Umat Muslim Minta Maaf terkait Informasi Munculnya Bendera Organisasi Terlarang Saat Pawai Malam Takbiran di Kupang

Panitia menyatakan sudah mengimbau via masjid untuk menjaga ketertiban selama pawai

Floresa.co – Tokoh Muslim di Kupang, NTT menyampaikan permohonan maaf secara publik merespons kontroversi terkait informasi munculnya bendera organisasi garis keras terlarang dan bendera Palestina saat pawai padal Malam takbiran untuk menyambut Idul Fitri.

Fahmy Assegaf, ketua panitia Pawai Kupang Bertakbir itu berkata, panitia sebetulnya telah mengimbau kepada peserta pawai untuk tidak membawa atau menampilkan atribut yang dapat menyinggung norma dan budaya bangsa Indonesia dan dapat memicu ketegangan sosial.

“Surat himbauan ini sudah disebarkan melalui masjid-masjid di Kota Kupang agar peserta pawai menjaga kesopanan dan menghormati nilai-nilai keberagaman yang ada,” katanya pada 2 April.

Namun, ia mengakui ada kelalaian panitia dalam mengontrol jalannya acara, “yang mengakibatkan ketidaknyamanan bagi sebagian pihak.”

Ia pun “meminta maaf” dan berharap agar masyarakat Kupang “tetap menjaga kedamaian dan tidak terprovokasi” karena masalah ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Kupang, Haji Muhamad S. Wongso juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh tokoh agama, termasuk Uskup Agung Kupang dan Ketua Sinode Gereja Masehi Injili Timor – pimpinan umat Katolik dan Protestan di Kupang.

“Pawai Kupang Bertakbir yang diikuti oleh ribuan umat Muslim se-Kota Kupang berlangsung dengan penuh semangat kebersamaan,” katanya.

Ia menambahkan, pihaknya juga telah “mengingatkan agar setiap kegiatan tetap menjaga ketertiban berlalu lintas dan kesopanan.”

Permintaan maaf itu merespons desakan klarifikasi dari sejumlah kelompok di Kupang terhadap informasi munculnya Bendera Palestina dan Hizbut Tahrir Indonesia [HTI] saat pawai Malam Takbiran pada 30 Maret. HTI merupakan organisasi yang telah resmi dilarang pemerintah pada 2017 karena dinilai memiliki agenda menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.

Sejak 31 Maret, sejumlah akun di media sosial di NTT, terutama TikTok dan Facebook, menyebarluaskan foto dan video yang memperlihatkan bendera-bendera itu, sembari meminta penjelasan dari panitia pawai.

Pada 1 April, organisasi Brigade Meo Indonesia yang berbasis di Kupang mengeluarkan pernyataan yang meminta klarifikasi panitia “guna meredam isu yang berkembang di media sosial.”

Pendeta Billy Bolung, ketua organisasi itu berkata, keberadaan bendera-bendera itu “tidak sesuai dengan konteks perayaan hari raya keagamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun konteks sosial yang beragam di wilayah Provinsi NTT.”

Ia merujuk pada larangan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 bagi penggunaan lambang, bendera atau simbol yang mirip dengan organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.

Protes serupa juga disampaikan Ormas Garuda Kupang. Mex M. Sinlae, ketua organisasi itu berkata, semua pihak perlu menjaga kerukunan di NTT yang pada 2024 dinobatkan oleh Kementerian Agama sebagai provinsi paling harmonis.

Karena itu, ia menuntut pertanggung jawaban panitia pawai “atas berbagai polemik yang sedang menjadi perdebatan masyarakat saat ini.”

“Penjelasan dan klarifikasi tersebut bukan untuk memberikan pembenaran ataupun mencari kesalahan,” katanya.

“Penjelasan tersebut untuk meluruskan permasalahan yang terjadi sehingga kegaduhan ini bisa diredam dan tidak menjadi momok buruk bagi masyarakat.”

Ia berkata, isu dan kejadian yang beririsan dengan suku, agama, ras dan antargolongan adalah “sensitif, yang mudah terbakar jika terus digiring.”

Sri Chatum, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama [Lakpesdam NU] Pengurus Wilayah NTT berkata kepada Floresa, sejauh yang ia ketahui pada malam takbiran itu, yang muncul hanya bendera Palestina, tidak ada bendera HTI. 

“Itu perlu juga ditelusuri, [apakah itu] bendera HTI atau bukan,” mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian merespons opini yang berkembang.

“Kita tahu bahwa NTT memiliki toleransi yang tinggi,” katanya kepada Floresa, sehingga jangan hanya karena ada “sentilan sedikit untuk perpecahan, akhirnya ikut arus.”

NTT merupakan provinsi dengan jumlah umat Kristen terbanyak dari 38 provinsi di negara kepulauan Indonesia. Dari 5,7 juta populasi, Katolik adalah mayoritas dengan 53,79% dan Protestan 36,1%, sementara Muslim 9,45 persen.

Kupang memiliki sejarah konflik sektarian pada 30 November sampai dengan 1 Desember 1998.

Laporan Tim Pencari Fakta kerusuhan itu menyebutkan bahwa kala itu 15 masjid dan mushala hancur, demikian juga 265 rumah umat Muslim.

Selain itu, berbagai fasilitas ekonomi umat Muslim, seperti kios-kios, rumah makan, kantor perusahaan dan lainnya ikut dibakar.

Sejak kerusuhan itu, situasi kehidupan beragama, terutama antara Kristen dan Muslim di Kupang maupun NTT secara umum relatif aman.

Sebagaimana halnya di wilayah Indonesia lainnya, dalam setiap upacara keagamaan, tradisi saling mengunjungi umat beragama dipraktikkan di banyak tempat.

Di sejumlah wilayah di NTT juga terdapat cukup banyak keluarga yang anggotanya berbeda agama dan tinggal dalam satu rumah.

Sri Chatum yang juga dosen di Universitas Nusa Cendana Kupang berkata, NTT yang terkenal dengan toleransi “perlu kita pupuk, perlu kita rawat.”

“Kita pertahankan demi kerukunan, kebahagiaan, kemaslahatan, kenyamanan bersama. Rasa persaudaraan itu dijunjung tinggi di atas segalanya,” katanya.

Ia berkata, “soal keyakinan, jelas kita masing-masing punya” dan yang penting adalah saling menghargai.

“Jangan sampai ada sedikit gejolak yang membuat kita terpecah,” katanya.

Sementara itu, Arif Harmi Hidayatullah, pemuda Muslim berkata, Islam bukan hanya soal aqidah dan syariah saja.

“Islam adalah agama ilmu dan peradaban, juga agama kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi toleransi keberagaman,” katanya.

Ia berkata, di Nusa Tenggara Timur, juga di Manggarai tempat ia tinggal, “toleransi beragama sudah lama terjalin.”

“Toleransi ini diwujudkan dalam berbagai kegiatan, seperti ibadah lintas agama, pawai kirab budaya, dan peluncuran Kampung Moderasi Beragama,” kata Arif yang juga Ketua Lakpesdam NU Manggarai.

Selain itu, jelas dia, Pemuda Anshor dan Banser-keduanya organisasi sayap NU-juga menjaga keamanan saat perayaan ibadah umat Kristen dan Katolik, begitu pun sebaliknya.

“Inilah bukti nyata keberagaman dan toleransi dipupuk bersama-sama,” kata Arif.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA