Floresa.co – Sidang kasus persetubuhan anak, dengan pelaku dan korban pelajar salah satu SMA di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, sedang bergulir di Pengadilan Negeri Ruteng.
Korban merupakan anak dari anggota Polres Manggarai Timur yang sempat menganiaya pelaku saat mengetahui kasus ini.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan yang digelar secara tertutup mulai bergulir pada 30 Januari 2025.
Dalam sidang lanjutan pada 6 Februari, terdakwa yang berusia 18 tahun menyampaikan nota keberatan atau eksepsi melalui kuasa hukumnya.
Jaksa Penuntut Umum mendakwa pelaku dengan dakwaan alternatif yaitu, pertama, pasal pasal 81 ayat [1] Jo pasal 76D, atau kedua, pasal 81 ayat [2] Jo pasal 76D UU No 17/2016 tentang Penetapan PERPPU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo pasal 65 ayat [1] KUHP.
Pasal 76D Undang-Undang tersebut berisi tentang larangan bagi setiap orang untuk “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Pasal 81 ayat [1], sebagaimana dakwaan pertama, mengancam terdakwa dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Ketentuan pidana pada pasal 81 ayat [1] ini berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sebagaimana dakwaan kedua.
Berbicara kepada Floresa pada 14 Februari, Fitalis Burhanus, kuasa hukum terdakwa berkata, dakwaan pertama, tidak memenuhi unsur tindak pidana karena JPU mendalilkan bahwa ada perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan dengan korban.
Terdakwa dan korban, kata dia, “melakukan hubungan biologis secara berkali-kali di tempat dan waktu yang berbeda-beda karena hubungan asmara/pacaran.”
“Secara logika dalam perkara a quo, kalau melakukan hubungan biologis berkali-kali atas dasar suka dan kehendak bersama berarti tidak ada pemaksaan atau kekerasan dari terdakwa,” katanya.
Fitalis juga menolak dakwaan dengan menggunakan pasal 81 ayat [2] yaitu adanya “tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.”
Sebab, jelasnya, merujuk sikap kooperatif terdakwa yang mengakui perbuatannya karena atas dasar asmara.
“Terdakwa”, kata dia, “siap bertanggung jawab atas perbuatannya yang membuat korban hamil.”
“Antara terdakwa dan korban telah menyepakati untuk jadi pasangan suami istri jika telah tamat dari bangku SMA,” katanya.
Sementara dalam eksepsi, katanya, pihaknya menyampaikan keberatan terhadap surat dakwaan yang baru diberikan kepada terdakwa sesaat menjelang persidangan perdana pada 30 Januari.
Padahal, JPU sudah melimpahkan perkara itu ke Pengadilan Negeri Ruteng disertai surat dakwaan pada 21 Januari.
Mestinya, kata Fitalis, merujuk pasal 143 ayat [4] KUHAP, surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan pelimpahan perkara yang disertai surat dakwaan ke Pengadilan Negeri.
“Dalam persidangan perkara a quo tanggal 30 Januari 2025, JPU baru memberikan turunan surat dakwaan kepada terdakwa, tepatnya sehabis makan siang sekitar pukul 13.00 Wita” katanya.
Sementara, menurut Fitalis, dirinya baru mendapat surat dakwaan dari terdakwa di ruangan tahanan Pengadilan Negeri Ruteng sekitar pukul 13.30 Wita.
“Jadwal sidang berlangsung mulai sekitar pukul 14.30 Wita. Jadi, surat dakwaan waktu itu sama sekali belum diterima oleh keluarga terkait apa substansi dakwaan dan kapan sidangnya berlangsung,” katanya.
![](https://floresa.co/wp-content/uploads/2024/11/fitalis.jpeg)
Dugaan Penganiayaan di Kantor Polisi
Selain itu, kata Fitalis, dalam eksepsi, pihaknya juga menyoroti soal dugaan penganiayaan yang dialami terdakwa di Polres Manggarai Timur.
Ia meminta dalam persidangan JPU menghadirkan saksi yang merupakan rekan terdakwa di tahanan.
Karena, katanya, berdasarkan keterangan terdakwa, ia mengalami penganiayaan di ruangan tunggu tahanan Polres Manggarai Timur.
“Kami mendesak JPU untuk menunjukkan CCTV dari ruangan tahanan Polres Manggarai Timur,” kata Fitalis.
“Mengapa saat dia dianiaya lampu dalam ruangan tunggu tiba-tiba mati,” katanya.
Tak hanya di ruang tunggu, klaim Fitalis, penganiayaan juga dilakukan dalam perjalanan menuju Polres Manggarai Timur setelah terdakwa ditangkap di sebuah desa di Kecamatan Rana Mese.
“Kami melihat dalam kasus ini ada anggota polisi yang ikut menangkap FYJ membiarkan pelaku utama [ayah korban] sebagai atasan mereka untuk menganiaya korban,” kata Fitalis.
Ia mengatakan tindakan ayah korban dan anggotanya tak pantas dilakukan bagi mereka yang disebut penegak hukum.
“Seharusnya mereka jadi panutan atau contoh yang baik kepada publik,” ujarnya.
Ia juga mendesak Polres Manggarai Timur menyelidiki tindakan pembiaran ini serta mobil yang digunakan untuk menangkap korban harus disita untuk kepentingan hukum perkara ini.
Sebelumnya, Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto mengakui adanya penganiayaan itu.
Namun, Suryanto menegaskan pemukulan hanya terjadi dalam perjalanan menuju Polres Manggarai Timur.
“Hanya ayahnya [yang menganiaya tersangka] dalam perjalanan menuju Polres Manggarai Timur,” kata Suryanto pada November 2024.
Saat itu, Suryanto mengatakan, baik kasus persetubuhan anak di bawah umur maupun penganiayaan oleh anggotanya itu “keduanya kami proses.”
Editor: Petrus Dabu