Floresa.co – Tentu sungguh menyedihkan ketika dua orang meregang nyawa karena konflik tanah di daerah Menjerite, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat pada Senin, 16 Januari 2017.
Tragisnya lagi, dua orang itu ternyata hanyalah tenaga bayaran untuk menjaga tanah milik seorang warga negara Australia bernama Robert. Dan, hari itu adalah hari pertama mereka bekerja.
Cerita singkatnya, kepemilikan sebidang tanah itu dipersoalkan oleh warga setempat. Sementara Robert mengklaim tanah itu adalah miliknya dan dibeli dari seorang ibu bernama Farida. Katanya, suaminya Farida seorang anggota TNI berpangkat kolonel.
Tahun ini Robert ingin mulai menggarapnya, namun masyarakat bersikukuh menentangnya. Urusan kepemilikan lahan pun masih abu-abu.
Siapakah isteri dan anggota TNI yang menjual lahan itu kepada Robert? Bagaimana ia sampai mengklaim lahan itu sebagai miliknya? Mengapa muncul klaim-klaim lain? Bagaimana proses sertifikasi atas tanah itu?
Dalam konteks Manggarai Barat dan perkembangan pariwisata, tentu jawabannya tidak sesederhana kelihatannya.
Pasar Tanah
Pembunuhan di Mencerite sebenarnya bukan kenyataan yang di luar perkiraan. Bukan pula hanya puncak dari konflik tanah, tapi hanyalah salah satu dari sekian konflik tanah yang akan siap bergejolak.
Mengapa? Karena persoalan tanah merupakan bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Bagaimana mengurai hal ini? Pertama, Labuan Bajo dan sekitarnya sudah menjadi “pasar tanah” sejak sektor pariwisata kian melambung dan terbentuknya Kabupaten Manggarai Barat. Harga tanah tiba-tiba meningkat tajam. Dalam penelitian Sunspirit for Justice and Peace, harga tanah di wilayah strategis berkisar 400-1 juta per meter persegi pada tahun 2015.
Didorong oleh harga fantastis tersebut, tanah semakin marak dijual. Selain jual beli secara langsung, terjadi transaksi online, anatara lain melalui situs www.komodoproperty.com, www.realestateflores.com, www.labuanbajo.com, www.floreslandforsale.com, www.rumah123.com, www.urbanindo.com, www.oxl.co.id, www.jualrumahproperty.com, www.jbproperty.com, www.trovit.co.id, www.rumah.mitula.co.id, www.rumahdijual.com, www.jualvilla.com, www.jualo.com.
Siapakah pembeli dengan harga fantastis tersebut? Sebagian besar orang asing dengan berbagai modus operandi. Tak mau disebutkan namanya, misalnya, beberapa bulan lalu seorang perempuan yang bekerja di Bali mengaku ia membantu seorang warga negara Jerman membelikan hingga puluhan bidang tanah di sekitar wilayah Labuan Bajo. Mereka membeli dengan harga miliran rupiah.
Contoh paling konkret juga adalah penguasaan tanah oleh Alam Kulkul. Di kota Labuan Bajo terutama di wilayah-wilayah strategis, Alam Kulkul menguasai sekitar 10 bidang tanah.
Bahkan Alam Kulkul pernah menancapkan plang kepemilikan tanah di dalam area TNK yang seharusnya tidak boleh ada kepemilikan privat.
Siapa pemilik Alam Kulkul? Haji Feisol Hashim. Dia adalah keponakan dari PM Malaysia, Mahatir Mohamad. Di Labuan Bajo, dia pernah mendirikan PT Jaytasha Putrindo yang kemudian bekerja sama dengan TNC untuk membentuk PT. Putri Naga Komodo untuk mengelolah TNK pada tahun 2015. Perusahaan itu kemudian bubar tanpa pertanggungjawaban yang jelas setelah diprotes oleh berbagai elemen masyarakat.
Sementara itu, tujuan dari penguasaan dan jual beli tanah itu macam-macam. Biasanya diklaim untuk membuka usaha, tetapi dalam praktiknya, tak kurang juga jumlah pembeli spekulan. Golongan yang terakhir ini, membeli untuk menjual kembali setelah harga naik. Karena itu, tidak heran pula, di tengah pasar tanah yang makin marak itu, bermunculan para penjual jasa jual-beli tanah. Sering dikenal para broker.
Kedua, kawasan strategis yang menjadi target adalah pantai, pesisir, tanah di sekitar kota Labuan Bajo, dan pulau-pulau. Sepanjang pantai 30 km di kota Labuan Bajo nyaris habis terjual.
Di sepanjang pantai ke arah selatan misalnya, sudah berdiri hotel-hotel yang sekaligus mengklaim kepemilikan atas wilayah pantai. Demikian pula ke arah utara. Kawasan tanah yang strategis sekaligus potensi bermasalah antara lain Pantai Wae Cicu, Bukit Cinta atau kawasan ujung Bandara dan kawasan Mencerite.
Catatan mirisnya, upaya mengklaim kepemilikan pada saat yang sama membatasi akses. Sekalipun ditegaskan bahwa area seratus meter dari garis pasang adalah area bebas akses, di Labuan Bajo kenyataannya tidak demikian. Hotel Silyia misalnya, membatasi akses publik ke area pantai Wae Cecu melalui upaya privatisasi.
Satu-satunya pantai yang bisa dinikmati sebenarnya adalah Pantai Pede. Namun, pantai seluas 3 hektar itu masih dalam bayang-bayang kepemilikan Setya Novanto, pebisnis sekaligus politisi nasional.
Sementara itu, pulau-pulau tak kalah strategisnya untuk dikuasai kepemilikannya. Ada sekitar 170 pulau yang diprivatisasi.
Simpang siur kepemilikan pulau-pulau tersebut mulai merebak sejak tahun 2001. Dimulai dengan pulau Bidadari yang diklaim oleh Ernest Lewandoskwi, pengusaha asal Inggris. Ketika diprotes, ia mengubah argumentasinya bahwa privatisasi itu adalah kontrak. Nilai sewa Pulau Bidadari untuk jangka waktu 25-30 tahun berdasarkan PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan 382,2 juta dolar Amerika Serikat.
Kini banyak pulau yang sudah diprivatisasi berdasarkan aturan tersebut. Di antaranya, Pulau Kanawa dikelolah investor bernama Stefani Plaza pada tahun 2010 dengan nilai 35 juta US dolar Amerika dan Pulau Sebayur dikelolah investor Italia bernama Ed sejak tahun 2009 sebesar US 2,5 juta dolar.
Meskipun atas nama kontrak, dalam praktiknya terjadi penguasaan pulau-pulau tersebut. Di Kanawa, sempat timbul gejolak lantaran tiap orang atau kapal yang sandar dikenai tarif. Dalam kasus seperti itu, tak sedikit yang meragukan bahwa sebenarnya terjadi pengambilalihan pulau tersebut berkedok kontrak.
Apalagi, secara terang-terangan bermunculan iklan penjualan pulau secara online seperti penjualan pulau Punggu senilai 11 juta US dollar Amerika di www.skyproperty.org. Kabar penjualan pulau juga terjadi dengan pulau Bajo, Pulau Seraya, Pulau Sabolo senilai 14 milliar, dan pulau Kelapa senilai 18 milliar.
Mengapa Terjadi Konflik?
Di tengah peliknya persoalan lahan, masyarakat kemudian menyadari pentingnya sertifikasi lahan. Memiliki sertifikat akan memudahkan pengalihan kepemilikan tanah kepada pembeli.
Namun, urusan sertifikasi dalam konteks perkembangan pariwisata menjadi pintu masuk melihat kerumitan persoalan tanah. Di antaranya, bagaimana proses pengklaiman dan kepemilikan tanah yang berkembang secara berbeda-beda.
Sebagai tempat yang didiami multietnis selama bertahun-tahun, penguasaan tanah di Labuan Bajo sulit sekali dilihat dari bagaimana budaya Manggarai (dalam) membagi tanah. Sekalipun berada dalam wilayah administrasi Manggarai (Barat), tetapi proses pengklaiman atas tanah di wilayah pesisir berkembang secara lain.
Anton Hantam, seorang tokoh adat mengatakan, Labuan Bajo dan sekitarnya—berada di bawah Kedaluan Nggorang—tidak memiliki struktur adat Manggarai yang kuat. Di sana tidak punya kampung adat karenanya tidak mengenal model pembagian mekanisme adat Manggarai, “gendang one lingko peang.”
“Khusus untuk wilayah kedaluan Nggorang tidak mengenal atau tidak berlaku filosofi gendang one lingko peang, tetapi secara ekofisio ditunjuk untuk mengatur pemanfaatan tanah,” katanya, sebagaimana dikutip dari majalah Lintas Timur, 2015.
Menurutnya, Nggorang merupakan bagian dari Hamente Boleng dan Kempo karena proses kawin mawin. Lalu, demi pendekatan kepada masyarakat, Dalu Bintang saat itu diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah ini. Namun dalam perkembangan kemudian terjadi silang sekarut dalam pembagian tanah.
“Tua Golo bermunculan di daerah sekitar wilayah Labuan Bajo padahal Tua Golo hanya di wilayah tengah.” katanya.
Sementara itu, menurut Abdulah Ibrahim, sejak abad ke-18, di daerah sepanjang pesisir di kota Labuan Bajo sudah didominasi keturunan Bajo dan Bima, lalu ada suku Manggarai dan Larantuka. Orang-orang Bajo menempati Labuan Bajo saat Manggarai masih berada di bawah kekuasaan Gowa dan Kesultanan Bima.
Dia sendiri berasal dari keturunan suku Bajo, dari garis keturunan Musu. Kepemimpinannya digantikan oleh Aburaera Ibrahim. Aburaera Ibrahim kemudian diangkat menjadi Kepala Kampung Labuan Bajo pertama dalam sistem Hamente. Lalu dia digantikan oleh anaknya, Ibrahim Aburaera, tak lain ayah Abdulah Ibrahim sendiri. Ibrahim Aburaera memimpin kampung hingga menjadi kepala desa pertama pada masa pemerintahan Orde Baru.
Menurutnya, ayahnya terlibat dalam pembagian tanah di Labuan Bajo saat itu, baik pembagian pribadi maupun kepentingan umum. Desa selalu mencatat bukti pajak berupa Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) bagi pemilik tanah.
“Tanah Paroki Labuan Bajo itu dulu diserahkan oleh bapak saya. Juga beberapa lokasi lainnya seperti tanah untuk kantor Lurah Labuan Bajo dan sejumlah Sekolah Dasar,” katanya sebagaiman dikutip majalah Lintas Timur, dari riset Sunspirit for Justice and Peace tahun 2015.
Sedangkan masyarakat di pulau-pulau memiliki cerita berbeda soal kepemilikan tanah. Di Pulau Rinca, Haji Isak mengaku memiliki beberapa (tanah) pulau. Namun proses kepemilikan atas (tanah) pulau tersebut berbeda cerita dari pembagian tanah di Manggarai.
“Siapa yang melepaskan kambing di pulau itu, biasanya itu sudah menjadi tanahnya,” katanya. Orang yang memiliki kambing diidentikkan sebagai orang yang memiliki kuasa.
Yang terus menjadi persoalannya, sementara legalitas penguasaan tanah secara budaya masih silang sengkarut, kebutuhan akan tanah semakin meningkat seriring terus mencuatnya bisnis pariwisata. Boleh “pasar tanah” semakin ramai dan tak terkendali, namun di tingkat regulasi masih berjalan lamban dan terbilang rumit karena berbenturan dengan proses pengklaiman tanah.
Kerumitan itu berbuntut pada sertifikasi tanah. Agus Kalbu—ketik masih menjabat sebagai Kepala Desa Batu Cermin—mengatakan bahwa di Labuan Bajo banyak sekali sertifikat ganda.
“Ada sekitar 90 sertifikat ganda yang bila ditelusuri tidak punya alas hak untuk terbit sebagai sertifikat,” katanya. Menjerite termasuk daerah yang paling rawan dengan sertifikat ganda.
Agus mengatakan, sertifikat ganda muncul saat pembagian tanah mulai diinvertensi pemerintah. Yang membagi tanah bukan lagi fungsionaris adat yang berafiliasi dengan struktur adat tetapi fungsionaris adat yang dibentuk pemerintah.
