Floresa.co – Seorang penyandang gangguan jiwa di Kabupaten Manggarai dilaporkan meninggal dunia dua pekan usai dipasung, kasus yang memicu desakan terhadap pemerintah untuk memberi perhatian serius pada penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa [ODGJ].
Seperti halnya di daerah lain di Indonesia, pemasungan merupakan praktik lazim sebagian besar masyarakat di Flores untuk mengendalikan perilaku ODGJ yang kadang agresif.
Kristo Yeri Koneram atau biasa dipanggil Engel ditemukan meninggal dalam keadaan terpasung pada Kamis malam 27 Desember di Karot Wul, kampungnya yang masuk wilayah Desa Wae Renca, Kecamatan Cibal Barat.
Mus Janggur, sepupunya, berkata, Engel meninggal pada “jam yang sama dengan ketika dia mulai dipasung” pada Kamis malam, 12 Desember.
Mus yang dihubungi Floresa pada 30 Desember berkata, pria kelahiran 1989 itu dipasung setelah memukul anak kerabatnya sendiri.
“Anak itu sedang main Ludo dengan kawannya. Saat sedang asyik main, Engel datang dan langsung memukul di bagian pipi hingga bengkak.”
Beberapa orang kemudian melerai, namun Engel malah makin agresif, kata Mus. Engel mengambil pisau di rumahnya dan mengancam orang-orang yang melerai.
“Kami khawatir. Kalau tidak dipasung, ada korban jiwa, ini berbahaya,” katanya.
Engel menderita gangguan jiwa sejak tiga tahun lalu saat ia merantau di Papua. Ia pun dipulangkan ke kampungnya.
Selama di kampung, kata Mus, kondisinya kadang membaik. Namun, bila sakitnya itu kumat, ia biasanya menyerang keluarganya sendiri. Mus pernah mengalaminya.
“Dia pernah mengejar saya dengan parang. Ponsel saya dia banting, kemudian merusak kaca rumah. Ia mengejar anak saya dengan parang,” kisahnya.
Waktu dipasung pada 12 Desember malam, Mus mengaku tidak tahu persis karena tak ikut serta dalam prosesnya.
“Pas saya dengar paginya, saya senang juga,” karena selama ini “keluarga sengsara” dengan “tindakan agresifnya.”
Sebelum pemasungan terakhir, Engel pernah dipasung juga pada tahun ini, kendati Mus tidak ingat persis waktunya.
Engel dipasung setelah berusaha menyerang ayahnya dengan batu, yang berhasil dicegah oleh adiknya.
Selama dipasung dalam dua pekan ini, Engel selalu dibantu ibunya, termasuk untuk memberi makan.
Seminggu terakhir, gairah makan Engel menurun, “hanya makan sedikit dan hampir tidak mau minum air.”
“Sebelumnya, ia makannya masih normal, habis satu piring,” kata Mus.
Mus membantah informasi yang beredar di sejumlah media bahwa Engel dianiaya sebelum dipasung.
Memang ada luka lebam di bagian mata Engel, namun, kata Mus, itu terjadi karena ia terjatuh.
Pemerintah Perlu Proaktif
Pater Cyrelus Suparman Andi MI, imam katolik dari Ordo Kamelian, yang dalam beberapa tahun terakhir melakukan pendampingan terhadap ODGJ di Flores, berkata, peristiwa yang dialami Engel seharusnya tidak terjadi, jika ada penanganan yang tepat.
Perilaku agresif ODGJ yang sering jadi alasan pembenar pemasungan, menurut doktor bidang Moral-Biomedis ini, bisa dicegah.
Ia mengakui bahwa pemasungan merupakan “solusi termudah bagi masyarakat yang tak punya pilihan.”
Namun, katanya, kepada Floresa pada 30 Desember, “jika diobati dengan baik, saya yakin pasien tidak akan bertindak kasar.”
Kalaupun untuk sementara dipasung, katanya, maka “harus dilakukan secara manusiawi.”
“Pasien tidak boleh dipukul, disiksa, atau diperlakukan semena-mena sebelum dipasung,” ujarnya.
Ia berharap kasus Engel menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan tenaga kesehatan.
“Kejadian ini harus membuka mata semua pihak untuk lebih serius menangani kesehatan jiwa. Jangan sampai ada lagi Engel-Engel lain di masa depan,” ujarnya.
Ia berharap Dinas Kesehatan bisa proaktif menangani pasien ODGJ, terutama menyediakan obat rutin.
Pater Andi juga mengungkapkan bahwa keluarga memiliki peran penting dalam memastikan pasien rutin mengkonsumsi obat.
“Pasien perlu diperlakukan dengan baik, diberi perhatian, kasih sayang, dan dukungan. Jangan malah dirundung atau diperlakukan dengan kekerasan,” katanya.
Ia menambahkan, “keluarga harus mengatur obat pasien, bukan membiarkan pasien mengaturnya sendiri.”
“Ini kunci agar pasien tetap tenang dan tidak kambuh,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan masyarakat untuk menangani ODGJ secara lebih manusiawi.
Selain itu, jelasnya, edukasi kepada masyarakat mengenai kesehatan mental juga perlu ditingkatkan.
“Gangguan jiwa itu seperti penyakit lain, perlu pengobatan medis, bukan selalu ke dukun,” katanya.
“Banyak pasien saya yang keluarganya habiskan uang, ternak, bahkan tanah untuk dukun, tapi hasilnya sama saja.”
Upaya Melawan Praktik Pemasungan
Laporan organisasi advokasi hak asasi manusia Human Rights Watch pada 2016, berjudul Lving in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia, menunjukkan bahwa setidaknya 57.000 ODGJ pernah dipasung dan sedikitnya 18.800 orang yang masih dipasung di Indonesia.
Data Dinas Kesehatan, Kependudukan dan Pencatatan Sipil NTT pada tahun lalu mencatat 7.636 ODGJ di provinsi itu. Hingga Agustus 2023, terhadap 311 orang yang dilaporkan masih dipasung.
Kendati demikian, data riil, baik jumlah ODGJ maupun yang sedang dipasung berpotensi jauh lebih banyak, mengingatnya banyaknya kasus yang tidak terdeteksi atau dilaporkan ke pemerintah.
Di Flores dan NTT secara umum, upaya kampanye meningkatkan kesadaran warga tentang penanganan yang tepat terhadap ODGJ, termasuk untuk mengakhiri praktik pemasungan, terus dilakukan.
Selain oleh Pater Andi dan rekan-rekannya di Ordo Camilian, upaya ini juga digalakkan oleh Kelompok Kasih Insanis [KKI], yang dipimpin Pater Avent Saur, SVD, imam Katolik yang berbasis di Ende.
Relawan KKI terus berkembang, dari 11 orang sejak berdiri pada 2016 menjadi 200 orang pada tahun lalu. Mereka tersebar di 17 kabupaten di NTT.
Kegiatannya antara lain melakukan edukasi kesehatan jiwa baik secara formal berbentuk seminar dan pelatihan, maupun secara nonformal berbentuk obrolan di rumah-rumah keluarga ODGJ, rumah ibadat Katolik, dan kantor-kantor pemerintah desa serta kantor kepolisian.
Sementara Pater Andi dan rekan-rekannya menginisiasi pembangunan rumah bebas pasung sejak 2015, dimana ODGJ bisa hidup tanpa harus dipasung. Rumah bebas pasung biasanya dibangun di samping rumah keluarga pasien.
Hingga akhir tahun ini, mereka sudah membangun 97 rumah bebas pasung di Flores.
Sebagian besar berada di Kabupaten Sikka, sementara sisanya tersebar di Kabupaten Manggarai [7 rumah], Manggarai Timur [2 rumah], Manggarai Barat [2 rumah], dan Kabupaten Ende [2 rumah].
Namun, upaya tersebut tak lepas dari berbagai kendala.
“Medan ke lokasi pasien sangat sulit, banyak jalan rusak dan berat. Selain itu, banyak pasien berada di kampung terpencil yang jauh dari jalan beraspal,” ujar Pater Andi.
Ia juga menyoroti keterbatasan ketersediaan obat di puskesmas.
Di Maumere, kata dia, layanan kesehatan dari puskesmas masih cukup memadai. Namun, di tiga kabupaten Manggarai, ketersediaan obat hampir tidak ada.
“Kalaupun ada, obatnya kurang cocok. Ketika saya beri obat yang disiapkan seminari, pasien cepat pulih. Tapi, kalau mereka konsumsi obat dari puskesmas, pasiennya masih kambuh,” ungkapnya.
Kendati menghadapi kendala, Pater Andi dan timnya terus berjuang menyediakan perawatan dan obat untuk pasien ODGJ. Ia percaya, dengan pengobatan yang rutin dan dukungan dari keluarga serta masyarakat, banyak pasien dapat kembali hidup normal.
“Banyak pasien saya yang sudah pulih dan kini produktif, menjadi petani, beternak, atau menenun. Semua ini menunjukkan bahwa harapan itu selalu ada,” pungkasnya.
Editor: Petrus Dabu