Floresa.co – Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) secara resmi menerima kembali aset tanah seluas 30 hektar usai tuntasnya proses hukum terkait tanah itu yang telah menyeret sejumlah pihak, termasuk mantan bupati ke balik jeruji besi.
Bupati Mabar, Edistasius Endi secara simbolis menerima kembali aset yang dikenal sebagai Tanah Kerangan/Toro Lemma Batu Kalo itu dari Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) di Kupang pada Jumat, 1 April 2022, dalam acara yang juga dihadiri Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat.
Kepala Kejati NTT, Hutama Wisnu mengatakan, penyerahan itu dilakukan setelah proses hukum bagi sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus korupsi penggelapan aset tanah itu sudah berkekuatan hukum tetap, lewat putusan kasasi dari Mahmakah Agung.
Ia pun mengapresiasi kerja keras para penyidik dan penuntut umum yang menangani kasus ini selama beberapa tahun terakhir.
Sementara itu Bupati Edi menyebut peristiwa ini sebagai “kabar gembira” dan momen bersejarah untuk rakyat Manggarai Barat dan NTT.
“Pemkab Mabar berterima kasih kepada seluruh insan pers, kepada masyarakat Mabar dan NTT yang ikut mengawal dan mengambil bagian untuk keluar dari kemelut (kasus tanah) ini dan hingga sekarang sudah menemukan titik terang,” katanya.
BACA JUGA: Mengapa Tanah Kerangan Sah Milik Pemkab Mabar?
Ia mengatakan, aset itu yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo akan digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat Mabar.
Edi menilai, masalah lahan itu sebenarnya tidak terjadi dan sampai ke ranah hukum jika semua pihak menghormati budaya dan adat yang ia sebut “sangat luar biasa dalam menyelesaikan masalah.”
“Dalam konteks menyelesaikan masalah, leluhur Manggarai mewariskan budaya dalam istilah Bahasa Manggarai, padir wai rentuk sai, yang artinya, duduk bersama-sama untuk menyelesaikan masalah,” katanya.
Namun, ia mengatakan, hal itu tidak terjadi dalam kasus tanah ini, karena “ada yang berkianat dan tidak menghormati budaya.”
“Jika jalankan budaya, masalah tidak seperti ini. Kita tidak membuang waktu yang begitu panjang,” katanya.
Sementara itu, Laiskodat mengatakan berterima kasih kepada Kejati NTT yang berjuang agar aset itu bisa kembali ke Pemda Mabar dan berharap agar ke depan akan memberikan asas manfaat kepada masyarakat.
Kasus penggelapan aset tanah itu, dengan estimasi kerugian negara yang mencapai Rp 1,3 triliun, mulai diusut Kejati NTT pada 2020, setelah ramai diberitakan diklaim oleh sejumlah pihak, bahkan sebagian di antaranya sudah memiliki sertifikat.
BACA: Polemik Kerangan dan Terungkapnya Berbagai Tipologi Kasus Tanah di Labuan Bajo
Tanah itu sebetulnya diserahkan secara adat pada tahun 1989 oleh pemangku otoritas adat di wilayah Manggarai Barat, Fungsionaris Adat Kedaluan Nggorang atas nama H. Ishaka dan Haku Mustafa ke Pemerintah Kabupaten Manggarai, yang adalah kabupaten induk Manggarai Barat.
Namun, sejumlah pihak kemudian mendaku sebagai pemilik lahan itu, bahkan menjualnya ke berbagai pihak.
Bahkan, salah seorang warga Mabar, Muhammad Adam Djudje, yang telah meninggal dunia pada Desember 2020 ikut mengklaim seluruh lahan itu.
Mantan Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch Dula ikut dipenjara sembilan tahun dalam kasus ini, karena membiarkan sebagian dari tanah seluas 30 hektar itu diklaim oleh sejumlah pihak, yang lalu menjualnya lagi.
Terpidana lain berasal dari beragam latar belakang, baik pejabat pemerintah, pegawai badan pertanahan, anggota dewan, pengacara, notaris, hingga calo.
FLORESA