“Sebenarnya tidak semua tanah di Labuan Bajo bermasalah. Rata-rata tanah yang bermasalah merupakan yang dulu pernah dibagi oleh pemerintah. Dalam perjalanan waktu tanah itu sebagian disertifikat oleh badan pertanahan tanpa memeriksa asal usul tanah sehingga terjadi tupang tindih kepemilikan dan lain-lain” katanya.
Camat Komodo, Nur Abdullah Nur menambahkan, sebagian besar tanah bermasalah sekarang ini karena pembagian tanah pada era 1990-an.
“Rata-rata tanah yang bermasalah sekarang merupakan hasil pembagian tahun 1990-an. Banyak tanah yang digugat, sertifikat digugat, pejabat-pejabat digugat, ada surat pelepasan ganda.” jelasnya.
Sementara itu, Marthen Ndeo, Kakanwil Badan Pertahanan Nasional Mabar (tahun 2015) mengatakan banyak yang mengklaim tanahnya dibagi secara ada tetapi batasnya tidak jelas. “Bagaimana dibilang tanah adat, sementara batas tanah tidak jelas. (Contoh kasus) di Golo Mori ada tanah yang dikomplain warga dari desa lain,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, banyaknya sertifikat ganda disebabkan oleh sistem manual dan sederhana di badan pertahahan di masa lalu. Hal itu membuat urusan tanah rentan manipulasi dan kehilangan data-data terkait tanah. Kini, badan pertanahan terbantu dengan adanya sistem online sejak tahun 2013.
“Dulu memang bisa dengan mudah oknum-oknum tertentu melakukan rekayasa tetapi dengan sistem online ini sangat memantu kami memastikan status tanah.” ujarnya.
Pariwisata dan Resources Grabbings
Terlepas dari itu, yang jelas bahwa konflik tanah memberikan gambaran negatif bagi perkembangan sektor pariwisata. Pariwisata menuntut tidak hanya akumulasi modal tetapi juga akumulasi sumber daya alam seperti tanah, pesisir, pulau, dan lain sebagainya.
Karena itu, persoalan pencaplokan tanah, pulau-pulau, pesisir, dan pantai, sudah dan sedang menjadi momok yang menakutkan. Dalam soal pertumbuhan kapital seolah-olah pencaplokan sebagai suatu keniscayaan yang tidak semestinya dipersoalkan.
Akan tetapi, lebih dari sekadar menanggap persoalan sederhana, Meribeth Erb mengatakan bahwa sebenarnya terjadi kekeliruan besar dalam memahami pariwisata. Dalam artikelnya berjudul “Sailing to Komodo: Contradictions of Tourism and Development in Eastern Indonesia” ia menjelaskan bahwa perkembangan pariwisata tidak sesuai dengan harapan banyak pihak. Pariwisata ditempatkan sebagai tujuan akhir ketimbang sebagai pintu masuk bagi perkembangan yang lain.
Bandingkan dengan Sail Komodo pada tahun 2013. Anggaran sebesar 3,7 trilliun hanya dihabiskan demi perbaikan inftrastruktur pariwisata seperti pelabuhan, bandara, dan jalan-jalan menuju objek wisata, serta mempercantik destinasi ketimbang menjadi jalan menuju pembangunan di sektor lain.
Tidak ada bedanya dengan event-event, kebijakan, dan program lainnya dari pemerintah pusat. Kebanyakan dibentuk hanya berfokus pada menjadikan pariwisata berada di puncak piramida kekuasaan. Akibatnya, sementara bisnis dan sentra-sentra pariwisata berkembang pesat, masyarakat secara umum masih menikmati jalan buruk dan terisolir.
Tak heran, meskipun daerah yang tergolong subur dengan lahan pertanian yang masih luas, Labuan bajo terpaksa mengimpor sayur mayur dari Bima, Ruteng dan Bajawa.
Lalu akankah konflik demikain berakhir? Sudah pasti tidak. Ke depannya konflik tanah semakin meningkat dan menjadi momok yang menakutkan.
Dan, tampaknya, berharap bahwa pemerintah mengambil langkah untuk mengatasi ini hanya akan sia-sia. Bahkan, pada September 2016, ketika membuka acara Forbes Global Conference, ia mengajak untuk menyerbu Labuan Bajo.
“Anda mungkin ingin membeli properti di daerah sana sebelum naik” ajaknya kepada audiens. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)