat gerejani. 

“Masyarakat Atakore mesti mengedepankan asas mufakat dan tidak tercerai berai,” katanya.

Andre Lejap, pemuda Desa Atakore berkata pada akhir kegiatan bahwa budaya dan adat istiadat warga mesti tetap dijaga.

Ia pun merekomendasikan perlunya semua pemangku adat di Kampung Watuwawer, Lewogroma, Lewokoba, Benolo dan Waiteba untuk duduk bersama, merumuskan kesepakatan. 

Proyek geotermal Atadei menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.

PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.

Hingga kini, warga setempat menolak proyek itu, karena khawatir dampaknya bagi lingkungan dan hilangnya ritual adat mereka.

Dalam rangka menggolkan proyek itu, pada 16-20 Juli sejumlah perwakilan warga, anggota DPRD dan Penjabat Bupati Paskalis Ola Tapobali sempat dibawa PT PLN ke Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Kamojang, Jawa Barat untuk studi banding.

Namun, beberapa warga yang ikut kegiatan itu mengaku tidak mendapat informasi yang cukup soal kemungkinan dampak proyek geotermal bagi lingkungan mereka. 

Mereka pun berencana mengunjungi lokasi proyek geotermal di Flores, yang kini memicu resistensi warga.

Daratan Flores hingga pulau lainnya sebelah timur, seperti Lembata dan Alor, menjadi sasaran berbagai proyek geotermal dalam hampir satu dekade terakhir. 

Hal itu makin gencar pasca Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017. 

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik.

Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.

Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, sementara PT PLN terus berupaya menggolkan proyek itu. Proyek Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.

Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.

Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisakan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA