Oleh: Eka Putra Nggalu
Dua hari lalu, saya berniat mengikuti ibadat Jumat Agung di Biara Karmel Wairklau, di arah barat kota Maumere.
Namun, saat keluar dari rumah dengan sepeda motor, saya melihat jalanan penuh dengan orang-orang yang berjalan kaki menuju kapela yang berada di dekat rumah.
Pemandangan ini menggugah hati saya.
Entah sudah berapa lama saya tak masuk kapela ini. Kapela yang dekat dan lekat dengan ingatan-ingatan masa kecil, dengan keputusan-keputusan sederhana dalam beberapa fase hidup tetapi berdampak besar pada hal-hal yang saya jalani hari ini.
Melankolia menggerakkan saya membelokkan sepeda motor ke halaman kapela itu. Saya batal ke Biara Karmel yang jaraknya lebih dari lima kilometer.
Kursi-kursi di tenda yang terpasang di (halaman) luar kapela mulai terisi. Saya kira di dalam pasti akan penuh. Ternyata tidak.
Dari depan pintu kapela saya mencari-cari kemungkinan tempat duduk. Sejauh mata memandang, banyak orang-orang tua dan perempuan.
Bangku bagian depan yang dulu biasanya penuh diisi anak-anak SD kini lengang. Masih banyak bangku kosong. Di tengah pun demikian. Suasana tak seriuh yang ada dalam imajinasi saya.
Saya memilih bangku panjang di barisan paling belakang, sebelah kanan dari altar. Di bangku yang panjangnya hampir enam meter itu, cuma ada saya, seorang pemudi dan seorang bapak bersama anak laki-lakinya yang belum sambut baru (menerima komuni pertama).
Ibadat berjalan khusuk dan lancar, hingga tiba pada homili.
Pastor yang memimpin ibadah membuka khotbahnya dengan melempar pertanyaan: “Menurut Anda sekalian, siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Yesus?”
Seketika umat gaduh. Bisik-bisik bertebaran di sana-sini.
“Kita semua.”
“Semua umat manusia.”
“Saya.”
Jawaban-jawaban spontan itu memenuhi ruang kapela yang tak terlalu bergema tetapi tak ada yang benar-benar berani menjawab dengan lantang.
Pertanyaan yang tak terjawab itu jadi semakin mendesak, seperti teror.
Setelah menjelaskan beberapa hal tentang makna Kamis Putih dan Jumat Agung, pastor yang melontarkan pertanyaan tadi berujar: “Orang yang sama yang menyoraki kedatangan Yesus di Minggu Palma adalah orang yang sama yang meneriakkan ‘Salibkan dia!’ Jadi, jangan cepat-cepat melihat ke luar, lihatlah ke dalam diri kita masing-masing. Meski begitu, ini bukan soal siapa yang paling bertanggung jawab. Keselamatan hadir karena cinta Tuhan semata pada kita semua.”
Umat masih tetap diam. Satu dua yang duduk di samping saya masih terus berbisik seperti tak puas.
Mendengar pembukaan khotbah itu, saya tertegun.
***
Siang hari sebelum Ibadat Jumat Agung itu, viral di sosial media Uskup Maumere membasuh kaki para tahanan di Rutan Kelas Kelas IIB Maumere saat Misa Kamis Putih.
Misa itu untuk mengenang peristiwa pada Malam Perjamuan Terakhir, merayakan ‘hari lahir’ Sakramen Ekaristi.
Banyak komentar menyertai aksi ini. Uskup dinilai telah memancarkan wajah cinta kasih Yesus.
Dalam sambutannya saat peristiwa itu, ia menekankan bahwa Perayaan Ekaristi di setiap rumah tahanan bukan saja terjadi di Keuskupan Maumere, tetapi sudah menjadi agenda tetap dari Vatikan.
Hadir di rutan merupakan sebuah pernyataan sikap gereja yang tak ingin meliyankan para pelanggar hukum, berusaha merangkul mereka sebagai bagian dari persekutuan Umat Allah yang berhak atas pengampunan, atas rahmat penyelamatan.
