Floresa.co – Koalisi Advokasi Poco Leok mengadukan Polres Manggarai ke Inspektorat Pengawas Umum (Itwasum) Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) karena dinilai melakukan kriminalisasi terhadap para pemuda dalam kasus kerusakan pagar kantor bupati saat unjuk rasa.
Koalisi juga memohon agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan pendampingan dan perlindungan menyeluruh terhadap empat pemuda itu yang kini sedang menghadapi proses hukum.
Laporan dan permohonan tersebut diajukan pada 16 April oleh Judianto Simanjuntak dan Yulianto Behar Nggali Mara, dua kuasa hukum para pemuda sekaligus perwakilan Koalisi Advokasi Poco Leok.
Judianto berkata, koalisi meminta kepada Itwasum dan Kompolnas “ mengawasi dan memantau proses hukum yang sedang berjalan.”
Koalisi juga mendesak kedua lembaga itu “meminta keterangan dari penyidik terkait tindakan kriminalisasi terhadap pemuda adat Poco Leok” sebagai upaya “untuk membungkam perjuangan masyarakat adat.”
Ia menyebut langkah hukum terhadap para pemuda tersebut merupakan “bentuk nyata kriminalisasi dan pola kekerasan negara terhadap warga yang memperjuangkan ruang hidup.”
Laporan ini, katanya, penting agar Itwasum Polri dan Kompolnas menjalankan fungsi pengawasan dan mengevaluasi kinerja Satuan Reskrim Polres Manggarai yang diduga menyalahgunakan kewenangannya.
Empat pemuda yang memimpin aksi unjuk rasa warga Poco Leok di Ruteng pada 3 Maret dilapor Pemerintah Kabupaten Manggarai pada hari yang sama karena dituduh merusak pagar kantor bupati.
Dalam unjuk rasa itu mereka meminta Bupati Herybertus GL Nabit mencabut Surat Keputusan Penetapan Lokasi proyek itu yang dikeluarkan pada Desember 2022.
Kerusakan pagar terjadi setelah audiensi dengan Nabit, di mana dia menolak tuntutan warga.
Laporan Pemerintah Kabupaten Manggarai direspons cepat polisi dengan pemasangan garis polisi di lokasi dan pemanggilan warga yang menjadi koordinator aksi beberapa hari kemudian.
Satuan Reskrim Polres Manggarai baru-baru ini menyatakan bakal mengumumkan calon tersangka yang diidentifikasi berjumlah dua orang.
Judianto berkata, jika status tersangka ditetapkan “hal ini akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.”
“Pemuda Adat Poco Leok bukan kriminal. Mereka hanya menyuarakan hak atas tanah dan ruang hidupnya. Negara semestinya hadir melindungi, bukan justru mengancam,” katanya.
Ia pun menyebut kasus ini “bukan untuk penegakan hukum, tapi bentuk represi negara.”

“Kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus berulang di berbagai wilayah dan Poco Leok menjadi contoh mutakhir bagaimana hukum digunakan sebagai alat intimidasi,” katanya.
Ia menyatakan, “sebenarnya tidak ada peristiwa pidana” dalam kasus tersebut karena “itu adalah dorong mendorong” yang berujung pada robohnya pagar.
Bahkan, “yang mendorong paling banyak” adalah dari kepolisian dan Satpol PP sehingga “pagar tersebut hampir mengenai massa aksi.”
Ia berkata, dari aspek kebebasan berekspresi, para pemuda “tidak layak dipidana” karena “mereka menyampaikan pendapat di muka umum untuk mempertahankan ruang hidup dan hak.”
Judianto menyatakan, koalisi meminta agar Itwasum dan Kompolnas meminta penghentian proses penyidikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Ia berkata, laporan atau pengaduan itu diterima di bagian Sekretariat Umum Mabes Polri yang prosesnya akan disampaikan ke Itwasum Polri.
Sementara laporan atau pengaduan ke Kompolnas diterima bagian pengaduan yang berjanji akan mempelajari dan menindaklanjutinya.
Sementara itu, Yulianto Behar Nggali Mara, kuasa hukum lainnya yang juga pengacara publik dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berkata, “kami sudah menceritakan kepada Itwasum dan Kompolnas bahwa kriminalisasi ini bukan baru terjadi, tapi sudah berulang kali.”
Ia merujuk pada pemanggilan terhadap beberapa warga Poco Leok sebelumnya karena mereka mengadang PT Perusahaan Listrik Negara dan pemerintah saat mendatangi lokasi proyek di bawah pengawalan aparat.
Karena itu, “kami meminta Itwasum dan Kompolnas untuk memantau kerja Polres Manggarai agar tidak ada cacat prosedural,” kata Yulianto.
Proses hukum kasus ini “harus berkeadilan dan dipelajari betul” dan “tidak boleh tergesa-gesa hanya karena ada pesanan.”
Ia menekankan bahwa perlawanan warga terjadi karena “mereka memperjuangkan ruang hidup.”
Karena itu, Polres Manggarai “jangan hanya melihat persoalan di hilirnya saja, tetapi tidak melihat persoalan hulunya.”
“Jangan sampai proses hukum yang terjadi saat ini adalah untuk membungkam suara kritis warga,” katanya.
Selain mengadu ke Mabes Polri dan Kompolnas, Koalisi Advokasi Poco Leok juga mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.
Koalisi, kata Judianto, meminta LPSK berkoordinasi dengan penyidik “supaya mereka bisa menilai secara objektif proses hukum tersebut dan tidak tergesa-gesa untuk menetapkan tersangka.”
Judianto berkata, pihaknya juga meminta LPSK memberi rekomendasi kepada Kapolres Manggarai, AKBP Hendri Syaputra agar melihat kasus ini dalam konteks “menyampaikan pendapat di muka umum.”
Dengan demikian, para pemuda mendapat pendampingan hukum serta perlindungan menyeluruh sebagai korban kriminalisasi.
Permohonan itu telah diterima bagian pengaduan dan telah disampaikan langsung kepada Komisioner LPSK, Mahyudin melalui WhatsApp.
LPSK, kata Judianto, merespons dengan menyatakan akan mengawal kasus ini secara serius.
Kendati kewenangan LPSK terbatas, “kami tetap meminta rekomendasi agar mereka melindungi warga Poco Leok yang menjadi korban pembangunan geotermal.”
“Kami juga menjelaskan soal letak geografis Poco Leok yang rawan gempa dan tanah yang longsor karena struktur yang tidak layak untuk dilakukan pembangunan itu,” tambahnya.
Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu, dengan menargetkan kapasitas listrik 2×20 megawatt.
Warga yang menentang proyek itu terus melakukan beragam upaya, beralasan proyek itu mengancam ruang hidup, tanah adat dan budaya mereka.
Mereka telah menyurati berbagai lembaga negara, di antaranya Komnas HAM dan Ombudsman yang juga sempat mengunjungi wilayah itu tahun lalu.
Selain itu, mereka mengirim surat pengaduan kepada pendana proyek, Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau.
Tim independen utusan bank itu telah merekomendasikan penghentian sementara aktivitas proyek karena tidak sesuai standar sosial dan lingkungan internasional.
Herry Kabut dan Elkelvin Wuran berkolaborasi dalam penulisan laporan ini
Editor: Ryan Dagur