Floresa.co – “Daratan nan permai laksana zamrud khatulistiwa itu adalah juga deretan pulau gunung api yang paling berbahaya,” tulis Ahmad Arif dalam prolog bukunya, Hidup Mati di Negeri Cincin Api [2012].
Paradoks itu menguat seiring posisi geografis Indonesia di jalur gunung api teraktif sedunia: Cincin Api Pasifik.
Sebanyak 127 gunung api aktif bertumbuh di pelbagai wilayah Nusantara.
Dari jumlah tersebut, 25 di antaranya tersebar di sejumlah pulau di Nusa Tenggara Timur [NTT], termasuk Flores. Beberapa di antaranya sedang mengalami peningkatan aktivitas vulkanis.
Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur erupsi besar pada 3 November yang menewaskan sembilan orang.
Sementara erupsi susulan masih terus terjadi yang membuat lebih dari 13 ribu orang kini mengungsi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga mengumumkan peningkatan aktivitas vulkanis setidaknya dua gunung api lain di Flores.
Gunung Iya di Kabupaten Ende menunjukkan “peningkatan aktivitas serta adanya potensi ancaman bahaya.” Karena itu, pada 5 November Badan Geologi menaikkan statusnya ke level ‘Siaga.’
Sementara untuk Gunung Rokatenda, Badan Geologi mengumumkan statusnya naik dari ‘Normal’ ke ‘Waspada’ pada 12 November, setelah dalam kurun waktu lebih dari sebulan terjadi beberapa kali gempa.
“Sebagai pulau gunung api yang ditempa letusan-letusan dahsyat gunung api pada masa lampau,” kata Ahmad Arif, jurnalis Kompas, Flores juga berada pada zona tumbukan antarlempeng benua yang hiperaktif.
Fakta tektonik itu “membuat Flores kerap diguncang gempa bumi yang berpotensi memicu tsunami.”
Lebih dari setahun menelusuri gunung-gunung api di berbagai pulau Indonesia, termasuk Flores dalam penyusunan bukunya, Aik turut menggali pandangan keilmuan dari sejumlah pakar, termasuk seorang pakar paleotsunami, Eko Yulianto.
Diselisik dari pelbagai riset geologi dan geofisika, “kita memang hidup di pulau-pulau yang berbahaya,” kata Eko kepada Floresa pada 13 November.
“Memang kita tak bisa memungkiri itu,” katanya, “tetapi kita dapat memitigasinya dengan berkaca dari kejadian dan dampaknya pada masa lampau.”
Kerucut-Kerucut Api di Tepi Laut Sawu
Selain Flores, Pulau Lembata juga menjadi rumah bagi sejumlah gunung api aktif.
Dalam buku Ata Kiwan yang terbit pada 1984, ahli etnografi Jerman, Ernst Vatter menulis pulau kecil di sebelah timur Flores itu “ibarat disabuki empat gunung api,” masing-masing Ili Lewotolok, Iliwerung, Batutara dan Hobal.
Bahasa Lamaholot yang sebagian penuturnya tinggal di bagian timur Flores dan Lembata mengenal “ata kiwan” sebagai “orang gunung.” Sementara “ili” atau “ile,” sesuai pelafalan warga setempat berarti “gunung api.”
Ili Lewotolok di barat laut Lembata tercatat lebih dari 200 kali erupsi dalam setahun belakangan.
Hanya dalam sepekan saja menjelang akhir April 2024, gunung api setinggi 1.455 meter di atas permukaan laut itu mencatatkan 173 kali erupsi.
Sementara di tenggara pulau itu “Ile Werung terakhir meletus besar pada 1948,” kata Fransiskus Boli Roma, satu dari dua petugas pengamat vulkanis gunung api itu pada Juni 2022.
Boli merupakan generasi ketiga pengamat aktivitas vulkanis Iliwerung, menyusul kakek dan ayahnya.
Stasiun pengamatan vulkanis gunung api itu berada di Kampung Waiwejak, Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei.
Oleh pemerintah, Atadei tengah direncanakan sebagai lokasi proyek geotermal.
Warga, yang mendapati PT PLN–perusahaan pelat merah yang ditunjuk mengeksplorasi geotermal di kawasan tersebut–terlalu terburu-buru menjalankan proyek lantas meminta mereka meminta petunjuk Ina Kar, “penjaga dapur alam” Atadei.
Iliwerung telah 17 kali meletus besar, sejak sejarah erupsinya mulai tercatat pada 1870. Periode letusan terpendek gunung yang menghadap Laut Sawu itu selama satu tahun. Rentang letusan terpanjang hingga 40 tahun.
Letusan Iliwerung turut membentuk kubah-kubah baru, seperti Ile Petrus, Ile Gripe, Ile Mauraja, Ile Kedang, Ile Pohara serta kawah Adowajo.
Kerucut-kerucut api Iliwerung dilatari Tanjung Atadei yang langsung terhubung dengan Laut Sawu.
Pada suatu titik yang tak terlihat di perairan itu, bersemayam sebuah gunung api muda bernama Hobal.
Gunung Api Bawah Laut
Seluruh bidang Gunung Hobal berada di bawah permukaan laut selatan Lembata. Materi semburannya hanya di situ-situ saja, “tak akan sampai daratan,” menurut Surono, mantan kepala Badan Geologi sekaligus Pusat Vulanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi.
“Lava pijar Hobal tak bakal mengenai daratan,” katanya kepada Floresa.
Sebagai perbandingan, ia mencontohkan keberadaan Gunung Krakatau di perairan Laut Sunda, sebelah barat Pulau Jawa. Sebagian bidang Krakatau berada di atas permukaan laut.
Mengingat posisi puncaknya yang menyembul, Krakatau “berpotensi menimbulkan tsunami, sedangkan Hobal, tidak.”
Ketinggian Hobal belum secara pasti diketahui. Pengamatan dari jauh terhadap aktivitas vulkanis Hobal dilakukan di Desa Waiwejak, Kecamatan Atadei. Jaraknya sekitar empat kilometer dari gunung bawah laut itu.
Sejauh ini sepanjang pengamatan, kata Boli, “sesekali tampak bualan air laut di sekelilingnya.”
Diselisik dari sejarah pembentukan benua, Hobal berada pada jalur penunjaman sesar Wetar—utara Lembata—dan Laut Sawu di selatan.
Hobal sekaligus menandai kawah berapi yang terakhir terbentuk di sepanjang jalur sesar bagian utara dan selatan pulau.
Secara administratif, Hobal berada dalam wilayah Kecamatan Atadei. Sementara berdasarkan tatanan geografis, posisinya berhadap-hadapan dengan Tanjung Atadei.
Hobal tercatat lima kali meletus dalam 40 tahun terakhir. Masing-masing pada 1983, 1993, 1995, 1999 dan 2013. Semuanya disertai embusan asap serta permukaan laut yang keruh menguning.
“Ada beberapa cerita setempat tentang tujuh kerucut Hobal,” kata Boli pada suatu sore di atas tumpukan kayu bakar di dapur rumah keluarganya.
Folklor menyebut “pada masa lalu puncak-puncak kerucut yang menyerupai pulau tiba-tiba mencuat berderet menuju pantai sebelum semuanya meletus.”
Letusan ketujuh kerucut itu, masih menurut folklor yang dikisahkan kembali oleh Boli, “menyebabkan kenaikan gelombang laut. Tsunami menerjang daratan-daratan terdekat. Kerucut api Hobal lenyap.”
Tanpa bermaksud mengusik keyakinan yang diwariskan turun-temurun, Surono berpendapat “tsunami yang terjadi di selatan Lembata tidak ada hubungannya dengan Hobal.”
Tsunami yang terakhir tercatat di sekitar Tanjung Atadei, selatan Lembata berlangsung pada 1979 “yang terjadi akibat aktivitas sesar atau patahan.”
Berdasarkan serangkaian penelitian geologi, kata Surono, sesar-sesar di sekitar Lembata berpotensi menimbulkan gempa tektonik yang, dalam bencana alam 1979, akhirnya memicu tsunami.
“Tidak betul juga kalau dikatakan Hobal pernah memiliki kerucut yang menyembul. Tidak pernah ada pengamatan, berikut bukti tentang itu,” katanya.
“Jangan Didiamkan Saja”
Sekitar 90 persen dari semua gempa bumi sedunia terjadi di sepanjang Cincin Api Pasifik.
Beberapa di antaranya memicu tsunami, termasuk yang berpusat di lepas pantai timur Flores pada Desember 1992.
Berskala magnitudo 7,8, tsunami yang menerjang pada Sabtu siang itu menewaskan dan atau menghilangkan setidaknya 2.500 orang, menghancurkan lebih dari 15.000 rumah dan 200 fasilitas umum, termasuk sekolah.
Namun, bahkan dengan skala kerusakan yang begitu besar, “penelitian tentang pergerakan lempeng untuk mengetahui keberulangan tsunami masih sangat minim di Flores,” kata Ahmad Arif.
Eko Yulianto merupakan satu dari sedikit peneliti yang meriset tsunami di Flores.
Pada 2010, “berhari-hari saya masuk-keluar rawa tenang yang ditumbuhi alang-alang tinggi, hingga kaki rasanya sulit menjejak.”
Tangannya berkali-kali tercelup hingga ke dasar telaga, “berupaya menemukan jejak tsunami pada masa yang telah lewat.”
Di rawa sekitar pesisir utara Flores itu, ia menemukan endapan lumpur dengan cangkang-cangkang biota laut yang terbenam di bawahnya, temuan yang “turut membuktikan pernah terjadi tsunami besar sebelum peristiwa 1992.”
Lebih dari satu dekade meneliti paleotsunami, ia berharap riset itu “dapat memberikan sejumlah rekomendasi dalam perbaikan strategi mitigasi tsunami.”
Meskipun begitu, ia tetap merasa perlu membubuhkan catatan: “rekomendasi tak akan bermanfaat bila didiamkan saja. Para pemangku kepentingan juga harus bergerak.”
Evaluasi Sistem Peringatan Dini
Kepakaran Eko Yulianto membuatnya kerap diundang untuk menjadi pemakalah di sejumlah lokakarya dan simulasi kebencanaan di pelbagai daerah di Indonesia.
Dari beberapa simulasi yang dihadirinya, Eko menyadari “pelatihannya masih butuh banyak perbaikan.”
Ia menyoal beberapa hal dalam simulasi yang baginya “belum sesuai dengan kejadian bencana faktual.”
Simulasi, katanya, “acapkali berlangsung pada siang hari dengan kondisi cuaca terik dan penerangan yang cukup.”
“Bagaimana bila bencana alam terjadi pada malam hari ketika hujan turun sangat deras dan listrik tiba-tiba padam?” katanya.
Satu kejadian yang dipandangnya dapat “memberi pelajaran baik dalam skenario terburuk bencana” adalah gempa bumi disusul tsunami di Kepulauan Mentawai.
Kepulauan di barat daya Pulau Sumatra itu diguncang gempa bumi bermagnitudo 7,8 selepas pukul 21.00 WIB pada Oktober 2010.
Beberapa menit sesudah gempa awal, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika sempat menerbitkan peringatan dini tsunami yang lalu dicabut.
Namun, sesudah pencabutan peringatan dini itu, gelombang setinggi hingga 10 meter menerjang desa-desa di pesisir Kepulauan Mentawai. Sebanyak 286 orang dilaporkan meninggal dan 252 lainnya dinyatakan hilang.
Berkaca dari kejadian tersebut, kata Eko, “menjadi penting untuk mengevaluasi efektivitas sistem peringatan dini tsunami yang saat ini tersedia dan kita manfaatkan.”
Ia juga mencatat sosialisasi dan simulasi tak cukup bagi warga yang tinggal di pulau-pulau rawan bencana alam.
Menurut Eko, warga selayaknya diberi wawasan soal cara mendeteksi jenis-jenis gempa serta proses evakuasi terbaik berdasarkan kondisi geografisnya.
“Apalagi di NTT, sebagian warga bertahun-tahun hidup diapit gunung api sekaligus laut,” katanya.
Editor: Ryan Dagur