“Kalian bukan orang-orang yang terasing, kalian bukan orang-orang yang jauh, kalian adalah tetap sama saudara, sesama saudari kami. Karena itu, saya selalu datang untuk merayakan Ekaristi di tempat ini pada Malam Kamis Putih,” demikian kata Uskup Maumere.
Di Maumere, diniatkan atau tidak diniatkan, rasa-rasanya penuh dengan nuansa manipulatif dan kolonial ketika yang ditekankan adalah soal uskup yang membasuh kaki warga yang dibui terkait konflik lahan di Nangahale. Viralntt.com misalnya melaporkan peristiwa itu dengan judul ‘Uskup Maumere Basuh Kaki 7 Tahanan HGU Nangahale Pada Perayaan Misa di Rutan.’
Tujuh tahanan yang dimaksud adalah warga Nangahale yang dipenjara setelah dilapor oleh imam pimpinan PT Krisrama, korporasi milik Keuskupan Maumere karena merusak plang papan nama perusahaan. Papan nama ini menandai klaim bahwa lahan konflik itu adalah sah secara hukum untuk dikelola oleh PT Krisrama.
Bagi warga Nangahale yang dipenjara, aksi yang mereka lakukan pada Juli 2024 itu dipicu oleh pengrusakan tanaman mereka pada hari yang sama oleh pihak perusahaan.
Peristiwa pada Kamis Putih itu menarik karena tujuh tahanan dibasuh kakinya oleh seseorang yang paling bertanggung jawab dalam kasus yang berujung pemenjaraan warga itu.
Sebagai pimpinan yang membawahi PT Krisrama dan para imamnya di deretan petinggi korporasi itu, Uskup Maumere punya kuasa penuh untuk memutuskan apakah sidang terhadap tujuh tahanan ini dilanjutkan atau tidak.
Ia punya kuasa yang besar untuk mendorong pemenuhan hak-hak masyarakat adat, mendengarkan keluhan orang-orang miskin dan menderita (the poor and the suffering) serta berbicara bagi orang-orang yang tak punya dan tak bisa bersuara (the voiceless).
Namun, pilihan uskup jelas, sebagaimana yang bisa kita lihat dari putusan pengadilan. Ia lebih memilih membawa umatnya ke jeruji besi, memisahkan mereka dari keluarga, menjauhkan seorang ibu dari anaknya yang masih sangat belia.
Karena itu, alih-alih memancarkan cinta kasih, bagi saya aksi pembasuhan kaki itu adalah sebuah gestur kolonial yang semakin membenamkan perasaan bersalah kepada tujuh warga Nangahale yang dipenjara karena merespons upaya-upaya perampasan ruang dan hak hidup mereka.
Pembasuhan kaki itu seperti sebuah seruan, “Nak kamu telah bersalah tetapi bapak datang membasuh kakimu sebagai bentuk cinta bapak padamu. Karena itu, bertobatlah dan kembalilah ke jalan yang benar.”
‘Bertobat dan kembali ke jalan yang benar’ bisa berarti hentikanlah segala bentuk perlawanan, tunduklah kepada kami. Serahkan tanah dan hak-hakmu kepada kami.”
Kalaupun tidak diniatkan demikian, ketika framing pemberitaan yang beredar teredaksi seperti di atas, seluruh pemahaman yang mungkin terbangun sungguh menempatkan posisi gereja sebagai protagonis, tokoh baik hati–penyelamat–dan tujuh warga Nangahale sebagai pesakitan yang bersalah dan mendapatkan rahmat pengampunan secara cuma-cuma.
Demikian logika kolonialisme bekerja, seolah merangkul dan memberikan cermin sehingga yang dijajah merasa serupa dan menjadi bagian dari penjajah, tetapi pada saat yang bersamaan membelenggu kemerdekaan mereka dengan membenamkan perasaan bersalah dan inferior. Tujuannya agar yang dijajah terus tunduk dan mengafirmasi relasi kuasa yang bekerja di antara keduanya.
Pada arah yang lain, kolonialisme selalu berupaya mengontrol persepsi umum, mengendalikan psikologi massa dengan seluruh perangkat yang mereka punya, terutama yang berlangsung di ranah simbolik sehingga penjajah bisa dengan leluasa merampas agensi mereka, suara kritis dan otonom mereka ketika harus berhadapan dengan soal-soal yang melibatkan penjajah.
Suara penjajah tak hanya menjadi hukum, tetapi merasuk menjadi superego yang mustahil ditolak.
Dalam nada kelakar, seorang teman menulis akal-akalan logika absurd di cerita Whatsapp-nya: Jika kami bersalah kami masuk penjara. Jika kami berdosa kami masuk neraka. Jika kami bersalah dan berdosa, kaki kami dibasuh di dalam penjara supaya tidak masuk neraka, tetapi kami tetap di dalam penjara.
Saya tentu tak ingin abai terhadap seluruh kedudukan hukum yang selalu jadi titik tolak PT. Krisrama dalam argumentasi-argumentasi mereka perihal konflik di Nangahale.
Dalam refleksi ini, sebagai seseorang yang jauh di lubuk hati paling dalam masih merasa bagian dari anggota Gereja, saya begitu menyesal dan malu, betapa Gereja Katolik di Maumere hari-hari ini lebih sungguh memancarkan wajah kolonialnya daripada memancarkan wajah ecclesia semper reformanda (gereja harus selalu mereformasi diri).
Gereja tak punya wawasan soal isu-isu yang sedang jadi perhatian besar dunia, seperti hak-hak sipil-politik masyarakat adat dan wawasan atas tindakan-tindakan reparatif daripada kolonial yang lebih bisa dipilih dalam menghadapi masalah serius ini.
Pada contoh yang lain, kita melihat bagaimana gereja secara terang-benderang mengorganisir umat di beberapa paroki untuk datang dan bersama dengan PT. Krisrama melakukan ‘pembersihan’ di lahan yang sedang dipersoalkan.
Menurut laporan Floresa, pengerahan umat oleh PT. Krisrama itu disampaikan dalam pengumuman di gereja-gereja di Keuskupan Maumere menjelang akhir misa pada Minggu, 16 Maret 2025.
Meski kemudian aksi yang direncanakan digelar pada 17 Maret-bertepatan dengan pembacaan vonis warga yang merusak plang-tak terlaksana karena warga Nangahale meminta perlindungan pada pihak keamanan, apakah gereja memikirkan dengan matang seluruh pilihan dan konsekuensi dari tindakan ini?
Jika gereja dalam beberapa argumentasi hukum membedakan PT. Krisrama sebagai badan hukum perseroan terbatas dengan hierarki gereja sebagai lembaga agama, persekutuan umat, dan komunitas iman, maka apakah upaya mengerahkan umat di paroki-paroki untuk turut membersihkan lahan di Nangahale relevan?
Apa hubungan langsung umat di paroki-paroki dengan PT. Krisrama sebagai sebuah entitas ekonomi? Siapakah yang paling menikmati return of investment dari seluruh investasi PT. Krisrama?
Yang lebih mendesak dari aksi ini adalah apakah gereja mempertimbangkan efek konflik horizontal dari aksi ini? Bukankah aksi demikian hanya akan mengeraskan seluruh trauma politik identitas yang sudah sejak lama dibenamkan oleh penjajah kolonial dan telah terbukti berulang dalam seluruh manipulasi motif serta modus kasus pembantaian massal 1965-1966 di beberapa wilayah di Kabupaten Sikka, seperti yang pernah menjadi catatan dalam kajian Pastor John Mansford Prior, SVD?
Aksi ini tak lebih dari pada sebuah politik adu domba. Memecah umat, menggiring opini umat untuk mendukung seluruh opini gereja dan keputusan-keputusannya yang problematis terutama secara etis dan politis.
Sejak awal, logika dan aksi kolonial yang dijalankan oleh gereja sudah terlihat dari pilihan mengerahkan ‘preman’ dan alat berat untuk menggusur warga Nangahale dengan dalih ‘pembersihan’ pada 22 Januari 2025.
Gereja seolah tak lagi punya kemampuan komunikasi yang persuasif bahkan empati sehingga yang kemudian dipikirkan untuk digerakkan adalah umat-umat yang tak punya kepentingan langsung dengan tanah HGU yang ingin dikuasai.
Gereja menggerakkan ‘preman’ untuk meneror dan memaksa warga Nangahale meninggalkan rumah mereka. Gereja menggunakan kekerasan yang terstruktur dan sistematis untuk merebut lahan yang sedang diduduki masyarakat adat yang juga sedang memperjuangkan hak-hak kulturalnya.
Dengan adanya ‘preman’, lantas para ‘imam’ bisa cuci tangan? Apakah imamat dengan seluruh rahmat tahbisannya yang dianggap melekat sepanjang usia bisa dinego ketika seseorang tertahbis jadi karyawan PT?
Aksi gereja yang demikian sama sekali tidak bisa dibenarkan secara moral dan tak mencerminkan wajah Kristus yang menderita, apalagi penuh cinta, dari sisi manapun pada seluruh penjuru/arah mata angin.
Penggusuran hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan oleh yang ditunjuk dan diberi wewenang untuk melakukannya. Itu pun tak berarti duduk perkaranya telah selalu berakhir adil dan terang-benderang.
Sebab, kita tahu, hukum di Indonesia kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dan jika penggusuran dilakukan oleh gereja, bukan pihak yang dilimpahkan wewenang oleh pengadilan untuk menggusur dan yang digusur adalah umatnya, bagaimana kita menilai seluruh aksi ini?
Permainan eufemisme dalam pilihan-pilihan kata yang memperhalus tindakan kekerasan pun dilakukan oleh gereja. Hal ini mengingatkan kita pada politik bahasa yang berlangsung di zaman Orde Baru di bawah rezim otoriter Soeharto.
‘Mengamankan’ bisa berarti menghilangkan seorang terduga selama-lamanya seperti yang terjadi pada para aktivis dan pelaku budaya seperti Wiji Thukul.
‘Pembinaan’ bisa berarti hukuman fisik tak terkira, yang menyiksa yang diberikan kepada seseorang yang ingin dibungkam mulutnya.
Dalam kasus Nangahale, penggunaan istilah ‘pembersihan’ sungguh ambigu dan menyedihkan.
Di salah satu Grup WhatsApp, seorang pastor menggunakan istilah ini untuk melebarkan seluruh analogi mengenai aksi penggusuran.
Baginya, ‘pembersihan’ ‘sampah’ harus menimbang ukuran ‘sampahnya’. Jika sampahnya besar, maka alat yang digunakan harus sesuai dengan ukuran ‘sampahnya.’
Pertama kali terlibat dalam percakapan ini, hati saya begitu perih dan sedih. Bagaimana bisa seorang pastor menganalogikan umatnya sendiri dengan ‘sampah’? Apalagi dia seorang pastor paroki yang seluruh hidupnya ditopang oleh kolekte dari ‘sampah-sampah’ itu? Tanpa sampah itu, dia belum tentu bisa menikmati kopi pagi dan sore? Belum tentu dia bisa meminta ‘sup kaki babi dan moke merah’ setiap kunjungannya ke stasi-stasi. Bayangkan, jika saja umat berhenti memberikan kolekte barang setahun ke gereja.
Yang lebih menyedihkan lagi, pemikiran-pemikiran hipokrit seperti ini kerap kali didukung oleh orang-orang dari kelas menengah atas, para cerdik cendekia, dan anggota DPR yang harusnya jadi pembawa suara-suara yang terpinggirkan.
Bisa jadi pilihan-pilihan tindakan hierarki gereja yang amat kolonial ini juga berakar pada cara pikir dan cara pandangnya atas hari ini yang tak punya wawasan postkolonial apalagi dekolonial.
Lebih dari itu, gereja seolah tak punya kemampuan berdialektika, apalagi beranalektika dengan seluruh kenyataan hari ini, yang terus berubah dengan segera, dalam waktu yang kian cepat dan seolah tak terhenti.
Yang saya maksudkan adalah gereja sama sekali tidak sadar dan menimbang luka-luka sosial dan kultural akibat sejarah kolonialisme yang turut menentukan dinamika sosial-politik-budaya di Kabupaten Sikka dari masa ke masa, generasi ke generasi.
Sementara pada saat yang sama, gereja tak selalu benar-benar berupaya terbuka pada diskursus serta kenyataan sosial-politik hari-hari ini, mengakui keragaman sejarah dan narasi serta pengetahuan lokal, rendah hati belajar dari kisah-kisah kaum kecil dan yang berjuang, melihat keragaman dalam kenyataan hidup menggereja dewasa ini daripada melihat persoalan-persoalan umat dengan kaca mata kuda, hitam putih.
Alasan-alasan antropologis dan kultural dalam seluruh diskursus tentang tanah di Nangahale sama sekali tidak ditimbang oleh gereja. Bahwa masyarakat Tana Ai punya luka serta trauma kultural dan sejarah yang besar sama sekali tidak dihiraukan.
Gereja sungguh abai pada kenyataan bahwa dalam politik kebudayaan di Kabupaten Sikka, Tana Ai kerap dipinggirkan.
Dalam pergaulan sehari-hari di sekolah dulu, dalam lelucon-lelucon bahkan ancaman para guru, Tana Ai selalu dikaitkan dengan ilmu hitam, kasar, magic, orang-orang bodoh dan terbelakang: ‘Tana Ai u’en’. ‘Kau bodok macam orang Tana Ai.’
Stereotip sosial budaya ini hanya salah satu bentuk pengalaman nyata yang diwariskan tanpa sadar dalam sebuah sistem psikososial, turun-temurun dalam masyarakat dan diterima apa adanya seolah itulah kebenaran.
Akar dari semua ini salah satunya adalah pemutusan hubungan masyarakat dengan tanah dan seluruh ekologi yang menyimpan pengetahuan serta rasa-merasa mereka sejak zaman kolonial ketika Belanda bersama agen-agen kolonial mereka datang dan memporak-porandakan altar batu tempat masyarakat adat memberi persembahan pada wujud tertinggi, mengubah seluruh lanskap hidup mereka menjadi gereja, atau kebun-kebun kapas serta komoditas lainnya. Menempatkan satu kelompok sebagai primitif dan yang lain sebagai yang lebih maju atas nama pemberadaban.
Kita sering mendengar anekdot-anekdot dari Afrika dan Amerika Latin tentang relasi agama Kristen dan masyarakat adat: ‘Agama datang ke tanah kami membawa Kitab Suci, meminta kami membaca Kitab Suci, menutup mata lalu berdoa. Setelah kata ‘Amin,’ kami membuka mata dan kami memiliki Kitab Suci di tangan, sementara mereka memiliki seluruh tanah kami’.
Gereja di Flores tak bisa benar-benar abai terhadap bias kolonialisme yang dibawanya. Kolonialisme yang menguatkan feodalisme, memutuskan hubungan kolektif masyarakat adat dengan tanah berlangsung di banyak kasus di Flores.
Modernisme sebagai anak kandung dari kolonialisme, cikal bakal paradigma neoliberalisme-eurosentris yang mengglobal yang menjauhkan masyarakat dari basis pengetahuan serta rasa-merasa dari seluruh lanskap geokulturalnya turut dioperasikan oleh gereja, sadar dan tanpa sadar: salah satunya dalam bentuk pendidikan modern, yang harus diakui tak selalu dilandasi sikap kritis.
Karena itu, hati saya tersayat-sayat sembilu ketika beberapa waktu lalu membaca opini Pastor Alex Jebadu, SVD yang penuh dengan cara pandang orientalis, paternalistik, picik, dan cenderung rasis serta penuh ancaman dalam upayanya menjelaskan sejarah tanah di Nangahale.
Dosen ekonomi politik neoliberal di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero itu menanamkan cara pandang kolonialistik pada ulasannya atas kasus Nangahale dalam dua cara.
Pertama, mencap bahwa suku-suku Nusantara adalah primitif dan terbelakang sebelum Indonesia merdeka yang dengan begitu secara langsung membuktikan dirinya tak paham sejarah.
Kedua, abai pada perlawanan masyarakat adat Nangahale sejak awal ketika mereka ingin mengklaim kembali (reclaim) hak mereka atas tanah yang dirampas secara paksa oleh perusahaan Belanda yang jelas-jelas membuktikan seluruh gagasannya tak punya sense of decoloniality.
Ia berupaya menggiring opini publik pada bagaimana proses legitimasi hukum dan hak atas tanah itu berlangsung, bahwa tanah yang kini berstatus HGU itu dibeli oleh gereja dari perusahaan Belanda.
Ia mengabaikan fakta bahwa Amsterdam Soenda Compagnie menjual tanah itu kepada Apostolisch Vicariaat van der Kleine Soenda Eilanden karena perusahaan ini dilaporkan terus merugi gara-gara perkebunan kapasnya sering dibakar oleh rakyat.
Ia abai dengan fakta bahwa perjuangan rakyat telah berlangsung sejak tanah itu dikelola oleh perusahaan Belanda dan pergolakan menjadi tenang ketika alih hak tanah itu pindah ke gereja, institusi rohani yang menjanjikan keselamatan. Kalau gereja yang turun tangan, umat/warga tentu punya keengganan sendiri untuk menyoal.
Spekulasi yang lain, bisa jadi, kampanye dan pembenaran atas status kepemilikan di masa itu sama dengan yang diajukan Alex Jebadu dalam opini yang sama di atas: tanah ini (Nangahale) dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.
Entah dari mana sumbernya (masih butuh dikonfirmasi), dalam beberapa Grup WhatsApp pernah beredar doa-doa yang secara khusus disusun untuk mendoakan kasus Nangahale terutama mendoakan para warga yang masih bersikeras mempertahankan tanah mereka. Di sisi kiri lembar doa itu, terpampang logo Keuskupan Maumere.
Doa itu memohonkan agar hati warga Nangahale yang keras diluluhkan. Jika benar, bagaimana kita bisa memosisikan doa-doa semacam ini dalam satu spektrum konflik yang susah sekali dilihat secara hitam-putih?
Siapa pun yang menyusun doa ini telah memberi stigma berdosa pada warga Nangahale yang juga punya basis kebenarannya sendiri yang berpijak pada cerita nenek moyang dan catatan-catatan sejarah walaupun semuanya dalam bentuk kepingan-kepingan lepas.
Yang paling tidak masuk akal di sini adalah sebuah mekanisme yang meliyankan, menempatkan warga Nangahale sebagai pesakitan, dengan legitimasi spiritual-religius: doa.
Doa yang direkomendasikan untuk diucapkan dan dengan demikian diyakini serta direstui oleh sekelompok orang (umat), dengan kepercayaan penuh bahwa gereja selalu benar dan pada saat yang sama meminggirkan bahkan mempersalahkan yang lain.
Lebih dari pada sebuah doa, jika membaca doa ini dilakukan secara ritualistik, dapatkah ini ditelaah sebagai upaya membenamkan kesadaran palsu, sebuah bentuk brain wash yang diniatkan?
Jika klaim-klaim dan legitimasi spiritual-religius ini sudah diajukan, kita tinggal pilih: mau masuk neraka atau masuk penjara? Mau dihakimi secara legal formal oleh negara atau secara sosial oleh sesama umat?
Kita sama-sama tahu bahwa tak pernah ada upaya serius dari pemerintah untuk benar-benar memulihkan martabat masyarakat adat. Bisa jadi bukan karena tak mau, tapi kesulitannya sungguh bisa dibayangkan.
Merestorasi kembali tatanan adat di konteks Kabupaten Sikka dengan seluruh problem politik identitas yang menyertainya bukanlah sebuah hal yang mudah. Butuh upaya keras, dengan energi, waktu, biaya yang tentu tak kecil.
Namun, hal ini harus ditempuh, karena sepadan dengan kompleksitas kehancuran dan kerugian yang telah ditimbulkan oleh mekanisme kolonisasi yang telah berlangsung berabad-abad lamanya, lintas generasi dan kultur.
Dan, jika gereja dengan berani banting setir, mengambil posisi paling depan untuk mendukung, turut mengupayakan pemulihan martabat dan hak-hak masyarakat adat dan mengesampingkan agenda ekonomi yang selama ini diperjuangkannya, ini tentu jadi preseden yang baik dan positif untuk kasus-kasus dan konflik agraria yang berlangsung di seluruh Indonesia bahkan dunia.
***
Seorang teman menulis demikian: “Hari ini Hari Paskah. Yahudi, Katolik, Kristen, sama-sama merayakan kisah yang menandai pembebasan dan penindasan. Musa membelah laut untuk menyelamatkan bangsanya. Yesus memanggul salib, tubuhnya disayat agar dunia mengenal ampunan. Tapi, siapa yang menanggung tubuh Palestina: tubuh anak, tubuh janin, tubuh yang digali, tubuh yang digendong, tubuh yang terbakar, tubuh yang terlempar ke langit dan jatuh, tubuh yang belum mengenal kata perang tetapi dilumat olehnya?”
Siapa yang menanggung seluruh soal Nangahale?
Umat di kapela dekat rumah tak berani menjawab bahwa ahli-ahli taurat dan orang Farisi, kaum Saduki, Herodes dan Pilatus adalah orang-orang yang bisa ditunjuk sebagai yang paling bertanggung jawab atas seluruh sengsara dan kematian Yesus.
Mereka adalah orang-orang yang paling punya kuasa dalam pengajaran keagamaan yang kala itu berkait erat dengan pendidikan/pedagogi warga, persoalan-persoalan politik-ekonomi, dan hukum. Yesus dijatuhi tuduhan palsu, dibawa ke pengadilan yang tak sepenuhnya adil sebab Pilatus memilih mencuci tangan, takut dengan suara orang banyak.
Sebelum kita masing-masing menunjuk diri kita sendiri sebagai pendosa, manusia masa kini yang mewarisi kisah Yesus sebagai iman, etika, juga fiksi, para penguasa di masa itu penting kita tunjuk sebagai yang bertanggung jawab atas penyaliban Yesus.
Kisah Yesus yang disalib adalah sebuah momen dan monumen yang menandai hal-hal di atas, sebuah pengorbanan dan perlawanan atas kuasa yang lalim dan kejam, yang takut pada pemikiran-pemikiran kritis, yang takut jika rakyat yang merdeka menuntut keadilan, yang panik pada suara-suara pembebasan, pada lagu-lagu perjuangan.
Pilatus menandai Yesus tersalib dalam tiga bahasa: Ibrani, Yunani, dan Latin. Pilatus ingin kisah Yesus tak hanya jadi kisah di kalangan komunitas Yahudi, tetapi juga tersiar pada bangsa-bangsa lain. Tiga bahasa yang dipilih Pilatus adalah tiga bahasa besar di zaman itu.
Kita, tak boleh naif untuk tidak mengakui jika Pilatus adalah misionaris pertama yang hendak menandai penyaliban Yesus sebagai sebuah kisah tragis penuh intrik yang mendudukkan keadilan pada situasi paling polemik, kepada bangsa-bangsa.
Saya kira, kenangan akan Yesus Kristus tak boleh semata berhenti pada Perjamuan Malam Terakhir, tetapi pada peristiwa penyaliban. Pada siapa wajah dan tubuh Yesus kita temukan hari-hari ini?
Jika kita sama-sama percaya bahwa wajah Yesus ditemukan dalam mereka yang paling miskin dan menderita, apakah gereja juga cukup punya kerendahan hati untuk bisa melihat kembali dirinya, seluruh keputusan-keputusannya sebagai otoritas yang punya kuasa dan kekuatan?
Apakah gereja bisa terbuka dengan pemikiran-pemikiran kritis yang kerap dianggap merongrong dirinya tetapi dalam banyak hal sebenarnya berlandaskan pada rasa cinta dari umatnya sendiri?
Apakah dalam kasus Nangahale, gereja sudah bertindak dengan benar sesuai dengan marwah dirinya, sesuai dengan hakikat ia berada di dunia? Apakah gereja juga bersedia memikul salibnya dan bahkan disalibkan jika keputusan dan tindakannya salah?
Saya juga percaya bahwa saya turut punya andil dalam membentuk gereja saat ini, dengan segala keputusan-keputusan gereja yang saya anggap tak masuk akal.
Saya memilih mengikuti ibadat Jumat Agung di kapela dekat rumah karena merasa sudah terlalu berjarak dari kapela ini.
Bukan soal bangunan kapela yang merekam memori tentang bapak saya yang mengurus sakristi dan kami yang saban Sabtu membawa sapu dari rumah untuk turut membersihkan debu pada altar hingga sarang laba-laba di bawah bangku.
Namun, terutama tentang saya dan umat dan seluruh hierarki yang lebih besar.
Saya tak tahu percakapan-percakapan apa yang sedang berlangsung di sana hari-hari ini. Saya tak tahu apakah kelompok Orang Muda Katolik masih aktif. Saya tak tahu apakah masih ada latihan koor regular atau turnamen voli.
Saya masih percaya kalau kapela tak hanya jadi tempat ibadah. Ia tak semata-mata mengurus hal-hal spiritual dan religiositas.
Kapela yang saya kenal itu, adalah juga ruang perawatan kohesi sosial. Ruang yang memungkinkan orang-orang berbagi kabar, bertukar cerita: memupuk empati dan solidaritas satu sama lain. Ruang yang pernah jadi tempat pengungsian ketika gempa, tempat imunisasi anak-anak balita.
Dan, saya sudah terlalu lama dengan sadar, memilih tak terlibat di dalamnya karena kemarahan-kemarahan yang tak bisa saya ceritakan di sini, kemarahan pada institusi yang kerap menyembunyikan luka-lukanya, terutama yang juga paling melukai umatnya. Institusi yang kerap tak berani jujur dengan kesalahan-kesalahannya sendiri.
Selama ibadat di kapela dekat rumah, kepala saya jadi begitu keras dengan pertanyaan-pertanyaan: Ketika hari-hari ini militerisme menguat, apakah gereja masih bisa menjadi ruang aman dan pelantang keadilan? Ketika negara semakin mengalami krisis, apakah gereja bisa menjadi oase yang menyejukan hati dengan refleksi-refleksinya yang penuh harapan? Apakah gereja masih jadi pintu yang terbuka bagi orang-orang yang mencari suaka dan perlindungan dari represi penguasa? Atau gereja tak lagi bisa jadi pembeda? Ia sama dengan negara? Sama saja dengan oligarki?
Dalam cerita yang lain, seorang teman terheran-heran dengan monumen Teka Iku yang ada di tengah kota Maumere. Katanya, “bagaimana bisa seorang yang membakar gereja dibuatkan monumen di kota dan oleh warga dikisahkan sebagai pahlawan? Kalau kalian tak melawan hari ini, kayaknya arwah Teka Iku bisa bangkit dan kejar kalian dengan kudanya.”
Sebagai warga Maumere, kadang saya atau kita lupa, kita punya sejarah perlawanan itu pada sosok Teka Iku yang monumennya berdiri kokoh di tengah kota.
Mungkin selama ini kita nyaman dalam posisi ‘massa diam’ (silent mass), atau massa yang hanya terseret arus kuasa, yang ditunjuk dalam khotbah pastor di depan: “orang-orang yang sama yang menyambut Yesus dengan sorak-sorai lantas meneriakkan ‘salibkan dia!’ pada hari berikutnya.”
Mungkin sebagai umat, kita tak berani mengambil posisi, mengabaikan suara mayoritas yang otoriter, melupakan suara-suara dari pinggir yang tak berdaya dan membutuhkan.
Mungkin kita gentar untuk menjadi pembeda, berada di posisi yang tak mesti selalu berpihak pada kekuasaan.
Kita tak berani ‘membakar’ atau ‘menyalibkan’ diri kita sendiri sebagai persekutuan umat Allah yang amat mungkin melakukan kesalahan.
Saya merindukan gereja dekat rumah yang dulu, yang pastor-pastornya suka berkhotbah dengan perumpamaan-perumpamaan yang lucu dan menarik bagi kami anak-anak kecil, yang anak-anak mudanya difasilitasi untuk buat pohon dan kandang Natal dengan bebas sesuai ide mereka, yang ramai dengan pementasan tablo dan Paskah bersama, lomba paduan suara dan voli.
Saya tak ingin mendengar pastor yang khotbahnya penuh dengan kemarahan dan kecurigaan, yang tak berupaya merangkul tetapi bahkan menyebut ‘umatnya’ sebagai ‘sampah’.
Eka Putra Nggalu adalah umat Katolik di Keuskupan Maumere
Editor: Ryan Dagur