Oleh: Ryan Dagur
Kasus penganiayaan jurnalis di Manggarai Timur pada akhir bulan lalu oleh sesama jurnalis membuat miris. Firman Jaya, jurnalis Detiknet.id dianiaya oleh Andre Kornasen, jurnalis Flores Editorial. Andre bersama adiknya-yang juga terlibat penganiayaan-sudah ditahan sebagai tersangka.
Miris karena kekerasan ini bukan karena terkait produk jurnalistik atau karena sedang menjalankan tugas sebagai jurnalis.
Kasus ini berbeda dengan kekerasan lain yang belakangan menimpa banyak jurnalis dan media di Indonesia, seperti teror ‘kepala babi’ dan ‘bangkai tikus’ terhadap Tempo atau beberapa jurnalis yang direpresi aparat karena sedang meliput.
Sementara Andre dan adiknya kini menanti perampungan berkas kasus ini untuk diserahkan ke kejaksaan, polisi juga sedang memproses laporan balik Andre atas dugaan pencemaran nama baik oleh Firman dan ketiga orang lainnya. Saya mendapat informasi bahwa dua dari antara ketiga orang itu adalah juga jurnalis.
Saya ingin memberi beberapa komentar terhadap kasus ini. Komentar ini akan sampai ke hal yang lebih luas di bagian akhir, tentang pelajaran apa yang bisa dipetik dalam rangka merawat ekosistem media (lokal), sekaligus menjaga integritas jurnalis dan marwah jurnalisme.
Saling Serang di Facebook
Ada hal menarik soal pemicu kasus kedua kawan ini yang bermula dari “saling serang” di media sosial.
Beberapa jam sebelum peristiwa penganiayaan pada 31 Maret malam itu, Andre dan Firman sempat menulis di Facebook yang sama-sama berisi sindiran terhadap cara kerja jurnalis di Manggarai Timur.
Dalam tulisannya di Grup Facebook Matim Bebas Berpendapat, Andre mengkritik jurnalis yang menurutnya punya maksud terselubung ketika menulis kasus tertentu.
Banyak kasus yang hilang dari pemberitaan ketika sudah ada nego, istilah yang tampaknya merujuk pada transaksi antara jurnalis dan orang yang sedang menjadi sorotan dalam berita.
Karena itu, menurut dia, jangan kaget ketika banyak kasus yang tidak dikawal sampai tuntas, tiba-tiba menguap, tak lagi diliput.
Sementara Firman menulis di akun pribadinya, menyinggung jurnalis yang disebutnya suka mengkritik sesama jurnalis.
Ia tidak merinci siapa jurnalis yang dimaksud, hanya menyebutnya dengan Rugha Boto, istilah dalam bahasa lokal yang merujuk pada mandul.
Ia menyatakan, jurnalis itu sedang berupaya meraih simpati pemimpin di Manggarai Timur agar dianggap membela kepentingan mereka.
Bahkan, menurut Firman, ada kasus yang sengaja dibuka oleh jurnalis itu untuk diliput jurnalis lain. Jurnalis itu juga yang kemudian membuat klarifikasi, bagian dari upaya menarik simpati penguasa. Ia berulang kali menyebut jurnalis itu dengan Rugha Boto.
Persoalannya dimulai dari sini karena Andre meyakini bahwa Rugha Boto itu merujuk ke dirinya.
Rugha Boto juga nama akun anonim yang menurut Andre komentarnya menghinanya dan keluarganya.
Dalam salah satu unggahan di akun Andre, si Rugha Boto memang sempat menulis komentar makian, disertai klaim tak lagi percaya pada Flores Editorial.
Siapa si Rugha Boto sebetulnya? Semoga saja penyelidikan oleh Polres Manggarai Timur bisa mengungkapnya.
Kita punya alasan untuk optimistis karena Kapolres AKBP Suryanto telah menyatakan mempertaruhkan jabatannya dalam penanganan kasus ini.
Apa yang bisa dipelajari dari perseteruan dua jurnalis ini di media sosial?
Saat membaca tulisan Andre, saya sepakat pada poin-poinnya, terutama pada harapannya agar jurnalis di Manggarai Timur melayani kepentingan publik, tidak menyelesaikan urusan produk jurnalistik dengan nego.
Namun, membaca kritiknya dalam tulisan itu, spontan muncul pertanyaan; kalau ia sendiri kesal dengan cara kerja jurnalis seperti itu, mengapa ia kemudian tidak melakukan sebaliknya? Ia bisa saja memberi perhatian pada isu-isu yang ia sebut diabaikan jurnalis lain. Mengapa Andre tidak menuntaskan kasus-kasus yang disebutnya tenggelam di tangan jurnalis lain?
Saat membuat tulisan ini, saya sempat mengecek web Floreseditorial.com, mencari artikel dengan kata kunci kasus-kasus yang ia sebut ditenggelamkan oleh jurnalis lain. Namun, tidak ada jejaknya di sana.
Sementara soal sindiran Firman di unggahan pada akunnya, saya menemukan sejumlah diksi yang kasar, apalagi menggunakan kata-kata yang bisa dianggap menyerang pribadi, seperti Rugha Boto, kendati lagi-lagi ia tidak merinci jurnalis yang dimaksud.
Istilah Rugha Boto itu adalah bentuk perendahan martabat pada mereka-yang maaf-, memang mandul atau tidak bisa menghasilkan keturunan.
Kendati demikian, bagaimanapun, saya ikut prihatin pada kekerasan fisik yang dialami Firman dan karena itu mendukungnya membawa kasus ini ke ranah hukum. Kekerasan fisik, apalagi dengan praktik main hakim sendiri perlu sama-sama dilawan, agar praktik hukum rimba tidak mewabah.
Langkah Andre melapor akun Rugha Boto itu juga perlu untuk kemudian membuka siapa di baliknya, jika memang itu bukan Firman, sebagaimana bantahannya.
Jurnalis dan Pilkada
Ada hal lain yang juga menarik dari kasus ini, soal singgungan Firman pada posisi jurnalis yang mendukung paket tertentu saat pilkada dan kini berusaha menggantungkan hidup pada penguasa.
Soal ini tampaknya sudah menjadi gejala umum, tidak hanya di Manggarai Timur. Kubu-kubuan di kalangan jurnalis untuk mendukung paket tertentu seolah menjadi hal normal. Bahkan, ada yang ikut menjadi bagian dari tim sukses.
Praktik kubu-kubuan ini umumnya berlanjut usai pilkada. Jurnalis yang kandidatnya menang hampir pasti akan menempel pada kekuasaan, baik untuk kerja sama dalam pemberitaan, bahkan mungkin untuk terlibat dalam pengerjaan proyek-proyek dari dana APBD.
Sementara yang kalah, ada kemungkinan kerja jurnalistiknya dipengaruhi oleh rasa dendam daripada komitmen untuk menjalankan peran kontrol pada kekuasaan.
Hal ini merusak jurnalisme karena beberapa alasan.
Pertama, salah satu peran penting jurnalisme adalah melayani kepentingan publik. Dalam kerangka itu maka yang dilakukan adalah mengawasi jalannya kekuasaan yang selalu mungkin berlaku sewenang-wenang. Peran itu tentu saja tidak akan mungkin dilakukan jika jurnalis atau media sudah berada di bawah ketiak penguasa.
Kedua, jurnalis yang menempel pada kekuasaan akan sangat mungkin menjadi semacam humas penguasa, yang kerjanya tak lebih dari semacam notulis yang memindahkan apapun omongan penguasa ke dalam teks, tanpa berusaha bertanya apakah omongan itu benar, masuk akal atau sesuai fakta.
Berita yang kemudian muncul akhirnya hanya hal-hall yang positif, bahkan bisa jadi disinformasi demi mengeluk-eluk penguasa, atau hanya bantahan terhadap berita-berita media lain. Hasil liputan akhirnya tak bedanya dengan hasil kerja para buzzer.
Dalam situasi seperti ini, jurnalis kemudian tidak berpikir, menyia-nyiakan keistimewaan untuk merumuskan sudut pandang atau framing suatu isu yang sebetulnya menjadi ruang untuk menunjukkan bagaimana dia dan medianya melihat suatu soal. Hal seperti ini tentu hilang ketika yang mau dicapai hanyalah menjaga hubungan dengan penguasa.
Saya pun menduga-duga, jangan-jangan cara kerja yang tidak pakai pikir macam ini membuat makin banyak orang kemudian melihat pekerjaan sebagai jurnalis mudah saja. Itulah yang mungkin memicu mudahnya muncul banyak media secara tiba-tiba.
Ketiga, praktik macam ini tentu saja menjadi masalah bagi integritas jurnalis. Jurnalis tidak hanya kehilangan independensi yang sebetulnya jadi salah satu kunci integritas, tetapi juga kehilangan respek dan kepercayaan dari publik. Publik tak lagi percaya pada produk jurnalistiknya, juga medianya.
Di sisi lain, ada relasi yang tidak setara antara jurnalis dengan penguasa atau para pejabat di tingkat lokal. Si pejabat yang merasa diri sebagai penyokong kehidupan jurnalis merasa punya kontrol, tidak saja pada produk jurnalistik, bahkan pada kehidupan pribadi jurnalis. Padahal, bisa jadi uang yang diberikan kepada jurnalis bukan dari kantong pribadi, tetapi dari dana APBD.
Lalu Apa?
Pertanyaannya kemudian, kalau kondisinya demikian, apa jalan keluarnya? Apa yang bisa dilakukan jurnalis dan media (lokal) untuk tetap bisa bertahan tanpa harus bergantung pada belas kasihan penguasa?
Ini memang pertanyaan yang sulit, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluarnya.
Saat ini di berbagai daerah memang telah muncul banyak media, berkat kemudahan yang ditawarkan teknologi internet. Di Manggarai Timur misalnya, ada sekitar puluhan media, kondisi yang berbeda sekali dengan satu dekade lalu.
Dalam konteks demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, juga partisipasi publik yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini tentu saja sesuatu yang positif, karena tersedia beragam sumber informasi yang bisa dikonsumsi.
Namun, harus diakui pula bahwa hal ini serentak menghadirkan banyak masalah. Banyak media yang muncul tanpa konsep yang jelas, hanya bermodal nekat. Ada juga media yang dibangun dengan target hanya untuk mendapatkan uang dari iklan atau karena sedang ada sponsor. Hanya dengan modal dana satu sampai dua juta rupiah, media bisa didirikan.
Sejauh pengalaman selama ini, media macam begini amat rentan untuk segera layu ketika apa yang dibayangkan sebelumnya tidak tercapai. Karena itu, tidak mengherankan ada media yang tiba-tiba hilang jejak.
Di sisi lain, penting juga diberi catatan bahwa di tengah kondisi rentan semacam ini, belum ada perhatian yang serius pada peningkatan kualitas jurnalis, juga pendamping pengelolaan media. Selain karena jurnalis sendiri kadang tidak punya kemauan belajar, hal ini juga terjadi karena masih belum kuatnya peran lembaga-lembaga di bidang pers dan jurnalis yang bisa membantu.
Sebut saja Dewan Pers yang hanya berbasis di Jakarta dan hampir tidak punya program yang bisa menjangkau jurnalis dan media di tingkat lokal, selain misalnya memfasilitasi uji kompetensi. Demikian pun organisasi-organisasi jurnalis yang sejauh ini hanya berada di level provinsi. Di NTT misalnya, cabang atau biro organisasi seperti Asosiasi Media Siber Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen hanya berbasis di Kupang. Kondisi ini menyulitkan kawan-kawan di Flores untuk terhubung dengan organisasi-organisasi ini karena masalah akses, hal yang tentu berbeda dengan di Jawa atau daerah lain yang tidak mengalami kendala serius secara geografis.
Belakangan memang sudah mulai banyak juga media nasional yang membangun jejaring dengan media lokal. Namun, sejauh yang saya tahu, relasinya tidak terlalu menyentuh soal kesempatan yang cukup bagi kawan-kawan media lokal untuk berkembang, juga bagi keberlanjutan kerja sama. Kerentanan soal putusnya kontrak atau kerja sama menjadi tinggi.
Dengan sejumlah litani soal ini, apakah memang kemudian tidak ada jalan lain untuk meningkatkan kualitas dan menghidupi jurnalis, serentak mempertahankan peran media sebagai pilar keempat demokrasi, khususnya di tingkat lokal?
Saya menawarkan dua opsi berikut.
Pertama, kita mungkin perlu memikirkan ulang relasi antara jurnalis dengan kekuasaan. Dengan pola relasi yang saya gambarkan sebelumnya, yang terbangun memang sebuah relasi kuasa, di mana jurnalis amat bergantung pada penguasa. Dalam pola relasi semacam ini, jurnalis bisa mengorbankan banyak hal, termasuk integritas dan harga diri. Jurnalis dikondisikan untuk hanya menjunjung tinggi atau bahkan memuji-muji penguasa yang menopangnya.
Untuk mengatasi hal ini, saatnya berpikir untuk memperkuat posisi tawar. Konkretnya misalnya mendorong kebijakan di level lokal untuk bisa menyokong media-media. Sebut saja misalnya via iklan. Bayangan saya adalah teman-teman jurnalis bisa membuat kesepakatan dengan pemerintah lokal yang misalnya bisa mewajibkan dinas-dinas mengalokasikan dana iklan bagi media-media.
Tentu saja di sini pemerintah perlu menetapkan standar-standar tertentu yang mesti dipenuhi media, tetapi sekaligus menentukan garis batas agar tidak mengendalikan atau mengontrol media. Dengan cara ini, jurnalis tidak lagi mengharapkan mendapat uang seratus hingga dua ratus ribu rupiah dari satu berita, tetapi dibangun atas dasar kerja sama institusional dengan pemerintah. Hubungan yang terbangun pun egaliter, bukan antara pemberi sumbangan dan penerima.
Solusi ini mungkin bisa dibilang sulit karena mengandaikan adanya kesamaan pandangan di antara para jurnalis dan ada kemauan politik pemerintah lokal. Usulan ini bisa juga dipikirkan untuk menjadi bahan bargaining terhadap calon-calon pemimpin setiap pilkada. Daripada hanya menjadi tim sukses atau buzzer kandidat, sudah saatnya memikirkan upaya memperjuangkan masa depan yang lebih sehat bagi ekosistem media lokal.
Kedua, usulan ini berangkat dari pengalaman Floresa, yang mungkin bisa memberi sumbangan pada diskusi yang lebih luas.
Sejak berdiri pada 2014 silam, Floresa tidak memiliki penyokong secara finansial, yang hanya bersandar pada kontribusi dari anggota tim yang sudah punya pekerjaan di media lain untuk bisa mendukung kawan-kawan di lapangan. Ini bisa jadi adalah privilese tersendiri yang mungkin tidak ada pada kawan-kawan lain. Dalam kondisi demikian, taruhannya memang pada produktivitas. Karena berbasis voluntarisme, produktivitas amat ditentukan oleh waktu luang yang dimiliki setiap anggota tim.
Situasinya berbeda ketika dalam beberapa tahun terakhir, Floresa kemudian terhubung dengan cukup banyak lembaga yang ternyata bersedia membantu media lokal seperti ini. Bentuk bantuannya selain lewat dukungan operasional, juga beasiswa liputan dan pengembangan kapasitas lainnya. Bagaimana cara menemukan informasi peluang-peluang ini? Kita bisa dengan mudah menemukannya di akun-akun media sosial atau web lembaga-lembaga tersebut, baik yang berfokus pada isu independensi media, demokrasi, keadilan, juga pada organisasi-organisasi jurnalis.
Peluang lain adalah kolaborasi liputan dengan media-media lain, terutama media nasional dengan sistem saling sokong secara finansial. Salah satu yang juga sedang dikembangkan adalah berusaha menggalang dukungan dana publik, lewat pengumuman yang secara terbuka dibuat di web.
Solusi ini memang menuntut syarat penting, yakni independensi media dan kualitas produk jurnalistik. Hal ini menuntut komitmen untuk belajar meningkatkan kapasitas dan menjaga integritas.
Dengan segala keterbatasan sebagai tim dan infrastruktur, Floresa bertahan di jalur kedua ini yang serentak menjaga integritas jurnalis dan marwah jurnalisme untuk melayani kepentingan publik. Model upaya menjaga keberlanjutan media seperti ini juga telah dilakukan beragam media lain di Indonesia, yang umumnya dikategorikan sebagai media independen dan media alternatif.
Ada alasan konkret lain mengapa cara seperti ini juga jauh lebih baik? Ambil contoh soal beasiswa liputan. Katakanlah dari satu beasiswa liputan bisa mendapat Rp5 juta untuk laporan mendalam, maka untuk mendapat jumlah yang sama dengan mengemis pada penguasa butuh 20 kali jika per berita mendapat Rp200 ribu. Belum lagi bicara soal beasiswa peliputan dari lembaga global seperti Earth Journalism Network yang untuk pengerjaan satu liputan mendalam bisa sampai 20-an juta rupiah.
Kedua opsi ini, sekali lagi, sama-sama tidak mudah, tapi diharapkan bisa memicu diskusi lebih lanjut, termasuk mengeksplorasi ide-ide lain demi mengupayakan ekosistem media lokal yang lebih sehat.
Masih Banyak Masalah Publik yang Menanti Jurnalis
Mengakhiri tulisan ini, saya berharap setelah kasus saling lapor ini selesai, Firman dan Andre bergerak bersama kawan-kawan jurnalis lain untuk memperbaiki cara kerja jurnalis dan media yang telah sama-sama mereka kritik.
Saya sebetulnya berharap kasus ini bisa diselesaikan dengan jalur lain di luar jalur hukum. Saya hanya membayangkan berapa banyak waktu mereka, juga keluarga mereka, yang akan tersita ke depan untuk soal yang sebetulnya hanya bermula dari perilaku offside bermedia sosial.
Tentu lain cerita kalau kasus ini terkait kekerasan karena karya jurnalistik atau karena mereka sedang menjalankan profesi sebagai jurnalis.
Di Manggarai Timur masih banyak soal yang penting bagi publik dan butuh atensi jurnalis. Sebaiknya waktu jurnalis pun bisa dipakai lebih banyak untuk menulis soal-soal itu, ketimbang saling sindir di media sosial untuk hal-hal yang sebetulnya menjadi tugas jurnalis juga untuk mengerjakannya.
Kalau saja cara kerja kita masih terus menjauh dari peran jurnalisme yang melayani kepentingan publik, jangan kemudian heran mengapa mendapat respek dan kepercayaan menjadi makin sulit hari-hari ini.
Ryan Dagur adalah editor Floresa
Editor: Herry Kabut