Floresa.co – Pada 2017, Yakob mulai mengalami gangguan jiwa, setelah ayahnya meninggal dunia.
Ia pergi dari rumah. Awalnya, pagi ia menghilang, tetapi sorenya kembali lagi ke rumah.
Keluarga pun sempat memasungnya untuk memudahkan perawatan. Keluarga juga mengobatinya ke Puskesmas.
“Tetapi, sia-sia. Dia lari dari rumah,” ujar Suster Claudia, saudari kandung Yakob kepada Floresa.
Selama beberapa tahun, Yakob menghilang. Keluarga tak tahu keberadaannya.
Yakob, yang bernama lengkap Yakobus Busa Aja, berasal dari Kampung Natalea, Desa Raja, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo.
Akhir Desember lalu, keluarga mendapat kabar Yakob berada di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai yang berjarak sekitar 200 kilometer dari kampung Yakob di Nagekeo.
Suster Claudia, yang tinggal di sebuah biara di Ruteng, tak mengetahui kapan saudaranya itu tiba di Ruteng. Yang pasti, kata dia, setelah keluarga mendapat informasi keberadaannya, keluarga dari Nagekeo ke Ruteng.
“Banyak yang memberikan kesaksian bahwa dia baik, tidak pernah ganggu orang, tidak pernah mencuri atau berbuat jahat. Semua yang menjumpainya sangat sayang padanya. Banyak orang mengantar makanan untuknya,” ujarnya.
Awal Januari ini, keluarga membawa Yakob ke Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Renceng Mose, fasilitas kesehatan jiwa di Ruteng, milik para bruder Kongregasi Karitas atau Fratrum Caritatis (FC).
“Masih ada banyak orang yang menderita seperti Yakob. Semoga mereka mendapatkan perawatan yang baik,” ujar Suster Claudia.
Ribuan Orang Menderita Gangguan Jiwa di Flores
Data yang dihimpun Floresa dari Dinas Kesehatan di beberapa kabupaten, jumlah pengidap gangguan jiwa atau Orang Dengan Gangguan Jiwa [ODGJ] di Flores dan Lembata mencapai lebih dari 3.000 orang.
Di Manggarai, hingga akhir 2024, jumlah ODGJ yang terdata sebanyak 833 orang, Manggarai Barat 675 orang, Manggarai Timur 753 orang, Flores Timur 644 orang dan Lembata 205 orang.
Floresa belum mendapatkan data untuk Kabupaten Sikka, Ende, Ngada dan Nagekeo.
Sementara itu, menurut Kelompok Kasih Insanis [KKI], komunitas yang fokus pada perawatan ODGJ, data gangguan jiwa di NTT mencapai 10.000 kasus, dengan 6000-an di Flores.
Pastor Avent Saur, SVD, pendiri KKI berkata kendati layanan gangguan jiwa di NTT “sudah semakin maju” karena banyak penderita telah dijangkau, “stigma dan diskriminasi sosial masih kental, semangat tenaga kesehatan belum maksimal, anggaran serta obat-obatan belum memadai.”
Pejabat pemerintah yang dihubungi Floresa mengklaim, mereka telah menyediakan layanan psikofarmaka atau obat-obatan untuk para pengidap gangguan jiwa. Layanan itu tersedia di setiap Puskesmas di masing-masing kabupaten.
Tetapi, cerita tentang Yakob yang ‘berkelana’ lintas kabupaten, serta cerita tentang Kristo Yeri Koneram atau Engel yang meninggal dunia setelah dua minggu dipasung, merupakan gambaran kondisi sebagian pengidap gangguan jiwa di Flores.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, drg. Bartolomeus Hermopan mengatakan Puskesmas di wilayah Manggarai telah menyediakan obat-obatan untuk pasien ODGJ secara gratis.
“Obat tersedia di Puskesmas. Untuk pasien yang tinggal di daerah terpencil, petugas Puskesmas dan Pustu tetap memberikan obat,” ujar Tomy-sapaannya, kepada Floresa.
“Namun, penggunaannya harus dengan pengawasan dari keluarga pasien untuk memastikan obat tersebut dikonsumsi dengan benar,” tambahnya.
Tomy mengklaim, untuk kesehatan jiwa, Puskesmas di Manggarai melakukan berbagai program, mulai di skrining untuk deteksi dini, kemudian pemberian psikofarmaka atau pengobatan dan rehabilitasi sosial.
“Kami melakukan psikoterapi, home care, dan kegiatan bersama untuk membantu pemulihan pasien,” ujar Tomy.
Tomy mengakui, keterbatasan dana dan sumber daya menjadi tantangan besar dalam upaya memberikan perawatan yang optimal.
Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Timur, dr. Tintin Surip, mengungkapkan, dari 753 ODGJ di kabupaten itu, sebanyak 644 orang sudah mendapatkan pengobatan.
“Kami belum memiliki poli atau perawatan psikiatri di rumah sakit karena belum ada dokter spesialis jiwa,” ungkapnya.
Namun demikian, Tintin menegaskan, obat-obatan untuk ODGJ sudah tersedia di Puskesmas dan diberikan secara gratis.
“ODGJ mendapatkan obat melalui rawat jalan dan kunjungan rumah. Semua obat yang diberikan oleh Puskesmas adalah gratis,” katanya.
Sementara Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Barat, Adrianus Ojo, mengatakan, dari 675 ODGJ di Manggarai Barat yang terdata pada Januari hingga Desember 2024, sebanyak 632 orang (93,63%) telah menerima pengobatan.
Adrianus mengakui, masih ada 29 ODGJ yang dipasung di wilayah kabupaten itu.
“Hampir di setiap wilayah Puskesmas terdapat ODGJ yang dipasung,” ujarnya.
Adrianus mengungkapkan, ODGJ yang paling banyak dipasung berada di wilayah kerja Puskesmas Lengkong Cepang di Kecamatan Lembor Selatan yaitu sebanyak lima ODGJ.
Di Puskesmas Wae Kanta, Kecamatan Lembor terdapat empat ODGJ yang dipasung dan Puskesmas Bari, Kecamatan Macang Pacar terdapat tiga ODGJ yang dipasung.
Di Puskesmas Labuan Bajo, Puskesmas Rekas dan Puskesmas Wae Nakeng, masing-masing terdapat dua ODGJ yang dipasung.
Kemudian, Puskesmas Benteng, Puskesmas Nanga Terang, Puskesmas Wersawe, Puskesmas Nangalili dan Puskesmas Orong, masing-masing terdapat satu ODGJ yang dipasung.
Adrianus mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi dalam pengobatan ODGJ ini adalah keluarga yang seharusnya berperan penting, lalai mengambil obat di Puskesmas.
Padahal, Adrianus mengklaim, ketersediaan obat untuk ODGJ memadai, bahkan stok untuk tiga bulan ke depan masih tersedia di Instalasi Farmasi Kesehatan [IFK].
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit [P2P] di Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata, Didakus Nama Belawa mengatakan dari 205 ODGJ di kabupaten itu, empat orang di antaranya dipasung.
Laporan ini, kata Didakus, diperoleh dari hasil pendataan pihak Puskesmas yang tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Lembata.
“Kami terus mendorong para petugas medis untuk rutin memberi obat yang disediakan untuk pasien ODGJ,” kata Didakus kepada Floresa.
Namun, Didakus tidak menampik bahwa merawat dan mengobati pasien ODGJ juga menemukan hambatan dan kendala. Didakus mengatakan pengelola program jiwa yang belum terlatih dan minimnya ketersediaan Dokter Spesialis Jiwa menjadi hambatan pertama.
“Karena kendala ini, kami biasanya merekomendasikan untuk mengirim pasien berobat di RSUD dr. W.Z. Johannes Kupang,” kata Didakus.
Namun, kata Didakus, umumnya keluarga menolak rujukan karena masalah biaya.
Masalah kultural juga menjadi hambatan. Ia berkata, di Lembata, masih ada anggapan di tengah masyarakat, gangguan jiwa adalah “warisan leluhur yang mesti ditangani dengan acara adat.”
Pentingnya Peran Keluarga dalam Pengobatan
Pastor Avent Saur menyoroti kurangnya inisiatif keluarga dalam pengobatan ODGJ di Puskesmas.
“Ada banyak pasien juga putus obat, selain karena petugas Puskesmas tidak rutin kunjungi pasien, juga keluarga tidak rutin mengurus obat,” katanya.
Selain itu, kata dia, kekurangan anggaran menyebabkan terbatasnya persediaan obat dan “perawat dan dokter tidak rutin kunjungi pasien di rumah-rumah.”
Maria Betharia Purab, Penanggung Jawab Program Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur [Flotim] mengatakan, pihaknya mendapatkan suplai obat dari Dinas Kesehatan Provinsi NTT.
“Setiap tahun, kami mengajukan permintaan obat ke provinsi berdasarkan kebutuhan di lapangan. Setelah obat tersedia, kami mendistribusikannya ke puskesmas-puskesmas di kabupaten sesuai kebutuhan masing-masing wilayah,” jelas Maria.
Obat-obatan ini, kata Maria, tersedia di Puskesmas, sehingga memudahkan keluarga pasien untuk mengambilnya.
Namun, jika keluarga tidak dapat mengambil obat ke Puskesmas, petugas kesehatan akan melakukan kunjungan rumah untuk membawakan obat langsung kepada pasien.
“Kami selalu berupaya memastikan pasien mendapatkan obat tepat waktu, tetapi seringkali menghadapi kendala ketika pasien tidak memiliki Pengawas Minum Obat [PMO]. Hal ini menjadi tantangan besar dalam memastikan kelangsungan pengobatan,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, dari 644 ODGJ yang terdata di Flores Timur pada 2024, sebanyak 602 ditangani Dinas Kesehatan.
Dari 602 yang ditangani, sebanyak 13 ODGJ dipasung atas permintaan keluarga untuk mengantisipasi tindakan tidak terkontrol dari ODGJ.
Sementara, 42 ODGJ yang tidak tertangani, kata Maria, terjadi karena ada penolakan dari keluarga, karena alasan sibuk kerja sehingga khawatir tidak bisa merawat ODGJ secara rutin.
“Metode pengobatan akan berjalan efektif ketika pihak keluarga menyetujui dan mereka memberi obat secara rutin”, katanya.
Maria menekankan, keberhasilan pengobatan ODGJ sangat bergantung pada dukungan keluarga.
“Dalam penyuluhan yang kami lakukan, kami memberikan pemahaman kepada keluarga mengenai pentingnya menjadi pengawas minum obat dan memberikan dukungan moral selama proses pengobatan,” ujar Maria.
Namun, tidak semua pasien memiliki keluarga yang aktif mendukung. Hal ini menjadi salah satu kendala utama dalam memastikan kelangsungan pengobatan.
“Ketika pasien tidak memiliki PMO, petugas kami kesulitan memastikan pengobatan berjalan lancar. Oleh karena itu, kami terus mengimbau masyarakat untuk lebih peduli terhadap anggota keluarga mereka yang membutuhkan pengobatan,” tambahnya.
Dinas Kesehatan Flores Timur terus berupaya meningkatkan pelayanan kepada pasien ODGJ, termasuk melalui penyuluhan dan pendekatan berbasis keluarga.
“Kami percaya bahwa edukasi yang konsisten akan membantu keluarga memahami pentingnya peran mereka. Ini bukan hanya tentang memberikan obat, tetapi juga memastikan pasien merasa didukung secara emosional,” jelasnya.
Senada dengan Maria, Kepala Dinas Kesehatan Manggarai Timur, dr. Tintin Surip mengatakan, peran keluarga sangat penting dalam mendukung pengobatan ODGJ.
“Yang menjadi tantangan adalah pasien yang tidak terobati karena tidak didukung oleh keluarga mereka untuk minum obat secara rutin,” ujar Tintin.
Butuh Kerja Berbagai Pihak
Pastor Avent Saur berkata penanganan ODGJ memerlukan edukasi terus-menerus pada keluarga dan peningkatan anggaran pemerintah untuk obat-obatan dan perjalanan dinas tenaga kesehatan.
“Juga anggaran utk promosi atau edukasi kesehatan jiwa,” katanya.
Kekurangan anggaran, kata Avent, menyebabkan selalu ada kasus yang belum dijangkau layanan medis di kampung-kampung.
“Pada Desember 2024, di Manggarai Barat kami temukan 12 kasus, yang sudah dilayani medis cuma tiga pasien,” katanya.
Sementara di Manggarai, kata dia, ada lima kasus yang semuanya belum dilayani medis.
“Jika di Manggarai ada 800-an kasus gangguan jiwa kini, maka jika pendataannya ditingkatkan, kasusnya bisa mencapai angka 2000,” katanya.
“Masih banyak pasien yang belum dilayani medis, baik yang sudah terdata, maupun apalagi yang belum terdata,” lanjutnya.
Boy Doreng, Community Organizer Program Community Based Mental Health, Yayasan Ayo Indonesia berkata kolaborasi semua pihak, baik institusi pemerintah maupun religius sangat diperlukan dalam upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat.
Yayasan Ayo Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] di Flores yang berfokus pada pembembangan masyarakat dan pemberdayaan sosial.
Pengalaman berjumpa dengan ODGJ dan keluarga, kata Boy, memberi banyak pelajaran dan membuka horizon pemahaman yang lebih luas dan inklusif terhadap kesehatan jiwa.
“Dalam perjumpaan dengan ODGJ dan keluarga, saya memilih posisi sebagai pendengar, sambil sesekali bertanya. Mendengarkan ini sangat penting dalam menangkap semua informasi dan suka duka keluarga,” kata Boy kepada Floresa pada 5 Januari.
Selain itu, lanjutnya, “mendengarkan lebih banyak memberi ruang bagi keluarga untuk bercerita tentang diri mereka sendiri.”
“Cerita-cerita itu yang seringkali luput dari diagnosa-diagnosa medis. Dua orang ODGJ dengan diagnosa medis yang sama akan memiliki cerita dan kisah hidup yang sangat jauh berbeda,” katanya.
Ia juga mengatakan kesehatan jiwa merupakan isu yang sangat kompleks, menyentuh semua dimensi kehidupan seorang manusia. Karena itu, upaya kesehatan jiwa juga perlu melibatkan banyak pihak.
“Banyak keluarga ODGJ berjuang sendiri dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, dengan beban ekonomi dan sosial yang besar seperti stigma dan pengucilan oleh masyarakat sekitar,” katanya.
“Dalam kondisi demikian, keluarga hanya bertahan dengan modal harapan.”
Namun, kata dia, harapan itu seringkali pudar karena lemahnya dukungan dari pemerintah, komunitas sosial dan religius.
“Keluarga perlu mendapat dukungan untuk menanggung beban ekonomis dan sosial dalam merawat ODGJ, karena keluarga menjadi aktor kunci dalam upaya pemulihan ODGJ.”
“Tanpa dukungan yang baik terhadap keluarga”, kata Boy, “ada begitu banyak ODGJ yang akan dipasung, dibiarkan terlantar dan menggelandang di daerah perkotaan.”
Stigma terhadap ODGJ dan keluarga, kata dia, juga menjadi salah satu faktor yang menghambat upaya pemulihan ODGJ.
“Memerangi stigma yang terjadi dapat dilakukan melalui edukasi isu kesehatan jiwa baik di sekolah dan maupun lingkungan masyarakat,” katanya.
Ia juga berkata, rehabilitasi sosial menempatkan setiap pihak sebagai caregiver dengan caranya masing-masing.
“Jadi, caregiver tidak hanya menjadi predikat bagi keluarga semata,” katanya.
Pemerintah desa, kata dia, dalam kapasitas sebagai caregiver memiliki peran dalam upaya kampanye kesehatan jiwa di tingkat desa, kebijakan penetapan kader khusus kesehatan jiwa, pembentukan kelompok swabantu, dan model pemberdayaan lainnya.
Sementara komunitas religius seperti Kelompok Basis Gereja (KBG) dapat menjadi ruang komunikasi untuk berbicara tentang kesehatan jiwa khususnya bagi keluarga ODGJ.
“Modal sosial inilah yang kurang dioptimalkan selama ini. Padahal, ini bertujuan agar masyarakat dapat memiliki pemahaman yang baik terkait kesehatan jiwa, sehingga pembicaraan tentang itu tidak lagi tabu dalam masyarakat,” katanya.
Laporan ini dikerjakan oleh: Arivin Dangkar di Manggarai dan Manggarai Timur; Mikael Jonaldi di Manggarai; Doroteus Hartono di Manggarai Barat, Adrian Naur di Lembata, dan Perseverando Elkelvin Wuran di Flores Timur
Editor: Petrus Dabu