Floresa.co – Polda NTT menggelar sidang etik terhadap anggota Polres Manggarai pada hari ini, 24 Februari, terkait kasus kekerasan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut.
Menurut penyidik Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] yang berkomunikasi dengan Floresa, sidang digelar pada pukul 10.00 Wita di Ruteng.
Herry bersama beberapa saksi juga akan hadir dalam sidang itu.
Sidang ini semula direncanakan digelar pada 20 Februari, namun ditunda setelah penyidik Propam tidak mendapat tiket pesawat dari Kupang ke Ruteng.
Informasi yang diperoleh Floresa, Propam hanya menyeret satu anggota Polres Manggarai dalam kasus ini, yaitu Hendrikus Hanu, salah satu polisi intel.
Menurut kesaksian Herry, Hendrikus teridentifikasi sebagai orang yang mengunci lehernya sebelum dianiaya oleh sejumlah orang pada peristiwa 2 Oktober 2024 saat sedang meliput aksi protes warga Poco Leok terhadap proyek geotermal.
Sebelumnya Hendrikus telah menjalani rangkaian pemeriksaan, baik di Ruteng maupun di Kupang.
Sidang itu dilakukan empat bulan lebih setelah Herry melaporkan anggota Polres Manggarai yang menganiayanya, juga seorang jurnalis, Terry Janu.
Penganiayaan terhadap Herry membuatnya mengalami luka dan alat kerjanya dirampas dan isinya diperiksa polisi.
Ia juga disekap di dalam mobil polisi selama berjam-jam sebelum dibebaskan menjelang malam.
Beberapa warga Poco Leok juga menjadi korban, yang juga ikut melapor ke Polda NTT.
Dalam pernyataan sebelumnya, Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry berharap siapapun anggota polisi yang terlibat dalam pelanggaran etik harus mendapat hukuman disiplin yang maksimal sehingga ada efek jera.
“Kasus ini adalah kasus serius yang melibatkan aparat penegak hukum. Ketegasan Propam untuk memberi sanksi terhadap polisi yang melanggar akan memberi pesan penting bagi publik bahwa Polri memiliki komitmen untuk mencegah keberulangan kasus serupa,” katanya.
Sementara itu, Erick Tanjung, Koordinator Satuan Tugas Anti Kekerasan Jurnalis di Dewan Pers berharap sidang etik yang akan digelar dapat berjalan secara transparan dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Erick menyatakan sidang etik tersebut harus dapat mengungkap dan memberi sanksi terhadap semua polisi yang terlibat.
Bahkan, kata dia, Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh sebagai atasan juga harus ikut dimintai pertanggungjawaban karena ada garis komando.
“Harus dibuka secara terang-benderang, tidak boleh ada upaya untuk menutup-nutupi kasus ini,” kata Erick yang juga Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ], sebuah koalisi sejumlah lembaga advokasi yang memberi perhatian pada keamanan jurnalis.
Hal itu, kata Erick, untuk memenuhi rasa keadilan korban.
“Tidak boleh ada impunitas terhadap pelaku kekerasan, apalagi pelakunya adalah kepolisian sebagai aktor negara.”
Sementara penanganan pelanggaran etik dilanjutkan, Polda NTT menghentikan penyelidikan tindak pidana kasus ini, yang mereka sampaikan dalam surat Nomor: B/20/I/2025Ditreskrimum tentang Penghentian Penyelidikan pada 6 Januari 2025.
Dalam surat itu, Polda NTT hanya menyatakan bahwa penyelidikan dihentikan karena “tidak cukup bukti.”
Yulianus Ario Jempau, juga pengacara Herry berkata, langkah Polda NTT menghentikan proses pidana ini sangat mengecewakan.
“Bagaimana bisa dikatakan tidak cukup bukti, sementara kami sudah mengajukan bukti-bukti penganiayaan, berupa foto-foto bekas luka, juga hasil pemeriksaan dokter yang juga diperkuat oleh kesaksian para saksi di lapangan,” katanya.
Ia menjelaskan, polisi juga seharusnya mempertimbangkan kesaksian para saksi bahwa saat kejadian itu aparat mengejar warga yang berusaha merekam dengan ponsel selama Herry dianiaya.
Karena itu, kata dia, patut diduga ada upaya terencana untuk menghilangkan jejak yang bisa memperkuat bukti penganiayaan terhadap Herry.
Ario menambahkan, penting dicatat bahwa dalam kasus ini, tidak hanya aparat yang terlibat, tetapi juga jurnalis yang sayangnya ikut menganiaya Herry.
“Kalau kasus pidana ini dihentikan, ini sama saja dengan membiarkan kekerasan terhadap jurnalis. Kali ini Herry yang jadi korban, ke depan, jurnalis lain juga mungkin mengalami hal serupa,” katanya.
Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers yang memberi perhatian terhadap kasus kekerasan terhadap jurnalis ikut mendesak agar proses hukum tetap dilanjutkan.
Chikita Edrini Marpaung, pengacara publik dari LBH Pers berkata, Polda NTT harus memberikan keterangan lebih lanjut terkait dengan argumen “tidak cukup bukti” yang dicantumkan dalam surat kepada korban.
“Polda NTT tentunya paham bahwa terdapat sejumlah ketentuan yang wajib dipenuhi oleh penyelidik dalam menerbitkan surat ketetapan penghentian penyelidikan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/7/VI/2018 tentang Penghentian Penyelidikan,” katanya.
“Polda NTT harus membuka secara benderang, alat bukti apa saja yang telah ditemukan selama proses penyelidikan dan mengapa dikatakan tidak cukup bukti,” tambahnya.
Ia menjelaskan, sebelum melaporkan perkara, Herry sudah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan fisik yang dilanjutkan dengan visum dan pengumpulan video serta keterangan saksi yang menyaksikan langsung penganiayaan.
“Dokumen itu saja sudah memenuhi syarat dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP,” ungkapnya
Chikita menegaskan, kekerasan yang dialami oleh Herry jelas merupakan tindak pidana sesuai Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu mengatur pidana dua tahun penjara atau denda Rp500 juta bagi pelaku yang menghambat kerja jurnalistik.
“Penghentian kasus Herry memperpanjang daftar impunitas atau melanggengkan impunitas, mencoreng demokrasi dan mencederai kebebasan pers,” katanya.
Ryan Dagur, Pemimpin Umum Floresa juga berharap Polda NTT menangani kasus ini secara profesional, baik secara etik maupun pidana.
Ia menjelaskan, selama Polda NTT menangani kasus ini, ada pihak yang menghubunginya yang mengaku mewakili keluarga dari aparat di Polres Manggarai, meminta agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.
“Orang itu menawarkan agar kasus ini diselesaikan dengan mekanisme wunis peheng,’” katanya, merujuk pada istilah denda adat dalam budaya Manggarai terhadap pelaku kekerasan.
“Kami masih menyimpan rekaman permintaan itu, juga bukti-bukti pesannya. Namun, kawan-kawan Floresa memilih tetap melanjutkan proses hukum kasus ini,” katanya.
Ia menegaskan, “sejak awal kami telah menyampaikan bahwa langkah melapor kasus ini bukan hanya karena soal Herry juga beberapa warga Poco Leok yang menjadi korban.”
“Ini soal kita semua, entah jurnalis maupun warga lainnya, yang berpotensi akan mengalami kejadian serupa, jika kita hanya memilih diam terhadap kekerasan, apalagi yang melibatkan aparat negara.”
Ryan menjelaskan, pendekatan kepada Floresa agar kasus ini diselesaikan dengan damai adalah “sebetulnya bentuk pengakuan bahwa polisi bersalah atau terlibat dalam kekerasan terhadap Herry.”
“Karena itu, menurut kami, aneh bahwa Polda NTT hanya melanjutkan proses etik, lalu menghentikan proses pidana,” katanya.
“Kami memutuskan melapor kasus ini ke Polda NTT karena kami anggap bisa menghadirkan keadilan, sesuatu yang kami ragukan bisa terjadi jika kami melapor ke Polres Manggarai sebagai institusi tempat pelaku bernaung,” tambahnya.
Ia menjelaskan, di tengah sorotan terhadap kinerja Polri, kasus ini menjadi salah satu ujian penting bagi profesionalitas dan akuntabilitas Polri yang selalu berikhtiar kepada publik untuk menjalankan slogan Presisi.
Editor: Petrus Dabu