Kehilangan Pekerjaan dan Harus Tinggal di Rumah Aman, Nasib Umat di Sikka yang Hadapi Proses Hukum Usai Kritik Korporasi Milik Gereja Katolik

Cece Geliting meyakini tidak bersalah karena sedang bersolider dengan sesama yang ditindas

Floresa.co – Usai dipanggil Polres Sikka pada awal bulan ini untuk pemeriksaan sebagai terlapor kasus dugaan penghinaan simbol dan tokoh agama Katolik, hidup Cece Geliting berubah drastis.

Ia tidak lagi tinggal di kediamannya di Kabupaten Sikka.

Demi alasan keamanan, transpuan itu memilih menetap di sekretariat Komunitas Fajar Sikka, organisasi advokasi tempatnya bergabung sebagai salah satu anggota.

“Untuk bertahan hidup, saya bergantung pada organisasi. Saya jadikan sekretariat ini sebagai rumah aman,” katanya.

Berbicara dengan Floresa pada 17 Februari, Cece berkata, hidupnya tidak lagi “berjalan normal” seperti sebelumnya.

Cece bekerja sebagai penata rias, yang di kalangan rekan-rekannya dikenal sebagai Make Up Artist atau MUA.

Saat diperiksa pada 4 Februari, polisi menyita ponselnya sebagai barang bukti.

Padahal, ia menggunakan ponsel untuk bisa selalu terhubung dengan klien yang membutuhkan jasanya.

“Semenjak kasus itu, saya kehilangan tiga klien,” kata Cece. 

“Kami kehilangan kontak karena ponsel saya masih ditahan. Sebelum kejadian itu, saya sudah sepakat dengan klien.”

Ia juga menduga “mungkin karena berita tentang saya viral, mereka [klien] batal memakai jasa saya.”

Ia menggambarkan kondisinya kini sebagai orang yang “kehilangan kenyamanan, pekerjaan dan relasi sosial.”

Cece dilaporkan oleh Forum Pemuda Katolik Bersatu di Polres Sikka pada 28 Januari dengan tudingan menghina simbol dan tokoh agama Katolik.

Tudingan itu terkait unggahan Cece di media sosial Facebook yang mengkritik aksi PT Krisrama, akronim dari PT Kristus Raja Maumere.

Kritikannya terkait aksi korporasi milik Keuskupan Maumere itu yang pada 22 Januari menggusur 120 rumah dan tanaman milik warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Nangahale, Kecamatan Talibura.

Penggusuran yang dipimpin Romo Yan Faroka, Direktur Pelaksana PT Krisrama itu terkait konflik lahan bertahun-tahun antara warga adat dengan Gereja Katolik.

Di satu sisi, PT Krisrama yang mengantongi Hak Guna Usaha atas lahan itu menuding warga mendudukinya tanpa dasar hukum. Di sisi lain, warga adat meyakini lahan itu adalah milik mereka, yang dirampas sejak era kolonial Belanda, berlanjut ke penguasaan oleh Gereja Katolik pasca kemerdekaan.

Usai peristiwa penggusuran itu, Cece mengunggah gambar di Facebook yang menyerupai jubah pemuka agama dengan kepala berupa moncong alat berat.

Gambar menyerupai jubah tokoh agama dengan bagian kepala seperti moncong alat berat yang diunggah Cece Geliting di Facebooknya. (Facebook)

Cece membuat tulisan yang menyertai gambar itu: “Dalam pikiranku sekarang adalah romo berkepala eksavator, bukan jadi penjala manusia tapi penggusur manusia, bukan mengurus iman umatnya, tapi menimbun kekayaan, bukan membangun gereja, tapi memusnahkan hunian umat dan bukan menyebarkan cinta kasih tapi menyebarkan kebencian.”

Unggahan itu dan beberapa lainnya selama 25-27 Januari, dianggap bentuk penistaan terhadap Gereja Katolik, menurut Forum Pemuda Katolik Sikka Bersatu.

Dicecar Puluhan Pertanyaan

Cece berkata, saat diperiksa pada 4 Februari, polisi menanyakan antara 20 sampai 30 pertanyaan.

Isinya seputar gambar yang ia unggah, baik asalnya maupun tujuannya mengunggahnya. 

Ia mengaku memberi tahu penyidik bahwa ia mendapat gambar itu dari Hendrika Mayora Viktoria, Ketua Komunitas Fajar Sikka.

Pengakuannya berujung pada pemanggilan Mayora beberapa hari setelahnya untuk memberi keterangan.

Kepada Floresa, Mayora mengaku mendapat gambar itu dari internet, yang lalu diteruskan kepada Cece dan beberapa kawan lainnya.

Tidak ada tekanan dari penyidik selama pemeriksaan, kata Cece, sehingga ia terbuka menyampaikan penjelasan.

Cece belum dipanggil lagi oleh polisi. 

Karena ponselnya ditahan, katanya, ia masih menanti kabar lebih lanjut via pengacaranya.

Floresa menghubungi Humas Polres Sikka, Iptu Yermi Soludale pada 18 Februari untuk menanyakan perkembangan kasus ini. 

Ia beralasan belum bisa memberikan penjelasan karena sedang tidak masuk kantor dan bisa menghubunginya kembali pada esok hari.

Ditanya apakah ada pihak penyidik yang bisa membantu memberi penjelasan, ia beralasan “pemberian informasi untuk media melalui satu pintu.”

Siap Terima Konsekuensi

Cece berkata, unggahannya di Facebook yang mengkritik langkah PT Krisrama adalah bentuk solidaritas terhadap sesama yang ditindas.

Sebagai transpuan, katanya, ia juga kerap mengalami penindasan dan karena itu muncul rasa solidaritas saat melihat warga Nangahale menjadi korban penggusuran, yang dalam terminologi PT Krisrama adalah ‘pembersihan’ lahan dari okupan.

“Saya bela mereka karena bersolidaritas dengan sesama masyarakat kecil yang sering didiskriminasi dan dipersekusi,” katanya.

“Saya melihat kehidupan yang saya alami sama dengan mereka walaupun konteksnya berbeda. Mereka digusur, sementara kami [sebagai transpuan] tidak diberikan ruang dan hak,” katanya.

Dalam kasus ini, kata Cece “saya melihat orang beragama [Katolik] yang ditindas oleh sesama Katolik.” 

Karena itu, jelasnya, dalil pelapor tentang penistaan agama “sangat tidak relevan.”

“Saya sedang mengkritik pemimpin Agama Katolik yang jelas-jelas menelantarkan umatnya sendiri,” katanya.

Sebagai umat Katolik, katanya, ia memiliki hak “mengkritik agama saya. Kok saya dibilang menista?” 

Ia menyebut langkah Forum Pemuda Katolik membawanya ke polisi adalah “cara mereka membungkam saya.”

Ia berkata, penistaan terhadap agama, terutama ajarannya, justru terjadi ketika ada pemimpin agama yang “tidak mengayomi, tidak mencintai, dan mensejahterakan umatnya sendiri.”

Hendrika Mayora Viktoria, Ketua komunitas Fajar Sikka juga berpendapat bahwa Cece tidak menghina simbol gereja dan menistakan Agama Katolik. 

Ia menjelaskan, Cece adalah orang Katolik yang juga rutin terlibat membantu orang muda Katolik di parokinya, Reinha Rosari Kewapante.

“Salah satunya ia menjadi ketua panitia natal bersama di Paroki Kewapante dan membantu mensukseskan kegiatan bersama orang muda di Desa Geliting,” katanya.

Alih-alih sebagai penghinaan, kata dia, Cece sedang berupaya menunjukkan kecintaannya pada Gereja Katolik.

“Dia mengharapkan Gereja Katolik yang mengasihi umatnya, yang mengutamakan kasih dalam menyelesaikan persoalan,” kata Mayora.

Floresa menghubungi Yan Faroka, imam Katolik Keuskupan Maumere yang juga Direktur Pelaksana PT Krismara pada 18 Februari, menanyakan pendapatnya apakah tindakan yang dilakukan Cece adalah penghinaan terhadap simbol agama dan Gereja Katolik.

Yan berkata, “penistaaan agama ataupun kebebasan mengkritik itu hanya orang yang bernama Cece Geliting yang tahu.” 

“Jadi, dialah yg membuktikan. Saya tidak pernah tahu itu dan untuk apa saya tahu. Dan, jika saya tidak tahu, mengapa saya intervensi?” katanya lewat pesan WhatsApp.

Dua warga duduk menatap rumah mereka yang dirobohkan oleh PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere di Sikka pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa)

Kunjungi Warga Nangahale

Di tengah situasi menghadapi kasus ini, pada akhir pekan lalu, Cece bergabung bersama anggota Komunitas Fajar Sikka mengunjungi warga Nangahale.

Mereka mengisi waktu dengan mengobrol dengan warga yang berdiam di tenda-tenda beratap terpal sambil menghibur anak-anak mereka.

“Kami membantu mereka, menghibur mereka, bermain bersama,” kata Cece.

Mayora membagikan kepada Floresa foto-foto saat mereka bercengkrama dengan warga di Nangahale sambil melatih anak-anak mereka baca tulis, sembari memberi bingkisan.

Ia berkata, ketika mereka meminta anak-anak menggambar, “mereka membuat gambar alam yang indah, namun kemudian ada yang menangis.”

“Saat saya coba tanya, mengapa mereka menangis, mereka berkata karena sedih setelah rumahnya digusur. Padahal, sebelumnya mereka masih bisa tinggal di tanah itu,” katanya.

Dari perjumpaan dengan para korban itu, Cece berkata, ia menjadi lebih memikirkan kondisi mereka, ketimbang dirinya.

Warga Nangahale di Sikka yang kini tinggal di tenda beratap terpal setelah rumah mereka digusur pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Komunitas Fajar Sikka)

Ditanya apakah ia khawatir dengan ujung pelaporan ini, termasuk jika dipenjara, katanya, “saya tidak terlalu memikirkannya.”

Dari teman-temannya, ia juga mendapat informasi soal munculnya komentar-komentar di Facebook “yang minta saya ditahan, membuat permintaan maaf terkait unggahan saya di Facebook.”

Namun, ia tetap meyakini tidak bersalah, mengklaim aksinya semata bentuk solidaritas.

“Kalaupun saya akhirnya dipenjara, itu mungkin konsekuensi yang harus saya terima,” katanya.

Sebagai umat Katolik yang peduli pada Gereja, katanya, sharusnya orang-orang, termasuk pelapornya, juga mengkritik pimpinan Gereja yang tega menggusur rumah umat dan membiarkan mereka terlantar.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA