Tambang Picu Aksi Intimidatif Aparat dan Diskriminasi Penegakan Hukum

Aksi tolak tambang di Ruteng, hari ini, Senin (13/10/2014)
Aksi tolak tambang di Ruteng, hari ini, Senin (13/10/2014)

Ruteng, Floresa.co – Keberadaan tambang di Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur membuat kongkalikong antara aparat – TNI maupun Polri, Pemerintah Daerah menjadi kian memperihatinkan.

Kongkalikong itu dinilai menjadi pemicu munculkan aksi intimidasi dan penindasan terhadap warga lingkar tambang.

Hal ini merupakan salah satu alasan mendasar bagi para pastor, bruder, suster, umat Katolik dari paroki-paroki, mahasiswa STKIP St Paulus, STIPAS, aktivis PMKRI, GMNI, dan ribuan elemen pejuang keutuhan ciptaan melakukan aksi unjuk rasa di kantor DPRD dan kantor bupati, hari ini, Senin (13/10/2014).

Di kabupaten Manggarai, misalnya, ribuan demonstran melakukan aksi damai menolak hadirnya pertambangan yang dinilai sudah sewenang-wenang, mengintimidasi warga lingkar tambang dan merusakan tatanan budaya Manggarai.

Dalam pernyataan sikap yang diterima Floresa, pengunjuk rasa juga menyebut, tanah adat (lingko) sudah dirusak menjadi kubangan besar gersang dan beracun.

Gendang’n onen lingkon pe’ang (ungkapan Bahasa Manggarai yang menjelaskan filosofi keutuhan kehidupan masyarakat adat yaitu rumah dan tanah adat), sebut pengunjuk rasa, sudah diobrak-abrik oleh mesin ganas pertambangan.

Kepada Floresa, di sela-sela kegiatan unjuk rasa di depan kantor bupati Manggarai, Sil Tarong salah seorang peserta aksi menyatakan kekecewaannya terhadap diskriminasi penegakan hukum dari aparat keamanan.

Ia mengaku, dirinya bersama tujuh orang lainnya pernah dipenjara 3 tahun 6 bulan lantaran menebang kayu di kawasan tambang di Lingko Soga RTK 103 Nggalak Rego.

Sementara, katanya, para investor tambang yang merusak hutan tidak dipenjara.

“Kalau kami yang tebang sebatang kayu di kawasan hutan dipenjara. Kalau perusahan tambang yang rusak hutan lindung tidak dipenjara,” ungkap Tarong yang juga Tua Adat kampung Robek, Desa Robek, Kecamatan Reo.

Sementara itu, ketika dimintai tanggapan Cristian Rotok, Bupati Manggarai, saat aksi unjuk rasa terkait keluhan Tarong, ia menyatakan, persoalan masuk penjara lantaran menebang kayu di kawasan tambang bukan rananya untuk menjawab.

Terkait tuntutan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Rotok menjelaskan UU sudah mengatur sebuah SK pertambangan harus dicabut dengan SK pula.

Karena itu, menurutnya, pencabutan IUP bisa dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat sesuai ketentuan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA