FLORESA.CO – Dalam sebuah rapat yang berlangsung alot di DPR RI pada Senin, 22 Agustus 2022, pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa ketentuan terkait kenaikan harga tiket ke kawasan Taman Nasional [TN] Komodo masih merupakan usulan dan kalaupun akan berlaku, paket wisata yang ditawarkan bersifat opsional.
Pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan Pemerintah Provinsi NTT sebelumnya yang mengklaim bahwa kebijakan itu akan efektif diterapkan pada 1 Januari 2023.
Dalam kebijakan baru itu, yang dikendalikan oleh oleh PT Flobamor, perusahaan daerah milik Provinsi NTT dan mitra bisnisnya, tiket masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar dan kawasan sekitarnya naik dari 150 ribu orang menjadi menjadi 3,75 juta per orang dan 15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan selama satu tahun.
Kebijakan ini menuai protes dari berbagai elemen sipil karena dianggap sebagai bentuk monopoli bisnis dan komersialisasi kawasan TN Komodo, alih-alih untuk tujuan konservasi sebagaimana yang diklaim pemerintah. PT Flobamor menjadi satu-satunya perusahaan daerah yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan jasa wisata alam (IUPJWA) dari KLHK di kawasan itu.
Masih Dikaji
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi IV DPR RI itu, KLHK diwakili oleh Sekjen Bambang Hendrayomo yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).
Selama diskusi, sejumlah anggota dewan meminta klarifikasi terkait beberapa soal, termasuk siapa pihak yang sebenarnya berwewenang menetapkan perubahan tarif dan seperti apa keberpihakan KLHK terhadap konservasi di TN Komodo.
Yohanis Fransiskus Ansy Lema, anggota DPR RI dari daerah pemilihan NTT mengkritik kebijakan baru itu yang ia nilai serampangan dan tidak berdasarkan kajian yang matang.
Ia juga mempertanyakan kebijakan itu yang diklaim demi tujuan konservasi, tetapi malah pengelolaannya diserahkan kepada PT Flobamor yang kapasitasnya dipertanyakan karena tidak memiliki rekam jejak terlibat dalam konservasi.
Ansy juga mencecar Bambang yang meski mengakui bahwa KLHK adalah pihak yang sesuai regulasi bewewenang menetapkan harga tiket ke TN Komodo, namun kemudian memilih diam di tengah protes kelompok sipil terhadap kebijakan baru ini.
“Kenapa KLHK dalam ribut-ribut soal TN Komodo, [malah] diam?” katanya. “[Apakah] Bapak tidak merasa kewenangannya dilangkahi?”
Ia berkali-kali menegaskan agar pemerintah tidak membodohi rakyat dan meminta KLHK untuk mengambil sikap yang jelas.
“Mengapa ujung-ujungnya ada semacam komersialisasi secara brutal melalui monopoli oleh satu perusahan tertentu?” kata Ansy.
Merespon Ansy dan anggota dewan lainnya, Bambang mengatakan bahwa kenaikan harga tiket itu baru sebatas usulan dari PT Flobamor dan saat ini tarif masuk TN Komodo tetap mengacu kepada PP No 12 Tahun 2012 tentang Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ia mengatakan, usulan kenaikan tiket itu masih dalam proses analisis, namun mengiangatkan bahwa KLHK dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain, termasuk PT Flomabor yang mendapat izin penyediaan jasa paket wisata.
“Ini sifatnya baru program yang disampaikan oleh salah satu mitra Pemda [NTT]. Ini memang diawali dengan bagaimana penguatan fungsi kawasan konservasi sesuai ketentuan undang-undang dan PP yang ada,” katanya.
Sementara itu, menjawab pertanyaan dari Wakil Ketua Komisi IV Dedi Mulyadi, terkait apakah paket Rp 15 juta merupakan usulan paket yang bisa dipilih wisatawan ataukah satu-satunya paket yang harus diambil, Bambang mengatakan bahwa itu adalah pilihan.
“Pengunjung juga belum tentu akan ikut (paket) itu,” katanya.
Ansy mengggarisbawahi penyataaan Bambang bahwa kebijakan kenaikan tiket yang akan dikelola oleh PT Flobamor itu masih usulan.
“Jawaban Pak Sekjen kami catat,” kata Ansy, “sehingga waktu rapat kerja dengan Menteri LHK [Siti Nurbaya] diharapkan pernyataan KLHK tidak berubah.”
Edward Tannur dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa [PKB] mengatakan, seharusnya kebijakan kenaikan tiket itu melalui tahap sosialisasi untuk mencapai pemahaman bersama akan arah, maksud dan tujuannya sehingga tidak simpang siur.
“Setelah itu, baru kita diskusikan untuk kegiatan dan pelaksanaannya,” katanya.
Ia menekankan bahwa masyarakat lokal sebagai pemilik wilayah dan cagar alam yang sudah dijaga dari turun temurun harus menjadi prioritas.
“Kita perlu penyelesaian yang komprehensif, yang intinya tidak merugikan masyarakat NTT khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Begitu juga tentang bagi hasil pengelolaan TN Komodo, harus jelas dan transparan aturan mainnya,” katanya.
Sementara itu dalam kesimpulan rapat, Komisi IV DPR RI meminta KLHK mengkaji ulang usulan kenaikan tarif ini dan segera menyampaikan hasil kajian tersebut paling lambat satu bulan setelah rapat ini.
Komisi IV DPR juga meminta KLHK untuk menyampaikan data mengenai jumlah dana konservasi per tahun dan penggunaannya di seluruh taman nasional, termasuk TN Komodo.
Seperti Apa Klaim Pemprov NTT Terkait Kenaikan Tiket Ini?
Berbeda dengan KLHK, dalam sejumlah pernyataannya, Pemprov NTT tidak mengisyarakatkan bahwa kenaikan tiket itu sedang dikaji.
Kepala Dinas Pariwisata NTT, Zet Sony Libing hanya menyebutkan bahwa kebijakan itu ditunda penerapannya ke awal tahun depan, dari rencana semula, 1 Agustus 2022.
“Jadi, Pemerintah Provinsi, atas arahan Bapak Presiden dan Gubernur NTT, memberikan dispensasi dengan harga lama sampai tanggal 31 Desember 2022. Dan akan melaksanakan kebijakan konservasi yang baru itu, pada 1 Januari 2023,” katanya kepada media pada 8 Agustus 2022.
Keputusan penundaan itu diambil setelah pelaku wisata di Labuan Bajo menggelar aksi mogok pada 1 Agustus, hari pertama kebijakan itu hendak diterapkan.
Aksi itu direspon dengan aksi represif, di mana pemerintah menerjunkan 1,000 aparat keamanan ke Labuan Bajo. Puluhan pelaku wisata ditangkap saat melakukan aksi damai, enam luka-luka dan satu orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah menandatangani pernyataan untuk menghentikan aksi mogok.
FLORESA