Borong, Floresa.co – Warga di sebelah selatan sungai Wae Musur, Kecamatan Rana Mese, Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) menyampaikan terima kasih kepada pewaris kedaluan Torok Golo, Yuvens Tongkang yang menginisiasi pembangunan jembatan kayu untuk penyeberangan di sungai Wae Musur tersebut.
Selama ini, sungai tersebut kerap menjadi momok bagi warga ketika melintas karena jembatan belum tersedia.
“Kami berterima kasih karena sudah tidak lagi kesulitan saat menyeberangi sungai ini,” kata Eman Darman warga Desa Lidi pada Rabu, 26, September 2018.
Menurut Darman, selama ini, ia dan warga lainnya di sebelah selatan Wae Musur, selalu dijanjikan soal pembangunan jembatan. Namun,tidak pernah terealisasi.
“Ini yang kami butuhkan, bukan omong tanpa tindakan nyata,” ujarnya.
Meski demikian, lanjutnya, warga sebelah selatan Wae Musur tidak cukup dengan merenung apa yang sedang terjadi.
“Tapi, mari kita buat seperti yang mereka lakukan,” ujar Darman.
Senada dengan Darman, Paskalis, salah seorang pengendara roda dua, kepada Floresa.co di jembatan penyeberangan itu, juga mengapresiasi dan berterima kasih kepada Yuvens yang sudah menginisiasi pembuatan jembatan tersebut.
“Akhirnya, kami tidak kesulitan lagi melintasi kali (sungai) Wae Musur,” ujarnya sembari tersenyum.
Sementara Yuvens mengatakan, pembangunan jembatan penyeberangan itu sengaja ia gagas untuk kelancaran aktifitas ekonomi warga tiga desa, yakni Desa Bea Ngencung, Desa Satar Lenda dan Desa Lidi.
Selain dilintasi oleh warga tiga desa itu, jembatan tersebut juga bisa digunakan masyarakat pesisir selatan Kabupaten Manggarai dan Matim yang hendak menyeberangi Wae Musur. Baik pejalan kaki, maupun yang menggunakan kendaraan roda dua.
Meskipun darurat, kata dia, jembatan kayu itu sebenarnya memiliki manfaat dan dinikmati oleh masyarakat.
Menurutnya, masyarakat perlu dibimbing untuk bekerja nyata, bukan mendengar retorika atau teori-teori.
“Hal ini sangat penting, kita sebagai putra asli sebelah (selatan) Wae Musur harus peduli dengan daerah sendiri, jangan apatis,” tuturnya.
“Dan yang paling penting, kita tidak boleh menyalahkan orang lain. Kita perluh refleksi diri kita,” lanjutnya.
Kerja Gotong-Royong
Yuvens mengatakan, pengerjaan jembatan itu dilakukan secara gotong royong oleh dirinya dan masyarakat.
“Material saya yang siapkan. Lalu kita kerja bersama-sama dengan masyarakat,” kata Yuvens.
Untuk biaya pemeliharaan, lanjut Yuvens, setiap pengendara motor dikenakan tarif Rp 5.000 sekali lewat.
“Uangnya disimpan oleh bendahara yang sudah dipercayakan melalui musyawarah,” ujarnya.
“Sedangkan untuk pejalan kaki, tidak dikenakan biaya apapun,” imbuhnya.
Jalur Alternatif
Menurut Yuvens, dengan adanya jembatan kayu itu, penyeberangan lebih mudah jika dibandingkan dengan jalur pesisir laut.
Jembatan itu memang berjarak sekitar 2 Km dari jalur pesisir laut yang biasa dilintasi warga jika hendak ke Borong atau sebaliknya.
“Saya harap jembatan ini bisa membantu masyarakat yang melintasi wilayah (pesisir laut) tersebut,” ujar Yuvens.
Yuvens mengatakan, ia bersama warga sebelah Wae Musur masih mencari dana untuk memperbaiki jalan masuk dari arah Purang Mese desa Compang Ndejing, karena kondisinya masih sulit dilalui oleh kendaraan roda dua dan empat.
“Kondisinya agak curam. Jadi, kita butuh alat berat untuk galih dan semen untuk rabat,” ungkapnya.
Ia juga mengajak masyarakat setempat untuk terus berusaha, tanpa harus mengeluh dan pasrah dengan kondisi yang ada.
“Masyarakat harus pro aktif untuk membangun desanya bukan hanya menunggu dana pemerintah yang penuh dengan proses panjang dan sangat rentan dengan kebijakan politik,” ujarnya.
“Mari kita coba ubah pola pikir, kita tidak menjadi penonton dalam mendukung pembangunan tetapi justru harus berperan aktif dengan cara yang baik,” tutupnya.
Rosis Adir/Floresa