Siswa SMA Negeri di Manggarai Timur Bawa 20 Batako Jika Alpa, Kepala Sekolah Klaim Cara Lain Sudah Tidak Mempan Hadapi yang Malas ke Sekolah

Pakar pedagogi memberi catatan tentang pentingnya model pendidikan yang mengedepankan pendekatan personal dan sanksi yang mempertimbangkan perkembangan holistik peserta didik

Floresa.co – Pimpinan salah satu sekolah di Kabupaten Manggarai Timur, NTT membela kebijakannya yang mewajibkan siswa yang alpa membawa 20 batako untuk pembuatan pagar sekolah.

Ferdinandus Fifardin, Kepala SMAN 1 Poco Ranaka di Kecamatan Lamba Leda Selatan itu mengklaim sudah kewalahan menghadapi para siswanya yang malas ke sekolah.

Sementara itu, pakar pedagogi mengkritisi kebijakan tersebut, menekankan sekolah mesti memberi sanksi yang memperhitungkan dampaknya bagi peserta didik.

Dihubungi Floresa pada 24 April, Ferdinandus mempertanyakan protes yang belakangan muncul terhadap kebijakannya.

Lewat kebijakan itu, katanya, ia sedang berupaya “mencari solusi dari gejala malasnya anak-anak ke sekolah.”

Ia menolak memberi keterangan lebih lanjut, hanya mempersilakan Floresa mengutip penjelasannya yang ditulis dalam salah satu komentar di Grup Facebook “Matim Bebas Berpendapat.”

Dalam komentarnya itu, ia menyatakan, “aturan tersebut sudah beberapa bulan diterapkan.”

“Ini muncul karena berbagai cara sudah tidak mempan lagi, termasuk memanggil orang tua murid, malah diabaikan,” jelasnya.

Ia juga menyatakan bahwa sejauh ini belum ada orang tua yang datang langsung ke sekolah mempersoalkan kebijakannya.

“Nah, sekarang baru sadar? Kalau memang ini dari siswa atau hanya karena terjadi pada orang yang lapor ke media, kenapa tidak dari awal?” katanya.

“Kita sudah sosialisasikan aturan ini sebelum diterapkan, termasuk menyampaikan ke anak-anak untuk disampaikan ke orang tua,” tambah Ferdinandus.

Ferdinandus Fifardin, Kepala SMAN 1 Poco Ranaka. (Dokumentasi pribadi)

Pembicaraan soal sanksi itu ramai dibicarakan menyusul pemberitaan pada media siber Lenteranews.info.

Selain itu sebuah gambar beredar luas di media sosial yang mengkritik kebijakan, disertai tulisan “RIP Pendidikan NTT.”

Lenteranews.info menulis bahwa sejumlah siswa di sekolah berakreditasi A itu menilai aturan tersebut tidak manusiawi. 

“Jangan sampai siswa merasa sekolah seperti penjara. Sanksi bukan satu-satunya cara untuk mendidik. Ada pendekatan lain yang lebih manusiawi,” kata salah satu siswa.

Berbeda dengan klaim Ferdinandus, siswa itu menyoroti kurangnya sosialisasi sebelum kebijakan itu diterapkan.

“Kami tidak diajak bicara. Tidak ada pengumuman resmi ke kelas atau surat kepada orang tua. Tiba-tiba saja langsung diberlakukan,” kata siswa itu yang mengklaim “satu teman saya sudah diminta setor batako karena alpa satu hari.” 

Menurut siswa tersebut, kebijakan seperti itu keliru karena tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang seharusnya mendidik dan melindungi.

Para guru dan siswa SMAN 1 Poco Ranaka saat mengikuti upacara bendera. (Dokumentasi Arivin Dangkar/Floresa.co)

Siswa lain yang dikutip media itu menyatakan, “kami datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk membangun pagar.”

Ia menilai kebijakan itu sangat memberatkan, terutama bagi siswa dari keluarga ekonomi pas-pasan.

“Ini membuat kami stres. Sekolah seharusnya jadi tempat yang menyenangkan untuk belajar, bukan tempat yang menakutkan karena sanksi seperti itu,” tambahnya.

