Floresa.co – Aktivis di Kabupaten Flores Timur, NTT mendorong proses hukum terhadap mantan ajudan penjabat bupati yang baru-baru ini mengintimidasi dan menghalangi liputan dua orang jurnalis, menyebut tindakan tersebut bentuk pembungkaman terhadap demokrasi dan pers.
Aktivis juga menyebut permintaan maaf yang disampaikan oleh pelaku tak serta merta menghapus unsur pelanggaran hukum dalam peristiwa itu.
Kanis Soge, Ketua Gerakan Anti Korupsi Flores-Lembata [Gertak Florata] yang berbicara kepada Floresa berkata, pers adalah pilar demokrasi keempat yang dilindungi Undang-Undang [UU], sehingga “harus diberi kebebasan untuk menyampaikan informasi kepada publik.”
Karena itu, kata dia, siapapun yang mengancam atau menghalangi kerja-kerja jurnalis harus dihukum supaya efek jera karena bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pasal 18 ayat [1] UU tersebut menyatakan bahwa “siapapun yang dengan sengaja menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenakan sanksi pidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta.”
Kanis berkata, jika tindakan seperti ini dibiarkan, demokrasi yang diperjuangkan selama ini akan sia-sia karena terjadi “pembungkaman suara kritis secara terus-menerus.”
“Demokrasi tidak jatuh dari langit secara gratis, melainkan hasil dari perjuangan panjang yang melibatkan keringat, darah, dan air mata para pejuang, bahkan menjadi nyawa taruhan,” katanya seperti dikutip dari Reportasentt.com.
“Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang mengarah pada pembungkaman suara kritis harus dilawan dan diproses secara hukum agar ada efek jera,” katanya.
Ia pun mendorong aparat penegak hukum bertindak tegas terhadap orang yang mengancam dan menghalangi kerja-kerja jurnalis sehingga peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang.

Pernyataan Kanis merespons permintaan maaf yang disampaikan oleh Juliana Claudia Peni alias Lyan setelah mengintimidasi dan menghalangi Paul Kabelen, jurnalis TribunNews/Pos Kupang dan Fransiskus Geraldus Molo, jurnalis Metro TV.
Lyan, ASN yang juga mantan ajudan pejabat sementara bupati, Sulastri Rasyid itu dilaporkan mengintimidasi dan menghalangi Paul Kabelen, jurnalis TribunNews/Pos Kupang dan Fransiskus Geraldus Molo, jurnalis Metro TV saat mereka meliput di rumah dinas bupati pada 21 Februari sekitar pukul 10.00 Wita.
Paul, yang berbicara kepada Floresa berkata, saat itu ia dan Fransiskus hendak menggali informasi terkait keberadaan mobil dinas yang baru dibeli pemerintah daerah untuk bupati dan wakil bupati terpilih, Antonius Doni Dihen dan Ignas Boli Uran.
Merujuk pada laporan Paul sehari sebelumnya, pembelian dua unit kendaraan itu menelan anggaran Rp1.320.000.000 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Kedua unit mobil baru itu tak langsung digunakan Anton dan Ignas, sebab pasangan yang diusung Partai Nasional Demokrat dan baru dilantik Presiden Prabowo Subianto itu disebut-sebut lebih memilih mobil lama.
Laporan Floresa pada 21 Desember 2024 mengungkap, selain untuk Anton dan Ignas, pemerintah daerah juga membeli mobil dinas baru untuk Ketua DPRD dan dua wakilnya.
Total anggaran untuk pembelian lima unit mobil itu adalah sebesar Rp3,12 miliar.
Pemerintah daerah mengklaim pembelian mobil baru itu berbasis pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2022 yang mengatur tentang Penjualan Barang Milik Negara/Daerah berupa kendaraan perorangan dinas.
Namun, langkah itu menuai kritik karena dilakukan di tengah erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang terus berlanjut dan memaksa ribuan warga bertahan di pengungsian.
Paul Kabelen berkata, untuk memperkuat informasi itu, ”kami mendatangi rumah jabatan bupati untuk mencari tahu keberadaan mobil baru itu.”
Ketika sampai di sana, kata dia, tampak para ASN sedang membersihkan rumah dinas yang akan ditempati Ignasius setelah pulang retret dari Magelang, Jawa Tengah.
Ia mengaku sempat menyapa Lyan dan para ASN lain serta “meminta izin kepada mereka” sebelum mengambil gambar.
Setelah memperoleh izin, ia lalu menanyakan keberadaan mobil dinas baru itu kepada Lyan.
Namun, kata dia, Lyan langsung menghadangnya sembari berkata “mobil ada di belakang dan jangan ambil gambar di situ,” sambil menunjuk lokasi mobil yang sedang terparkir.
“Lyan juga sampaikan harus minta izin dulu,” katanya.
Paul menanyakan alasan pelarangan itu, yang dibalas Lyan dengan berkata “datang ambil gambar hanya bikin berita yang bukan-bukan.”
Ia mengaku nada suara Lyan terus meninggi dan terus-menerus membentak mereka selama berada di rumah jabatan itu.
“Padahal saya sedang menjalankan tugas peliputan yang dibuktikan dengan seragam lengkap dan kartu pers,” katanya.
Paul mengaku sempat beradu argumen dengan Lyan, hal yang membuat beberapa ASN lain mengizinkan mereka untuk mengambil gambar kendaraan itu.
Lantaran situasi sudah tak kondusif, kata Paul, ia dan Fransiskus lantas memilih pulang dan melaporkan kejadian tersebut kepada rekan-rekan jurnalis.
“Dari respons awal saja menunjukkan dia [Lyan] mengintimidasi dan berniat menghalangi-halangi tugas jurnalis,” katanya.
Merespons pengakuan Paul dan Fransiskus, para jurnalis pun kompak mengadukan tindakan Lyan kepada Asisten III Sekretaris Daerah Flores Timur, Petrus Pehan Tukan.

Petrus pun memohon maaf kepada para jurnalis melalui sebuah video berdurasi 1 menit 42 detik yang diterima Floresa pada 21 Februari.
Ia berkata kejadian itu menjadi pembelajaran untuk semua pihak.
Ia juga berharap mitra antara pemerintah daerah dan pers tetap berjalan dalam mendukung segala kegiatan di kabupaten tersebut.
“Kami menyadari dalam proses [pembangunan] butuh kehadiran pers dalam kerja kita untuk Lamaholot ke depan,” katanya.
Lamaholot adalah sebutan untuk kelompok etnis yang mendiami wilayah Flores Timur dan Lembata. Suku Lamaholot juga dikenal sebagai Suku Solor, Lamkolot atau Larantuka, dan Alor.
Lamaholot berasal dari dua kata yakni “Lama” artinya kampung dan “Holot” artinya bersambung. Lamaholot diartikan sebagai kampung yang bersambung-sambung.
Pada hari yang sama, Juliana Claudia Peni juga meminta maaf kepada Paul Kabelen dan Fransiskus Geraldus Molo yang ditayangkan dalam video berdurasi 42 detik.
Ia mengklaim “tidak bermaksud melarang peliputan yang dilakukan dua jurnalis di rumah jabatan bupati,” tetapi hanya mengatakan “belum boleh meliput karena pimpinan [bupati] belum ada di tempat.”
Kendati demikian, ia mengakui cara penyampaiannya telah menimbulkan kericuhan.
“Saya memohon maaf yang sebesar-sebesarnya kepada jurnalis TribunNews dan Metro TV,” katanya.
Kanis Soge berkata, “kalau setiap tindakan melawan hukum bisa diselesaikan dengan minta maaf, apa artinya perjuangan para pejuang demokrasi.”
Karena itu, kata dia, para pihak yang berkonflik mesti duduk bersama untuk meneken perjanjian yang “tujuannya menghentikan tindakan intimidasi kepada jurnalis di lain waktu.”
Editor: Herry Kabut