Floresa.co – Baru seminggu usai Uskup Maumere, Mgr. Martinus Edwaldus Sedu membasuh kaki lima rekan mereka di bui, warga Nangahale di Kabupaten Sikka mendapat surat panggilan polisi buntut laporan dua pastor dari korporasi milik keuskupan ke Polda NTT pada Maret.
Surat panggilan itu, yang diterima 18 warga dari Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai, bertajuk “undangan wawancara klarifikasi perkara.”
Surat ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT Kombes Pol Patar M.H. Silalahi pada 25 April.
Dalam salah satu surat yang salinannya diperoleh Floresa, Polda NTT menyatakan tengah menangani “perkara dugaan peristiwa pengancaman” yang dilaporkan oleh Romo Aloysius Ndate.
Ndate, yang melaporkan 15 warga di Kupang pada 21 Maret, merupakan pastor yang bertugas di Nangahale saat kejadian yang disebutnya sebagai ‘pengancaman’ oleh warga terjadi pada Desember 2023.
Surat panggilan lainnya yang dikeluarkan Polda NTT pada 29 April terkait “penyelidikan terhadap dugaan peristiwa memasuki pekarangan tanpa izin” yang dilaporkan Romo Ephivanius Markus Nale Rimo atau Romo Epy Rimo pada hari yang sama dengan Ndate.
Epy yang saat itu melaporkan empat orang, termasuk di antaranya aktivis dan kuasa hukum warga, adalah direktur sekaligus kuasa hukum korporasi Keuskupan Maumere, PT Krisrama.
Sementara warga yang dilaporkan Ndate diundang pada 28 April, klarifikasi atas laporan Epy dijadwalkan pada 1 Mei.
Lapor dan Penjarakan, Lalu Basuh Kaki di Rutan
Surat panggilan itu muncul setelah pada 17 April, dalam Misa Kamis Putih—hari pertama dalam Tri Hari Suci menjelang Paskah dalam Gereja Katolik—Uskup Martinus membasuh kaki warga Nangahale yang sedang dipenjara di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Maumere.
Ia menegaskan tindakannya bertujuan untuk merangkul para tahanan, menyebut mereka “bagian dari persekutuan Umat Allah yang berhak atas pengampunan dan penyelamatan.”
“Kalian bukanlah orang buangan. Kalian adalah saudara dan sesama saudari kami,” kata Martinus dalam khotbahnya.
“Kalian bukan orang-orang yang terasing, kalian bukan orang-orang yang jauh, kalian adalah tetap saudara sama sesama saudari kami. Karena itu saya selalu datang untuk merayakan Ekaristi di tempat ini pada malam Kamis Putih,” lanjutnya.
Lima warga Nangahale—semuanya laki-laki—yang kakinya dicuci Martinus, ada di antara 12 tahanan di Rutan itu yang berperan sebagai para rasul dalam misa tersebut.
Kelimanya adalah bagian dari delapan warga—dua di antaranya perempuan—yang divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sikka pada Maret.

Maria Magdalena Leny, satu dari dua perempuan Nangahale yang ditemui Floresa di rutan itu pada 23 April berkata, Yosep Joni, salah satu tahanan laki-laki asal Nangahale menolak menjadi bagian dari para rasul.
Vonis penjara terhadap delapan warga, yang dibacakan pada 17 Maret, usai pelaporan oleh Romo Robertus Yan Faroka, direktur operasional PT Krisrama atas tudingan perusakan plang korporasi itu pada 29 Juli 2024.
Barang bukti pelaporan itu adalah video yang diambil sendiri oleh Yan “dari jarak dekat.”
Sebelum vonis itu, kedelapan warga ditahan sejak Oktober 2024.
Dalam wawancara dengan Floresa pada Januari, Yan, yang melayani umat di Stasi Santa Theresia Nangahale sejak Mei 2024 mengklaim pelaporan itu bukan untuk memenjarakan umat.
“Saya tahu persis umat yang saya layani tidak punya potensi melawan hukum dan membela diri. Tetapi saya tahu pasti tindakan mereka itu diprovokasi oleh aktor intelektual LSM selama belasan tahun. Hanya dengan cara itu saya bisa mengendalikan LSM tersebut,” katanya yang juga menduduki posisi direktur PT Langit Laut Biru.
Wajah Ganda Gereja
“Kami tidak mau mundur lagi,” kata Antonius Toni kepada Floresa pada 29 April. Ia merupakan salah satu warga yang dilaporkan sekaligus oleh Epy dan Ndate.
Ia menyesalkan panggilan polisi karena pelaporan dua pastor itu terjadi belum lama setelah Uskup Martinus membasuh kaki kerabatnya pada Misa Kamis Putih.
Bagi Antonius, dua momen tersebut menunjukkan “wajah ganda dari gereja.”
Seorang warga lainnya yang ditemui Floresa di Pedan, salah satu titik di lokasi konflik eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Krisrama di Nangahale berkata pembasuhan kaki oleh Martinus “tidak lebih dari seremonial perayaan semata.”
“Kami sudah digusur, dipenjara, kami butuh pernyataan tegas dari keuskupan tentang keadaan kami, jika benar-benar peduli,” katanya yang menolak namanya dipublikasi atas alasan keamanan.
Baginya, pembasuhan kaki itu bisa jadi simbol untuk membersihkan dosa, sebagaimana lazim dalam tradisi Gereja Katolik, “tetapi tidak untuk semua kesedihan dan luka yang kami rasakan.”
“Bagaimana kami bertahan tinggal di sini? Untuk makan, apakah mereka kasihan dengan kondisi kami?,” lanjutnya.

Kuasa Hukum Ajukan Keberatan
Merespons surat panggilan Polda NTT, empat warga dan kuasa hukum yang dilaporkan Epy Rimo hadir di Kantor Camat Talibura pada 1 Mei.
Mereka adalah Antonius Toni, Ignasius Nasi, Leonardus Leo dan Antonius John Bala, yang dimintai klarifikasi sebagai terlapor. Sementara lima warga lainnya yang dilaporkan Aloysius Ndate, yakni Yakobus Juang, Hendrikus Hemu, Darius Dare dan Thomas Tapang hadir sebagai saksi.
Yakobus Juang berkata dirinya mendapat sekitar 55 pertanyaan terkait kesaksiannya atas tindakan penyerobotan oleh para terlapor, termasuk seputar sejarah pendudukan dan keberadaan warga, juga mekanisme penyelesaian masalah melalui hukum atau mediasi.
“Juga soal kedekatan kami dan apakah kami mengenal mereka yang dilaporkan,” katanya.
Sementara John Bala berkata kepada Floresa bahwa lima polisi dari Polda NTT dan Polres Sikka mendatangi rumahnya pada 30 April sore untuk mengantar surat panggilan tersebut.
“Mereka tawarkan untuk melakukan pemeriksaan di rumah saya,” kata John, yang kemudian menolak tawaran itu beralasan situasi sekitar rumahnya kurang kondusif.
Karena itu, katanya, polisi merencanakan pemeriksaan pada 1 Mei di Kantor Desa Nangahale, namun keputusan itu kembali diubah hingga akhirnya dilakukan di Kantor Camat Talibura.
“Kami kooperatif untuk memenuhi panggilan karena kami juga menghormati teman-teman penyidik yang punya waktu terbatas,” kata John.

Namun, John berkata sehari sebelum pemeriksaan itu, kuasa hukum warga menyerahkan surat keberatan atas pemanggilan klarifikasi oleh Polda.
Terdapat dua alasan keberatan dalam surat itu, katanya, yakni masa waktu pengusutan kasus yang sudah kedaluwarsa karena terkait tudingan penyerobotan pada tahun 2000 dan 2014.
Selain itu, sudah ada rekomendasi penyelesaian konflik antar warga dengan PT Krisrama yang dianjurkan oleh Kementerian ATR-BPN.
Kuasa hukum warga menyatakan dalam surat tersebut bahwa masa kedaluwarsa kasus pidana dengan ancaman hukuman penjara kurang dari lima tahun adalah enam tahun—merujuk Pasal 78 ayat 1 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara terkait alasan keberatan kedua, kuasa hukum menyatakan, pada 11 November 2015, tujuh wakil Masyarakat Adat Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai menemui Kementerian ATR-BPN di Jakarta
Mereka yang kala itu didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) diterima oleh Jamaludin, Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Atas Tanah.
Jamaludin menyatakan dalam pertemuan itu bahwa permohonan pembaruan HGU PT Krisrama akan ditinjau ulang “karena masyarakat adat yang berada di dalam lokasi tersebut berkeberatan.”
Pada 6 Mei 2016, warga yang difasilitasi oleh Bupati Sikka, Yoseph Ansar Rera bertemu dengan Uskup Maumere, Mgr. Gerulfus Kerubim Pareira, SVD.
Pertemuan itu, di mana Romo Epy Rimo yang mewakili PT Krisrama juga hadir, menyepakati penyelesaian bersama mengenai pengaturan tanah bekas HGU, dan “kemudian bersama-sama dikonsultasikan ke Kementerian ATR/BPN.”
Kesepakatan tersebut tak pernah dipenuhi, kata John Bala, hingga pada 13 Juni 2016 uskup, bupati, Pimpinan DPRD dan Manajemen PT Krisrama menemui Kementerian ATR/BPN untuk ”mengonfirmasi surat permohonan pembaharuan HGU kepada ATR/BPN.”
Sementara itu, pada November 2016 pemerintah daerah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 444/HK/2016 tentang Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi terhadap Masyarakat Tana Ai yang Menduduki Tanah Negara eks Hak Guna Usaha PT Krisrama di Nangahale.
Tugas tim itu, yang juga melibatkan beberapa warga, yakni Gabriel Manek, Yakobus Juang, Damaskus Jeng, Leonardus Leo dan Romanus Ruben berkaitan dengan koordinasi, identifikasi serta pengkajian persoalan kedua belah pihak.
Kuasa hukum berkata rekomendasi dari Kementerian ATR-BPN untuk berdialog dengan warga serta realisasi SK Bupati ”belum pernah terlaksana secara sungguh-sungguh” hingga izin HGU milik PT Krisrama kembali diterbitkan pada 20 Juli 2023, disusul penerbitan sertifikat pada 20 Agustus 2023.

Konflik Berdekade
Konflik lahan antara Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai dengan PT Krisrama berlangsung berlarut-larut, bermula dari pengambilalihan paksa lahan warga tersebut oleh sebuah perusahaan Belanda pada masa kolonial.
Lahan seluas 868.730 hektare itu lalu beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.
Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.
Upaya warga mengklaim kembali lahan itu dimulai pada 2014, setahun pasca berakhirnya masa kontrak HGU. Namun di tengah konflik dan pendudukan oleh warga, PT Krisrama kembali mengantongi perpanjangan izin HGU pada 2023.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.
Sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
Sementara lahan seluas 543 hektare, katanya, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah telantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini,” katanya.
Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.
Di tengah saling klaim dan pelaporan terhadap warga, korporasi itu melakukan beragam upaya penguasaan, termasuk penggusuran yang disebut “pembersihan” pada 22 Januari, di mana 120 rumah warga dan tanaman mereka hancur dan rusak.
Korporasi itu juga sempat merencanakan mobilisasi umat dari berbagai paroki di Keuskupan Maumere untuk menguasai lokasi di Nangahale pada 18 2025 Maret namun gagal.
Editor: Anno Susabun