Floresa.co – Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) menjerat eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang mencabuli tiga anak di bawah umur dengan pasal berlapis karena tindakannya dinilai sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sementara itu sejumlah elemen pemerhati perempuan dan anak di NTT meminta kejaksaan untuk menambahkan pasal terkait UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan narkotika karena yang dipakai sejauh ini hanya terkait kekerasan seksual.
Wakil Kepala Kejaksaan NTT, Ikhwan Nul Hakim menyatakan Fajar wajib ditindak secara tegas untuk memberikan keadilan bagi para korban serta perlindungan hukum yang maksimal bagi anak-anak sebagai kelompok rentan.
Ikhwan berkata, Fajar diduga kuat telah melakukan sejumlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
“Selain itu, ia diduga melakukan eksploitasi seksual anak di bawah umur serta menyebarkan konten bermuatan kesusilaan melalui media elektronik,” katanya pada 10 Juni seperti dilansir Antara.
Fajar dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di bawah umur dan satu perempuan dewasa. Delapan video kekerasan seksual itu kemudian diunggah ke situs porno berbasis di Australia.
Kasus ini terungkap pada pertengahan 2024 setelah otoritas Australia melaporkan kepada pemerintah Indonesia temuan video yang diunggah di situs porno. Laporan tersebut mendorong Mabes Polri melakukan penyelidikan.
Setidaknya ada tiga korban anak di bawah umur dalam kasus ini, masing-masing berusia enam tahun, 13 tahun dan 16 tahun.
Kejati NTT menyatakan, untuk korban pertama yang berusia enam tahun, Fajar dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76 E Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Ancamannya adalah pidana penjara antara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Fajar juga dijerat dengan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, Fajar dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman penjara maksimal enam tahun dan Rp1 miliar.
Sementara untuk dua korban lainnya yang berusia 13 dan 16 tahun, Fajar dijerat dengan pasal 81 Ayat (2) UU Perlindungan Anak, dengan ancamannya pidana penjara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Fajar juga dijerat Pasal 6 huruf c juncto pasal 15 Ayat (1) huruf f dan g UU TPKS, dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda maksimal Rp300 juta.
Ikhwan Nul Hakim berkata, Fajar melancarkan aksinya secara berulang dalam kurun waktu Juni 2024 hingga Januari 2025 di Kota Kupang.
Tindakan itu, kata dia, melibatkan pemanfaatan relasi kuasa, penggunaan tipu daya serta pelibatan pihak lain untuk mengatur pertemuan dengan korban.
Dalam melancarkan aksinya, Fajar dibantu oleh Fani, seorang mahasiswa yang juga sudah menjadi tersangka.
Fani, kata Ikhwan, menjadi pemasok anak-anak di bawah umur kepada Fajar.
“Selain itu, tersangka (Fajar) juga merekam sebagian dari aksi kekerasan tersebut dan menyebarkannya melalui situs gelap (dark web),” katanya.
Ikhwan berkata, Fajar ditahan di Rutan Kelas II B Kupang selama 20 hari ke depan.
Sebelumnya, ia ditahan di rutan di Jakarta sejak 13 Maret yang mengalami dua kali perpanjangan hingga 10 Juni.
“Hari ini diperpanjang lagi penahanannya oleh Kejari Kota Kupang hingga 29 Juni,” katanya.
Ikhwan menegaskan Kejati NTT tidak main-main dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur tersebut.
Kasus ini menjadi atensi tidak hanya pusat, tetapi juga oleh Kepala Kejati NTT, Zet Tadung Allo, katanya.
Karena itu, proses persidangan akan dipercepat.
“Semoga minggu ini bisa segera disidangkan bersamaan dengan Fani yang juga telah dilimpahkan oleh Polda NTT,” katanya.
Tuntut Pemulihan Bagi Korban
Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT) mengapresiasi langkah Kejati NTT.
Kelompok yang mencakup individu dan sejumlah organisasi advokasi itu menyebutnya sebagai “progres yang baik dalam membuka keadilan bagi korban dan keluarga.”
Kendati demikian, kata aliansi, publik dan korban tentu menilai proses ini tidak cukup berarti karena “kasus ini sempat terkatung-katung dan cenderung tertutup.”
Bahkan, menurut aliansi, sampai saat ini Fajar tidak dijerat dengan UU TPPO.
“Padahal apa yang dilakukannya sudah terkualifikasi sebagai kejahatan TPPO,” tulis aliansi.
Dalam keterangan yang diperoleh Floresa, salah satu orang tua anak korban, menyatakan “kami hanya ingin dia (Fajar) dihukum seberat-beratnya atau bila perlu hukuman mati.”
“Dia merusak masa depan anak kami. Keluarga kami tidak menerima hal ini,” katanya.
Veronika Ata, pendamping korban berkata, “keluarga korban mengalami tekanan psikis yang berat.”
Karena itu, negara harus hadir tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga memastikan perlindungan dan pemulihan menyeluruh bagi korban.
Asti Laka Lena, Koordinator APPA berkata, “kasus ini menunjukkan betapa rentannya perempuan dan anak-anak di NTT dari kejahatan seksual, bahkan oleh mereka yang seharusnya melindungi warga.”
Karena itu, negara harus memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu.
Ia juga mendesak aparat penegak hukum menjerat Fajar dengan pasal-pasal pidana yang berat, terutama pasal dalam UU TPPO dan Kejahatan Transnasional.
Berdasarkan fakta penderitaan korban dan demi keadilan untuk kemanusiaan, aliansi menyatakan “mendukung penuh langkah Polda dan Kejati NTT dalam penanganan kasus ini secara independen.”
Selain itu, aliansi juga mendesak pasal terkait penyalahgunaan narkotika sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Komisi III DPR RI dalam rapat dengar pendapat umum pada 22 Mei.
Dalam rapat tersebut, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman mendesak Polda NTT menyelidiki keterlibatan Fajar terkait kasus narkotika yang telah dinyatakan positif oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri.
Aliansi juga mendesak Kejati NTT untuk menghitung restitusi bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan memuatnya dalam nota tuntutan jaksa.
“Segera sita aset milik Fajar sebagai jaminan untuk restitusi bagi para korban,” tulis aliansi.
Di samping itu, kata aliansi, negara harus memberikan layanan pemulihan psikososial dan hukum serta memastikan para korban dan keluarga mereka tidak mengalami tekanan dan intimidasi selama proses hukum berjalan.
Aliansi pun mendorong pengadilan untuk membuka akses pemantauan publik, termasuk bagi media dan organisasi masyarakat sipil demi memastikan tidak ada intervensi dan bentuk perlindungan pelaku.
Editor: Herry Kabut