Floresa.co – Tuntutan untuk bersikap netral seringkali muncul ketika ada media yang mengambil sikap terhadap persoalan di tengah masyarakat.
Media didoktrin agar menjaga netralitas sebagai syarat untuk bisa dianggap sebagai media yang profesional.
Namun “netralitas dalam jurnalisme hanyalah mitos,” kata Wisnu Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ia menyebut tidak mungkin ada netralitas, sebab media pasti punya sikap tertentu, yang sangat bergantung pada kepentingan dan latar belakang yang membentuk pengetahuan dan pemahaman jurnalis serta tim redaksi setiap media.
“Banyak yang mengatakan jurnalis harus netral, tidak boleh berpihak. Tapi apakah itu mungkin? Saya berani mengatakan, tidak ada yang namanya netralitas dalam jurnalisme,” kata Wisnu saat berbicara dalam diskusi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores bertema “Media dan Ilusi Netralitas” di Rumah Baca Aksara, Ruteng pada 7 Februari.
Dipandu oleh Elisa Lehot dari Sunspirit for Justice and Peace, diskusi itu diikuti 20 peserta dari beberapa komunitas di Ruteng.

Wisnu yang kini menempuh studi doktoral di University of Sheffield, Inggris berkata, sejak seorang wartawan memilih untuk menulis sebuah berita, ia sudah membawa sudut pandang tertentu.
Faktor pengalaman pribadi seorang jurnalis, kebijakan institusi tempatnya bekerja, serta kepentingan komunitas tempat media berada turut membentuk cara memahami dan menuliskan peristiwa.
Ia menjelaskan, “mitos netralitas ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan Orde Baru,” saat Indonesia berada di bawah kekuasaan Soeharto, presiden yang dikenal otoriter.
Pada masa itu, kata dia, media diarahkan untuk tidak memiliki afiliasi politik, kendati sebelum Orde Baru media-media di Indonesia justru memiliki keberpihakan yang jelas.
“Sejarah media di Indonesia bukanlah sejarah media yang netral. Dulu ada media nasionalis, komunis, Katolik, Islam. Semuanya punya kepentingan masing-masing,” jelasnya.
Selama Orde Baru, kata Wisnu, muncul doktrin bahwa media harus menjaga jarak dari politik, agar tidak mengganggu stabilitas politik.
“Ketika media seperti Tempo dan Kompas berani mengkritik Soeharto, mereka dibredel,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, di banyak negara, wartawan juga terlibat dalam aktivitas yang berbau politik.
“Mereka membela hak-hak buruh, terlibat dalam gerakan sosial dan mengorganisir perubahan,” katanya.
Karena pengaruh Orde Baru, kata Wisnu, “di Indonesia, praktik seperti ini dianggap tabu.”Media, kata dia, media direduksi menjadi industri yang berorientasi pada keuntungan ekonomi.
“Keberpihakan mereka cenderung mengikuti kepentingan ekonomi dan politik pemodal,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana media cenderung mendukung proyek-proyek besar seperti pembangunan tempat wisata, jalan tol, atau bahkan penggusuran tanah warga, karena secara ekonomi mereka mendapat keuntungan dari situasi tersebut.

Pengalaman Floresa
Ryan Dagur, Pemimpin Umum dan Editor Floresa, narasumber lain dalam diskusi tersebut mengamini pendapat Wisnu soal keniscayaan keberpihakan media
Berangkat dari pengalaman Floresa, kata dia, sejak berdiri lebih dari satu dekade lalu media independen tersebut telah secara terbuka menyatakan sikap berpihak kepada kepentingan publik.
Hal itu, jelasnya, diungkapkan secara eksplisit dalam rumusan profil Floresa di laman ‘Tentang Kami’ yang ada pada web.
“Di sana terungkap jelas, seperti apa posisi Floresa dalam konteks kehadirannya di Flores dan NTT, yaitu mendukung pembangunan berkeadilan dan demokratisasi, sekaligus menjadi bagian dari gerakan kritis,” katanya.
Pernyataan itu, kata dia, secara eksplisit menerangkan keberpihakan Floresa.
Mengambil contoh pilihan sikap dalam kasus proyek geotermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Ryan berkata, sejumlah pihak, termasuk beberapa media menuduh Floresa terlalu berpihak.
Ia berkata, “kami memang berpihak,” dalam konteks berupaya membantu menyalurkan aspirasi warga terhadap proyek itu yang dikerjakan korporasi milik pemerintah, PT Perusahaan Listrik Negara dan didukung penuh pemerintah lokal dan dibekingi aparat keamanan.

Ryan berkata, media-media yang menyebut Floresa berpihak juga sebetulnya berpihak.
“Mereka berpihak kepada PLN dan pemerintah,” ujarnya, kendati mereka menyebut diri netral.
“Kita bisa lihat bagaimana media-media itu, yang diduga dibiayai oleh PT PLN, menulis berita soal Poco Leok. Mereka nyaris tidak pernah mengangkat suara warga yang menolak. Ini membuktikan bahwa keberpihakan itu ada, hanya saja mereka tidak mau mengakuinya,” katanya.
Ia menjelaskan, keberpihakan dalam konteks polemik geotermal Poco Leok merupakan implementasi dari komitmen Floresa mendukung demokratisasi dan pembangunan berkeadilan.
“Kami melihat ada ketimpangan kekuasaan dalam proyek itu. Di satu sisi ada PT PLN dengan segala sumber dayanya yang didukung penguasa, dan di sisi lain ada masyarakat yang dalam posisi tidak berdaya untuk membela hak mereka,” katanya.
Ia menjelaskan, jika sepakat bahwa media adalah pilar demokrasi, maka sudah sejatinya mengambil sikap untuk berpihak pada kepentingan warga, supaya tidak ada hegemoni dalam diskursus tentang proyek oleh mereka yang punya kuasa dan uang.
Ryan menegaskan, di tengah soal-soal yang menyangkut kemanusiaan, masyarakat kecil, peran media dan jurnalis berada di titik ujian paling penting: mau ada di mana?
“Menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas atau mau berpihak, berada bersama masyarakat yang rentan dalam perjuangan menyuarakan hak mereka,” katanya.
Wisnu menyatakan, secara umum, “ekosistem media di Indonesia saat ini memang sudah rusak.
Karena itu, kata dia, sandarannya kini pada media-media alternatif yang kian banyak muncul karena mereka “menyuarakan suara warga yang rentan dalam dinamika ekonomi politik bangsa.”
Ia berkata, sejatinya media menegaskan keberpihakannya, terutama dalam isu-isu yang menyangkut kelompok rentan.
“Ketika ada kasus yang melibatkan kelompok rentan, media harus menentukan sikap: apakah kita hanya menjadi corong penguasa, atau membela mereka yang tidak punya suara?” katanya.
Wisnu berkata, “saya percaya bahwa jurnalisme yang baik adalah jurnalisme yang berpihak pada keadilan.”
Editor: Anno Susabun