Kejati NTT Tetapkan Satu Tersangka Baru Kasus Pantai Pede, Disebut-sebut Pemilik Modal PT SIM

Bahasili Papan, tersangka baru itu langsung ditahan pada Rabu malam, 30 Agustus.

Baca Juga

Floresa.co – Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur [Kejati NTT] kembali menetapkan tersangka baru dalam kasus dugaa korupsi pemanfaatan aset tanah Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

Informan Floresa menyebutkan, Bahasili Papan, tersangka yang langsung ditahan pada Rabu malam, 30 Agustus itu adalah pemodal PT Sarana Investama Manggabar [PT SIM], korporasi yang mendapat izin mengelola pantai itu, namun kemudian menelantarkannya.

A.A Raka Putra Dharmana, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTT mengatakan, penetapan tersangka Bahasili dilakukan setelah penyidik menemukan “dua bukti permulaan yang cukup.”

Raka menjelaskan Bahasili, “diduga melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara ditaksir sebesar Rp8.522.752.021,08.”

Ia diancam dengan sangkaan pimair pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU Tipikor] Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Sementara sangkaan subsidair adalah Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Tipikor, Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Bahasili langsung ditahan “di Rumah Tahanan Negara Kelas II Kupang sejak hari ini [Rabu, 30 Agustus] sampai dengan 20 hari ke depan,” ujar Raka dalam keterangan yang diterima Floresa.

Bahasili merupakan tersangka keempat dalam kasus ini. Tiga tersangka lainnya yang juga sudah ditahan adalah Kepala Bidang Pemanfaatan Aset Setda Provinsi NTT, Thelma DS; Direktur PT SIM, Heri Pranyoto dan Direktur PT Sarana Wisata Internusa, Lydia Chrisanty Sunaryo.

Ia terbilang baru terdengar namanya dalam polemik pengelolaan Pantai Pede.

Informan Floresa mengungkapkan, Bahasili adalah  pemilik modal dari PT SIM, perusahan yang disebut-sebut berafiliasi dengan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI yang kini menjadi narapidana kasus korupsi.

“Bersama dengan pemodal lainnya PT Prima Mandiri Logistik, dia inilah yang mengatur sedemikian rupa sehingga PT SIM bisa dipermudah untuk mendapatkan PKS [Perjanjian Kerja Sama] pemanfaatan aset tanah Pantai Pede,” kata informan tersebut.

Pantainya Tidak Lagi Terurus

Sementara kasus pengelolaannya diusut Kejaksaan, kondisi Pantai Pede saat ini tidak terurus.

Beberapa kali mengunjungi pantai di sebelah selatan Labuan Bajo itu, Floresa mendapati sampah di mana-mana, dengan kapal-kapal yang parkir tidak teratur.

Sebelum penyidikan oleh Kejati NTT ini, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat memang memutus kontrak dengan PT SIM pada April 2020. Perusahan itu sebelumnya mendapat izin pengelolan Pantai Pede pada 2012.

Pada 18 April 2020 Pemerintah Provinsi NTT melalui Badan Pendapatan dan Aset Daerah secara resmi mengambil alih pengelolaannya, termasuk Hotel Pelago yang dibangun PT SIM, lalu menyerahkannya kepada PT Flobamor, perusahaan milik provinsi yang juga mendapat karpet merah untuk menguasai sejumlah wilayah di kawasan Taman Nasional Komodo.

Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing saat itu mengatakan PT SIM telah melakukan wanprestasi yakni tidak membayar kontribusi per tahun, terhitung sejak 2015.

Ia juga menyinggung ketidakhadiran PT SIM untuk membahas kenaikan kontribusi menjadi Rp750 juta per tahun. Sebelumnya PT SIM ditetapkan hanya memberi kontribusi Rp250 juta per tahun ke Pemerintah Provinsi NTT.

Zeth juga menyebutkan langkah PT SIM yang tidak menyediakan 10% ruang publik untuk akses menuju Pantai Pede.

Persoalan Kepemilikan

Ditarik ke belakang, langkah Pemerintah Provinsi NTT menyerahkan Pantai Pede ke PT SIM dilakukan di tengah perdebatan soal status kepemilikannya.

Tanah itu semula adalah aset milik Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya – sebelumnya bernama Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi – yang secara resmi dihibahkan ke Provinsi NTT pada 22 Desember 1998.

Departemen itu membeli tanah tersebut dari sejumlah warga pada tahun 1984, sebagaimana tercantum dalam Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 50/SPUMH/1984 dan Nomor:51/SPUMH/1984.

Pada tahun 1985 dan 1986, tanah ini kemudian disertifikasi oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tingkat II Manggarai atas nama Departemen Pariwisata, Pos, Telekomunikasi.

Ada dua sertifikat yaitu sertifikat Hak Pakai (HP) No.10 tahun 1985 seluas 17.286 meter persegi dan sertifikat HP No.11 tahun 1986 seluas 14.384 meter persegi.

Melalui surat Nomor: BU.360/79/DISPENDA/2012 tertanggal 10 Oktober 2012, Pemerintah Provinsi NTT menunjuk PT SIM sebagai Mitra Kerja Sama Bangun Guna Serah.

Keputusan ini, saat NTT dipimpin Gubernur Frans Lebu Raya, memicu gerakan perlawan berbagai elemen masyarakat sipil di Labuan Bajo dan warga Manggarai diaspora berbagai kota di Indonesia.

Tuntutan utama masyarakat saat itu adalah Pantai Pede harus tetap menjadi pantai publik yang bisa bebas diakses oleh masyarakat setelah banyaknya pantai di Labuan Bajo yang dikuasai korporasi sehingga tak lagi bisa diakses bebas warga.

Di sisi lain, kepemilikan tanah di Pantai Pede oleh Pemerintah Provinsi NTT juga dinilai tak sesuai dengan perintah Undang-Undang No.8 tahun 2003 tentang Pembentukan kabupaten Manggarai Barat.

Pasal 13 undang-undang tersebut memerintahkan Gubernur NTT dan Bupati Manggarai [kabupaten induk] untuk menyerahkan pegawai dan barang milik/kekayaan daerah berupa tanah, bangunan dan lainnya ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat pada saat pembentukan kabupaten itu.

Merespons tuntutan berbagai elemen masyarakat, pada 13 September 2016, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyurati Lebu Raya untuk menyerahkan aset tanah itu ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Namun, surat itu tak diindahkan oleh Lebu Raya, hingga era Laiskodat. Pantai itu tetap dikelola Pemerintah Provinsi NTT.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini