Floresa.co – Polres Sumba Barat Daya, NTT menahan salah satu anggotanya yang melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan yang sebelumnya melaporkan kasus pemerkosaan.
Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) kini menangani kasus ini setelah pengakuan korban viral di media sosial.
Berdasarkan Berita Acara Interogasi (BAI) oleh Propam pada 7 Juni, Aipda PS, inisial pelaku yang bertugas di Polsek Wewewa Selatan itu, dinyatakan ditahan karena perbuatannya “telah melecehkan seorang perempuan.”
Terkuaknya kasus itu bermula dari sebuah unggahan di akun Facebook Times Nusa Tenggara Timur pada 5 Juni.
Unggahan itu menyebutkan informasi dugaan pelecehan oleh Aipda PS terjadi di Polsek Wewewa Selatan pada 2 Maret.
Floresa mendapat video pengakuan korban dan perwakilan keluarganya pada 8 Juni.
Dalam video itu, korban mengaku dijemput PS dari rumahnya pada 2 Maret pukul 21.00 Wita.
Ia dibawa ke Polsek Wewewa Selatan dan diberitahu bahwa ia akan dimintai keterangan tentang kasus pemerkosaan yang ia alami.
Korban melaporkan kasus pemerkosaan oleh orang dekatnya itu dua hari sebelumnya.
Namun, setibanya di Polsek, PS malah meminta korban membuka baju dan celana dengan alasan untuk pemeriksaan.
Selama beberapa menit, kata korban, PS meraba organ vitalnya.
Setelah itu, PS memintanya untuk “tidak memberitahukan perbuatannya ke orang lain.”
Korban mengaku tidak bisa melawan karena pelecehan itu terjadi kantor polisi.
“Pelecehan itu terjadi di dalam ruangan,” katanya.
Perwakilan keluarga yang mengetahui kasus tersebut membenarkan pengakuan korban.
“Kami tidak puas karena menurut pengakuan korban, Aipda PS sengaja meraba organ vital korban dengan alasan pemeriksaan,” kata perwakilan keluarga.
Ia pun berharap PS mendapat hukuman setimpal dengan perbuatannya.
Laporan Kasus Pemerkosaan Mandek
Sementara korban mengalami pelecehan dari PS, keluarga korban juga kecewa dengan penanganan kasus pemerkosaan.
Perwakilan keluarga korban berkata, mereka membuat laporan resmi kasus itu ke Polsek Wewewa Selatan pada malam usai kejadian.
Terkuaknya pemerkosaan itu, katanya, berdasarkan pengakuan seorang anak yang tinggal bersama mereka. Anak itu mengaku menyaksikan korban diperkosa di semak-semak.
“Setelah mendengar laporan itu, saya cari korban sambil teriak namanya,” kata keluarga, “yang diikuti pengakuan korban bahwa ia benar telah diperkosa.”
“Pelaku yang bawa saya ke tempat situ (semak-semak),” kata keluarga yang menirukan suara korban.
Di kantor Polsek, kata pihak keluarga, korban dimintai keterangan oleh salah seorang polisi yang bertugas.
Usai diperiksa, pihak Polsek memberitahu mereka untuk melakukan visum di Polres Sumba Barat Daya.
“Ada dua petugas malam itu, yang menghantar kami menggunakan dua kendaraan,” katanya.
“Kami tiba di Polres pukul 12.30 malam. Visum terhadap korban baru terjadi pukul 05.00 pagi,” kata keluarga korban.
Namun, pihak keluarga mengaku kecewa karena pelimpahan kasus pemerkosaan itu ke Polres Sumba Barat Daya tanpa disertakan surat pengantar.
“Mereka (Polres Sumba Barat Daya) tidak bisa menjawab sampai saat ini, tentang siapa yang berwenang mengeluarkan surat pengantar penanganan kasus tersebut,” katanya.
Selain itu, kata dia, hingga kini tidak ada informasi soal perkembangan penanganan kasus ini.
“Selama ini, kami sudah banyak pengorbanan,” katanya, sementara penanganannya oleh polisi tertutup.
Ia berharap “pelaku jangan dibiarkan bebas setelah “karena ini berkaitan dengan hak perempuan.”
Propam Turun Tangan
Dua hari setelah unggahan video itu ramai ditanggapi publik di Sumba, Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Harianto Rantesalu menggelar konferensi pers pada 7 Juni.
Ia tidak spesifik menanggapi kasus pemerkosaan terhadap korban, hanya kasus pelecehan seksual oleh anggotanya.
Ia membenarkan adanya pelecehan seksual itu dan menyesalkan perbuatan PS yang “telah melanggar kode etik kepolisian.”
“Kami atas nama institusi Polri, khususnya Polres Sumba Barat Daya, menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat atas kejadian ini,” kata Harianto sebagaimana dilansir Reportasentt.com.
Ia menyatakan komitmen untuk menangani kasus ini, “secara profesional, objektif dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.”
“Tidak ada yang ditutup-tutupi. Proses hukum akan ditegakkan,” katanya.
Sembari menunggu proses sidang Kode Etik Profesi, Propam Polres Sumba Barat Daya memberi sanksi kepada PS berupa penahanan khusus selama 30 hari sejak 7 Juni.
Floresa menghubungi Kanit Tindak Pidana Umum Polres Sumba Barat Daya, Aiptu I Kadek Nata untuk menanyakan perkembangan penanganan kasus pemerkosaan yang dilaporkan korban serta kemungkinan keterlibatan anggota lain dalam kasus pelecehan.
Ia sempat mengangkat telepon pada 9 Juni sore, namun tiba-tiba terputus.
Sementara itu, pesan Whatsapp yang dikirim dua kali tak dibalas, meski tercentang dua tanda pesan itu telah terkirim.
Apa Kata Komnas HAM?
Berbicara kepada Floresa pada 9 Juni, Komisioner Komnas Hak Asasi Manusia, Anis Hidayah menyoroti penanganan lamban polisi terhadap kasus kekerasan seksual.
Bahkan, kata dia, hal itu juga terjadi dalam kasus yang melibatkan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, meski telah mendapat perhatian dari tingkat lokal dan nasional.
Ia pun berharap, polisi di Sumba bergerak cepat, baik dalam penanganan kasus pemerkosaan maupun pelecehan, karena keterangan korban dan pelaku mudah dibuktikan.
Anis meminta polisi menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) demi memberikan perlindungan kepada korban.
UU, kata Anis, juga mengatur penyalahgunaan kedudukan oleh petugas kepolisian.
“Merujuk pada perbuatannya, pelaku dapat dikenai pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan pasal pemerataan untuk pencopotan jabatan,” kata Anis, menyinggung pelecehan seksual oleh PS.
Pasal 6 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur sanksi untuk pelaku tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual fisik.
Sanksi yang berlaku meliputi penjara dan/atau denda, dengan jangka waktu penjara mulai dari 4 hingga 12 tahun dan jumlah denda mulai dari Rp50 juta hingga Rp300 juta.
Ia pun berharap pemberlakukan hukuman atau sanksi oleh Polres Sumba Barat Daya berjalan terbuka, putusannya harus cepat, transparan, dan terutama memberikan kepastian hukum untuk korban.
“Komnas HAM mendorong agar pelaku diadili seadil-adilnya sehingga memberikan keadilan bagi korban,” kata Anis.
Rentetan Kasus Kekerasan Seksual oleh Polisi di NTT
Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang melibatkan polisi di NTT.
Pada 13 Maret, Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja-yang kini nonaktif-ditetapkan sebagai tersangka usai dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di bawah umur dan satu perempuan dewasa.
Delapan video kekerasan seksual itu kemudian diunggah ke situs porno berbasis di Australia.
Kasus ini terungkap pada pertengahan 2024 setelah otoritas Australia melaporkan kepada pemerintah Indonesia temuan video yang diunggah di situs porno.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Trunoyudo Wisnu Andiko, Fajar terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan seorang perempuan dewasa berinisial SHDR berusia 20 tahun. Ketiga anak itu masing-masing berusia 6, 13, dan 16 tahun.
Ia juga dilaporkan menyalahgunakan narkoba dan menyebarluaskan konten pornografi anak.
Di kabupaten Sikka, Aipda Ihwanudin Ibrahim, eks Kepala Pos Polisi di salah satu Polsek di Sikka, dipecat usai melakukan kekerasan seksual secara langsung dan melalui video call terhadap dua siswi SMP pada 2024.
Kasus kekerasan seksual itu masing-masing dialami dua korban yang berusia berusia 15 tahun yang terjadi pada Agustus dan November 2024. Salah satu korban meninggal dunia usai membakar diri di rumahnya.
Di Kabupaten Alor, Bripka Adrianus Adeanto Aran yang bertugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polsek Alor Tengah Utara divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Kalabahi dan diberi sanksi etik karena melecehkan seorang anggota polisi wanita.
Dalam putusan pada 4 Desember 2023 dengan nomor perkara 58/Pid.B/2023/PN.Klb, hakim memvonis Adeanto 5 bulan penjara. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum 6 bulan penjara.
Ia juga diberi sanksi etik, yakni demosi selama tiga tahun, ditempatkan di tempat khusus selama 20 hari dan diwajibkan meminta maaf secara lisan dan tertulis kepada korban dan keluarga korban.
Editor: Ryan Dagur