Siswa itu berkata, beberapa temannya takut untuk tidak masuk sekolah meskipun sedang sakit.

“Kalau pagar sekolah rusak, seharusnya pihak sekolah atau pemerintah yang bertanggung jawab, bukan kami yang belum punya penghasilan tetap,” katanya.

Dalam tulisannya di Facebook, Ferdinandus menuding pemberitaan media terkait kebijakannya tidak proporsional, karena tidak meminta penjelasannya. 

Ia berkata, “media juga mesti menjelaskan letak ketidakmanusiawian aturan ini di mana.”

Ia menambahkan, esensi kebijakan ini bukan soal batako, tapi kehadiran siswa di sekolah. 

“Kami tidak mengharapkan batako, kami mengharapkan kehadiran anak di sekolah,” katanya.

Ferdinandus menegaskan bahwa membawa 20 batako adalah konsekuensi jika alpa, bukan sebagai hukuman.

Ia juga mengajak semua pihak untuk melihat persoalan ini secara lebih luas.

“Kalau ada niat baik untuk membangun pendidikan, berikan juga solusi untuk kebaikan anak-anak kita ke depan. Generasi ini ada di tangan anak-anak yang malas ini, maka kita bentuk bersama,” katanya.

Ia berkata, banyak anak yang “malas ke sekolah, datang dari rumah tapi tidak sampai di sekolah, bolos, masah bodoh dan kurang beretika.”

“Apakah semua ini hanya tanggung jawab sekolah? Atau menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai penikmat dari generasi ini kemudian?”, katanya.

Apakah Ini Kebijakan yang Tepat?

Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM, seorang pakar pedagogi berkata, ia terkejut bahwa masih ada sekolah yang membuat kebijakan seperti ini di tengah perkembangan pedagogi yang lebih menekankan pendekatan holistik.

Ia menggambarkan pendekatan holistik sebagai model pendidikan yang menghargai seluruh potensi dalam diri peserta didik dan mempertimbangkan dampak setiap kebijakan bagi perkembangan pribadi mereka.

Karena itu, katanya kepada Floresa, sanksi yang diberikan terhadap peserta didik yang melakukan pelanggaran disiplin seharusnya bertujuan untuk penyadaran diri terhadap kesalahan.

Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM. (Dokumentasi pribadi)

Dalam hal ini, menurut Darmin, siswa perlu dibiasakan untuk melakukan refleksi personal jika membuat kesalahan, bahkan meminta mereka “merumuskan dan memutuskan sendiri sanksinya.”

Model seperti ini, kata dia, efektif untuk mempromosikan kualitas pembelajaran dan pengembangan individu secara utuh, sehingga bisa  menghindari perilaku negatif.

Ia juga berkata, “kemalasan dan kealpaan siswa harus didekati secara pribadi” untuk mencari penyebabnya, yang menuntut perhatian lebih dari sekolah.

“Amat penting membangun komunikasi secara pribadi dan saling percaya agar pribadi anak sungguh-sungguh dihargai,” kata imam Katolik itu yang meraih gelar doktor manajemen pendidikan.

Selain itu, kata dia, perlu ada kolaborasi antara siswa, orang tua dan sekolah untuk bersama-sama mencari solusi terhadap setiap masalah. 

Ia menjelaskan, sekolah juga mesti menyadari adanya relasi kuasa, antara pimpinan sekolah dan guru dengan para siswa.

Dalam konteks itu, kata dia, penting sekali mengambil kebijakan yang mempertimbangkan kerentanan siswa sebagai pihak yang selalu berada pada posisi yang paling rendah.

Ia berkata, peserta didik adalah “subjek belajar” sehingga penting selalu mengedepankan dialog agar mereka diarahkan untuk menjadi pribadi yang karakternya semakin baik. 

“Saya sangsi bahwa malasnya anak-anak sekolah bisa diselesaikan dengan membawa 20 batu bata. Saya meragukan efektivitasnya untuk meningkatkan disiplin peserta didik,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA