Perusahaan Tambang Bebatuan di Manggarai Barat Bertahun-tahun Beroperasi Tanpa Izin; Mulai Diselidiki Polisi, Dinas ESDM Janji Bakal Bina

Perusahaan tersebut juga mengingkari sejumlah kesepakatan dengan warga

Floresa.co – Polres Manggarai Barat tengah menyelidiki salah satu perusahaan tambang bebatuan yang diprotes warga karena beroperasi secara ilegal dan memicu kerusakan lingkungan.

Penyelidikan terhadap PT Logam Bumi Sentosa milik Jemy Lasmono Nday alias Baba Jemy di Kampung Ra’ong, Dusun Compang, Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo itu menyusul protes warga setempat.

Polisi telah meminta klarifikasi tiga orang warga Kampung Ra’ong pada 27 Maret, yakni Muhamd Sainal Abdin, Muhamd Yasin dan kepala kampung atau Tu’a Golo, Muhamad Tayeb.

Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, Lufthi Darmawan Aditya meneken surat undangan klarifikasi bernomor B/689/III/2025/Sat Reskrim itu pada 25 Maret.

Dalam surat itu, Lufthi menjelaskan, undangan klarifikasi itu menyusul Laporan Informasi bernomor R/LI/10/III/2025/Sat Reskrim dan Surat Perintah Penyelidikan bernomor SP.Lidik/105/III/Res.1.24/2025/Sat Reskrim tertanggal 24 Maret, terkait “dugaan tindak pidana pertambangan tanpa izin” milik Baba Jemy.

Surat undangan wawancara klarifikasi yang dikirim Polres Manggarai Barat kepada Muhamad Sainal Abdin pada 26 Maret 2025. (Dokumentasi Muhamad Sainal Abdin)

Sainal yang berbicara kepada Floresa usai pemberian klarifikasi mengaku “penyidik menanyakan terkait izin aktivitas perusahaan.”

Ia menjelaskan bahwa Baba Jemy pertama kali masuk ke kampungnya pada 2020 dan meminta persetujuan warga agar perusahaannya bisa menambang batu dan pasir di Kali Wae Lambos dan Wae Jondo dalam jangka waktu lima tahun.

Setelah mendapat persetujuan, Baba Jemy langsung mulai menambang, kendati “tidak pernah menunjukkan izinnya kepada kami.”

“Ketika kami tanya, dia bilang [izinnya] masih dalam proses,” katanya.

Namun, kata Sainal, “sampai saat ini, dia sama sekali belum menunjukkan izin itu.” 

Sainal berkata, pada 2022, Baba Jemy mendatangkan stone crusher atau alat pemecah batu yang ditempatkan di tanahnya di dekat Wae Lambos. 

Kehadiran stone crusher itu “tidak pernah dibicarakan kepada warga,” tetapi “perusahaan mulai mengolah, mengangkut dan menjual material ke luar.”

“Yang disepakati warga hanya penggalian batu dan pasir, bukan penggilingan batu,” kata Sainal.

“Kami kaget tiba-tiba sudah ada penggilingan batu di situ. Apalagi, jaraknya hanya sekitar 300 meter dari perumahan warga,” tambahnya.

Sainal berkata, penyidik juga menanyakan terkait kerugian akibat aktivitas perusahan tersebut.

Ia menjawab, perusahaan telah mengingkari kesepakatan dengan warga yang dituangkan dalam berita acara, yaitu “mereka tidak boleh mengeruk batu dan pasir yang berada dua meter dari bibir kali.”

“Perusahaan tidak mengindahkan kesepakatan itu dan tetap menambang sampai di bibir kali,” katanya.

Akibatnya, kata dia, lahan warga yang berbatasan dengan kali tersebut tergerus dan ketika air meluap terjadi genangan.

“Perusahaan juga menutup kali kecil di dekat penggilingan batu. Mereka membangun selokan dan mengubah aliran air kali itu ke Wae Lambos,” katanya.

“Saat musim hujan, kali itu meluap dan menggenangi lahan warga,” tambahnya.

Lahan warga yang tergerus karena PT Logam Bumi Sentosa mengeruk batu dan pasir hingga ke bibir Kali Wae Lambos. Padahal, dalam kesepakatan dengan warga pada 16 Januari 2023, perusahaan bersedia untuk tidak mengeruk pasir dan batu yang berada dua meter dari tebing kiri dan kanan kali. (Dokumentasi warga)

Sainal berkata, penempatan penggilingan batu juga berdekatan dengan lahan warga yang di dalamnya ditanami sayur-sayuran.

Debu yang dihasilkan oleh alat itu, menempel di sayur-sayuran itu dan “bisa mempengaruhi kualitasnya.”

“Sayur itu tidak hanya dikonsumsi sendiri, tetapi juga dijual ke pasar. Kami khawatir tidak laku karena tidak layak dikonsumsi,” katanya.

Sainal berkata, lalu lintas mobil-mobil yang mengangkut material itu juga menyebabkan rusaknya dua deker yang dibangun dengan dana desa.

Hingga kini “perusahaan belum memperbaikinya.”

Sainal mengaku penyidik juga menanyakan “siapa saja warga yang dirugikan oleh aktivitas perusahaan tersebut.”

Ia menjawab, “pada dasarnya perusahaan melanggar kesepakatan dengan warga yang dituangkan dalam berita acara.”

PT Logam Bumi Sentosa menutup kali kecil di dekat penggilingan batu. Mereka membangun selokan dan mengubah aliran air kali itu ke Wae Lambos. (Dokumentasi warga)

Adang Sopir

Aktivitas PT Logam Bumi Sentosa mulai menjadi perhatian publik setelah pada 21 Maret Sainal melalui akun Facebook bernama “Zainal” mengunggah berita berjudul  “Warga Dusun Compang Mengeluh: Kuari Baba Jimi Letaknya Dekat Pemukiman dan Lahan Warga.” 

Laporan yang dipublikasi Suaranusantara.co pada 10 Oktober 2024 itu diunggah “Zainal” disertai takarir “bantu sebarkan ini.”

Zainal menulis bahwa alat pemecah batu milik Baba Jimy itu  “ilegal” dan “tidak ada sepakat antara pihak warga dengan pemilik tambang.” 

Ia juga menjelaskan bahwa warga setempat sempat protes dan melarangnya beroperasi serta menjual material.

Kendati disetujui, namun pihak perusahaan melanggarnya dan tetap beroperasi diam-diam, sekaligus menjual material keluar kampung.

Dua buah truk yang diadang warga Kampung Ra’ong karena mengangkut kerikil dari stone crusher milik Baba Jemy pada 21 Maret 2025. (Dokumentasi Muhamad Sainal Abdin)

Merespons undangan itu, beberapa jurnalis, termasuk Floresa mendatangi Kampung Ra’ong meliput tambang tersebut.

Kepada Floresa, Sainal mengaku unggahan itu dibuat setelah beberapa jam sebelumnya ia mengadang dua truk yang melintas di depan rumahnya dan mengangkut kerikil dari lokasi stone crusher milik Baba Jemy. 

Ia sempat menyuruh kedua sopir truk itu berbalik arah dan menurunkan kembali material itu di lokasi stone crusher karena “Baba Jemy belum merealisasikan semua janjinya kepada warga.”

Namun, katanya, “saya berubah pikiran karena mereka berkali-kali memohon agar tetap mengangkut material itu.”

“Kami tidak tahu soal janji itu. Kami baru pertama kali datang ke sini dan disuruh oleh bos. Bos kami sudah mentransfer uang material ini ke Baba Jemy,” kata Sainal menirukan ucapan kedua sopir itu.

“Kami akan beri tahu teman-teman kami supaya tidak angkut material di sini lagi,” tambahnya menirukan ucapan para sopir itu.

Sainal mengaku sehari sebelumnya ia juga mengadang dua buah truk yang hendak mengangkut material di stone crusher milik Baba Jemy.

Ia memberi tahu kedua sopir itu supaya “tidak boleh mengangkut material karena Baba Jemy belum merealisasikan semua janjinya.”

Kedua sopir itu, kata dia, “pulang kosong,” kendati mereka dan salah satu orang perusahaan memohon agar material tersebut tetap diangkut.

“Kesepakatan kami dengan Baba Jemy, ‘tidak boleh angkut sebelum semua kesepakatan dilaksanakan,’” katanya. 

Apa Isi Kesepakatan dengan Warga?

Sainal berkata kesepakatan warga dengan Baba Jemy tertuang dalam berita acara rapat yang ditandatangani bersama Tua Golo, Muhamad Tayeb pada 29 November 2020.

Dalam berita acara itu, yang salinannya diperoleh Floresa, dinyatakan bahwa warga menyetujui pemanfaatan batu dan pasir — yang kala itu disebut galian C — di kali Wae Lambos dan Wae Jondo oleh Baba Jemy.

Berita acara itu juga memuat beberapa poin di antaranya “panjang lokasi Wae Lambos yang dapat dimanfaatkan oleh Baba Jemy kurang lebih dua kilometer persegi,” dimulai dari kawasan hutan negara sampai di Lingko Nampar. 

Sementara itu, panjang lokasi Wae Jondo yang dapat dimanfaatkan hanya kurang lebih satu kilometer persegi.

Poin lainnya adalah Baba Jemy menyanggupi beberapa pekerjaan fisik, di antaranya pembuatan jalan dengan material sirtu mulai dari jalan poros Golo Mori — Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang sampai di Kampung Ra’ong — yang melingkari kampung bawah dan jalan dari cabang lapangan sampai ke kampung atas.

Selain itu, pembuatan rabat di kali Wae Lancung dan Wae Jondo dengan lebar lima meter serta pembuatan lima unit deker.

Baba Jemy juga dinyatakan tidak keberatan jika masyarakat mengambil batu dan pasir di lokasi tambang untuk kebutuhan rumah tangga, juga untuk proyek yang bersumber dari Dana Desa atau APBD, selama pemanfaatannya tidak membutuhkan alat berat.

“Pihak kedua [Baba Jemy] siap membantu atau menyumbang sebisanya, tanpa ada paksaan apabila ada pembangunan rumah ibadah, sarana pendidikan atau kegiatan [sosial] lainnya di Kampung Ra’ong.”

Berita acara yang ditandatangani Jemy Lasmono Nday dan Muhamad Tayeb dalam sebuah rapat bersama warga pada 29 November 2020. (Dokumentasi Muhamad Sainal Abdin)

Sainal mengaku berada di Kupang saat penandatanganan kesepakatan itu yang syarat agar perusahaan mendapat izin operasi.

Namun, katanya, beberapa hari setelah membuat kesepakatan itu, “perusahan langsung mulai beroperasi.”

Hal itu membuat warga sempat marah dan mempertanyakan “mengapa perusahaan langsung beroperasi, padahal kesepakatan baru saja dibuat.”

“PT beroperasi selama satu tahun tanpa memberikan imbalan yang telah disepakati dengan warga. Selama satu tahun itu, mereka terus mengangkut material tanpa henti,” katanya.

Sainal berkata, ketika kembali ke kampung pada 2021, “saya melihat mereka [perusahaan] masih mengangkut material setiap hari.” 

Lalu lintas mobil dan alat berat perusahaan membuat deker dan jalan yang dibangun pemerintah desa rusak.

Karena itu, “kami marah dan pergi ke lokasi tambang untuk meminta mereka berhenti mengangkut material.”

“Kami juga berdiskusi dengan Tua Golo terkait tindakan yang telah dilakukan PT terhadap warga. Kami menyampaikan bahwa kesepakatan awal yang telah dibuat ternyata dilanggar,” katanya. 

Mobil yang digunakan PT Logam Bumi Sentosa untuk mengangkut pasir dan batu. (Dokumentasi warga)

Merespons aduan itu, Tua Golo, Muhammad Tayeb mengundang seluruh warga serta perwakilan perusahaan membahas masalah ini.

Dalam pertemuan tersebut, kata dia, “warga melarang PT melanjutkan pengangkutan material.” 

Ia berkata, lantaran perusahaan melanggar kesepakatan, beberapa poin dalam berita acara itu ditinjau kembali dalam sebuah pertemuan pada 16 Januari 2023. 

Berita acara itu ditandatangani oleh Baba Jemy, Muhamad Tayeb, Samaila dan Japri — keduanya merupakan Kepala Desa dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa di Desa Golo Mori.

Berita acara edisi revisi itu memuat beberapa poin, di antaranya pembuatan rabat beton di kali Wae Lancung dengan lebar lima meter dan panjang 35 meter dan pembuatan rabat beton di kali Wae Jondo dengan lebar lima meter dan panjang 22 meter.

“Penggalian fondasi memakai alat berat atau excavator dan ketinggian bagian atas lantai rabat itu rata dengan kali dan tebalnya turun ke bawah. Fondasi rabat beton dua sungai itu berbentuk kotak.”

Poin lainnya adalah terkait penggusuran dan pelebaran jalan hingga enam meter dan pembuatan parit sejauh empat kilometer.

Dalam pengerjaannya, perusahaan wajib menghampar sirtu sepanjang 1,8 kilometer dan digilas dengan vibro mulai dari pintu masuk Desa Golo Sengang sampai di Kampung Ra’ong.

Apabila salah satu titik rusak atau tidak bisa dilewati, maka perusahaan wajib memperbaiki secepatnya.

Perusahaan juga diminta meratakan permukaan jalan di Golo Sambih dengan ukuran tiga meter.

Dalam penggusuran jalan baru sepanjang 1,2 kilometer, perusahaan juga wajib menghampar sirtu dan menggilasnya dengan vibro.

“Apabila salah satu titik rusak, maka wajib diperbaiki secepatnya.”

Perusahaan diminta membuat lima unit deker baru beserta sayapnya.

Dalam berita acara itu disebutkan bahwa Baba Jemy bersedia memulai mengerjakan beberapa item itu pada 19 Januari 2023. Perusahaan juga bersedia agar pengerjaan deker tuntas pada 30 April 2023.

Ketentuan lain adalah pengerjaan itu akan diawasi masyarakat dan pembangunan jalan harus diselesaikan pada 2023.

Kesepakatan lain adalah perusahaan akan melanjutkan pengerjaan jalan sepanjang satu kilometer untuk menggenapi empat kilometer pada 2024.

Penggusuran dan pelebaran jalan itu mencapai enam meter dan perusahaan wajib menghampar sirtu di ruas jalan serta digilas dengan vibro.

“Apabila salah satu titik rusak, maka wajib diperbaiki secepatnya.”

Perusahaan bersedia mulai mengerjakannya pada 5 Januari 2024 dan tuntas pada 30 Mei 2024.

Kesepakatan lain adalah “panjang lokasi Wae Jondo yang dimanfaatkan hanya 50 meter yang dihitung mulai dari jalan raya sampai di cunga atau titik pertemuan antara Wae Lancung dan Wae Jondo.” 

Sementara itu, panjang Wae Lambos yang dimanfaatkan hanya 500 meter yang dihitung dari bendungan sampai di lengkong Wae Nampar. 

“Dua meter dari tebing kiri dan kanan tidak boleh dimanfaatkan dan batu-batu besar disimpan di pinggir tebing.”

“Kesepakatan kontrak berlaku selama lima tahun terhitung sejak 1 Desember 2021 sampai 1 Desember 2026.”

Dalam berita acara itu juga disebutkan “perusahaan tidak keberatan jika masyarakat mengambil batu dan pasir untuk kebutuhan rumah tangga” serta untuk proyek yang bersumber dari Dana Desa atau APBD, selama pemanfaatannya tidak membutuhkan alat berat.

Hal lain adalah “perusahaan siap membantu dan menyumbang sebisanya tanpa ada paksaan apabila ada pembangunan rumah ibadah, sarana pendidikan dan penggusuran lapangan.” 

Berita acara edisi revisi yang ditandatangani Jemy Lasmono Nday dalam sebuah rapat bersama warga pada 16 Januari 2023. (Dokumentasi Muhamad Sainal Abdin)

Sainal berkata, perusahaan memang setuju dengan beberapa poin yang direvisi itu, tetapi “pada kenyataannya mereka tetap melanggarnya.”

Lantaran merasa dirugikan, “kami memutuskan untuk melarang PT mengangkut material sebelum memenuhi kesepakatan.” 

Karena perusahaan terus beroperasi tanpa memenuhi kewajiban, katanya, “kami mencari cara untuk menuntut keadilan dengan menyelenggarakan diskusi yang melibatkan pemuda dan beberapa warga lainnya.” 

“Dalam diskusi ini, kami mempertimbangkan rencana untuk mengadang aktivitas PT sebagai bentuk protes agar mereka menanggapi tuntutan warga dan menjalankan kesepakatan yang telah dijanjikan,” katanya.

Sainal berkata, kesepakatan ini sebenarnya menjadi salah satu syarat agar perusahaan mendapatkan izin. 

Seharusnya, “mereka baru boleh beroperasi setelah izin resmi [dari pemerintah] keluar.”

Namun, karena mereka sudah beroperasi lebih dulu dan merugikan warga, “kami terpaksa mengadangnya sebelum izin tersebut keluar.”

“Dari sudut pandang kami, tindakan ini dilakukan demi keadilan karena warga sudah mengalami banyak kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan PT,” katanya.

“Kami sudah berulang kali melarang PT untuk beroperasi, tetapi mereka tetap mengangkut material secara diam-diam,” tambahnya.

Pemerintah: Bakal Dibina

Andreas Kantus, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Cabang Wilayah III Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Provinsi NTT — yang menaungi Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai — berkata “saat ini PT Logam Bumi Sentosa hanya mengantongi Izin Usaha Pertambangan [IUP] Eksplorasi dan belum ditingkatkan ke IUP Operasi Produksi atau Eksploitasi.”

IUP Eksplorasi, kata dia, merupakan kegiatan usaha pertambangan untuk informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

Karena itu, PT Logam Bumi Sentosa “tidak boleh menggali, mengolah, mengangkut, dan menjual material.”

“Untuk itu perusahaan yang menggali, mengolah, mengangkut, dan menjual dikategorikan kegiatan operasi produksi ilegal,” katanya kepada Floresa pada 26 Maret.

Andreas berkata, sebagai respons atas informasi terkait aktivitas ilegal PT Logam Bumi Sentosa, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas ESDM Provinsi NTT dan Inspektur Tambang agar memberikan pembinaan terhadap perusahaan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembinaan, kata dia, termasuk teguran dan penghentian operasi produksi.

“Informasi bahwa ada kegiatan operasi produksi oleh perusahaan tersebut sejauh ini belum masuk ke Cabang Dinas ESDM Wilayah III,” katanya.  

Andreas menegaskan Pasal 160 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan “setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.”

Selain itu, kata dia, Pasal 161 Undang-Undang tersebut menyebutkan “setiap orang yang menampung, memanfaatkan, mengolah dan atau memurnikan, mengembangkan, mengangkut, serta menjual mineral dan atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, Izin Usaha Pertambangan Khusus, Izin Pertambangan Rakyat, Surat Izin Penambangan Batuan dipidana penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”

Mobil dan alat berat milik PT Logam Bumi Sentosa yang dipakai untuk memanfaatkan, mengolah dan atau memurnikan, mengembangkan, mengangkut pasir dan batu dari Kali Wae Lambos. (Dokumentasi warga)

Floresa meminta tanggapan Jemy Lasmono Nday terkait aktivitas ilegal yang dilakukan perusahaannya di Kampung Ra’ong.

Lewat pesan WhatsApp pada 29 Maret, ia hanya berkata, “[kami] sudah lama tidak beroperasi.” 

Ia tidak merespons pertanyaan Floresa terkait truk yang diadang warga karena masih mengangkut material dari stone crusher miliknya pada 20 dan 21 Maret.  

Dua Perusahaan Tak Kantongi Izin 

Dalam penelusuran Floresa, Baba Jemy juga merupakan pemilik CV Flores Jaya Sejati yang beroperasi di Persawahan Satar Walang, Desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo.

Menurut pengakuan seorang warga yang ditemui Floresa pada Mei tahun lalu, badan usaha itu menggali material di bantaran Sungai Wae Dongkong di Desa Pantar yang kemudian diolah di sebuah stone crusher di persawahan itu. 

Sepengetahuannya, CV Flores Jaya Sejati ikut menjual material tambang bebatuan jenis pasir dan batu ke Badan Usaha Milik Negara PT WIKA saat dua tahun lalu mengerjakan jalan raya dari Labuan Bajo ke arah selatan, Golo Mori.

CV Flores Jaya Sejati juga mendirikan batching plant di Menjerite, Kelurahan Wae Kelambu, kendati wilayah tersebut masuk zona pergudangan, bukan zona industri.

Batching plant merupakan fasilitas produksi beton untuk mencampur pasir, air, semen dan agregat lain.

Menurut seorang staf, batching plant yang didirikan dua tahun lalu itu bersifat permanen dan telah mengantongi izin.

“Kami membayar pajak ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan beberapa kali dinas mendatangi lokasi untuk mengambil material agar diuji kelayakanya di lab,” katanya kepada Floresa.

Merujuk pada data yang diperoleh Floresa dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu [PTSP] Provinsi NTT dan Satuan Polisi Pamong Praja Manggarai Barat – instansi yang sempat dikerahkan untuk penertiban tambang tidak berizin – CV Flores Jaya Sejati tidak termasuk dalam daftar badan usaha yang mengantongi izin, baik eksplorasi maupun produksi.

Pada 26 Juli 2023, Wakil Bupati Manggarai Barat, Yulianus Weng sempat mengagendakan rapat lintas sektor bersama sejumlah pemilik perusahaan tambang, termasuk Baba Jemy.

Dalam pertemuan itu, sejumlah pemilik tambang menandatangani surat pernyataan berisi pengakuan telah melanggar aturan karena melakukan aktivitas operasi, kendati belum mengantongi izin. 

Mereka juga berjanji bersedia “menghentikan semua kegiatan pengelolaan atau pengembangan dan penjualan” serta siap diproses hukum apabila terbukti melanggar kesepakatan tersebut. 

Stone crusher milik CV Flores Jaya Sejati yang beroperasi di Persawahan Satar Walang, Desa Compang Longgo, Kecamatan Komodo. Badan usaha ini menggeruk pasir dan batu di bantaran kali Wae Dongkong di Desa Pantar, tanpa mengantongi izin. (Dokumentasi Floresa)

Aktivitas ilegal yang dilakukan perusahaan milik Baba Jemy sebelumnya sempat disorot oleh Gerakan Masyarakat Anti Tambang [GERAM] pada 21 September 2022.

Kala itu, Ketua GERAM, Florianus Surion Adu meminta Polres Manggarai Barat untuk menindak tegas CV Flores Jaya Sejati karena diduga beraktivitas secara ilegal di Labuan Bajo.

Selain terindikasi merugikan daerah, kata dia, aktivitas perusahaan tersebut juga melanggar Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup serta undang-undang pertambangan, merujuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada 10 Oktober 2023, Meridoian Dewanta, salah satu advokat Peradi mendesak AKBP Ari Satmoko, Kapolres Manggarai Barat kala itu untuk memproses hukum beberapa perusahaan, termasuk PT Logam Bumi Sentosa karena beraktivitas secara ilegal.

Desakan itu muncul setelah kepolisian tak kunjung menyelidiki aktivitas perusahan-perusahaan tersebut, kendati telah diadukan oleh Forum Peduli Manggarai Barat pada 21 Agustus 2023.

Kala itu, Meridoian mendesak AKBP Ari Satmoko agar menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan dan Surat Perintah Penyidikan terhadap sejumlah perusahaan yang diduga tidak memiliki izin pertambangan yang lengkap seperti Wilayah Izin Usaha Pertambangan, IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. 

Ia berkata, “keberadaan tambang Galian C [tambang bebatuan] ilegal jelaslah merugikan daerah karena tidak adanya pemasukan pajak.”

Limbah penambangan, kata dia, tentu berdampak pada degradasi kualitas lingkungan sumber daya alam, berkurangnya unsur hara dan mineral tanah, produktivitas tanaman terhambat, struktur tanah menjadi labil sehingga menyebabkan longsor dan banjir, serta satwa terusik akibat kehilangan habitat. 

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

iklanspot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA