Awak Kapal Perikanan Migran, Termasuk dari NTT, Masih Sulit Dapat Keadilan

Peringatan Hari Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang pada 30 Juli menjadi pengingat bagi negara untuk menjamin pekerja migran, termasuk sektor perikanan, memperoleh keadilan

Floresa.co – “Di darat, mungkin ada satu, dua orang yang bisa beri pertolongan. Di tengah laut, kami bisa mati sendirian,” kata Ansel menjelang akhir Mei di tepi suatu dermaga di Jawa Tengah.

Ansel–yang nama lengkapnya tidak dicantumkan demi alasan keamanan–merupakan awak kapal perikanan [AKP] migran. 

Berasal dari suatu kampung pada lereng Gunung Rokatenda, Pulau Palu’e, Kabupaten Sikka, ia tumbuh dalam keluarga petani yang bertanam sayur-mayur.

“Saya ini ‘anak gunung,’” katanya menggambar lansekap di sekitar Rokatenda, tempat ia melewati masa kecilnya.

Ketika gunung api itu erupsi besar pada 2013, keluarganya sempat direlokasi ke Pulau Besar, sebelum akhirnya berpindah secara mandiri ke lereng Gunung Ebulobo, Kabupaten Nagekeo.

Lebih dari seperempat abad hidupnya dihabiskan di lereng pegunungan. Ia tak terbiasa hidup di dekat laut.

“Saya tak bisa berenang,” kata Ansel, “yang kelak jadi masalah ketika berusaha membebaskan diri dari pelecehan di laut.”

Jalan Sarat Badai

Sembari memandangi beberapa kapal nelayan yang mulai berlabuh, ia bercerita soal perjalanan jauhnya dari Flores ke pesisir utara Jawa.

“Ini kali kedua saya ke Pulau Jawa,” katanya seiring permukaan air dermaga yang meninggi, “setelah pertama datang pada 2017.”

Ia telah dua kali melaut sebagai AKP migran di kapal penangkap ikan berbendera asing. 

Masing-masing bermula pada 2018-2019 yang berlanjut pada 2019-2020, pengalaman bekerja yang membuatnya “kerap menangis bila mengingat kesehariannya, bahkan sebelum pergi ke laut.”

Seingat Ansel,  Mei 2017 dua perekrut AKP migran pertama datang menemuinya didi Nagekeo. 

Ia mengaku “tergiur dengan proses rekruitmen ‘pasti lolos’ dan tawaran gaji lebih dari Rp8 juta per bulan,” iming-iming yang mendorongnya berangkat ke suatu kota pelabuhan di Jawa Tengah..

Ia bahkan tak lagi menimbang perjanjian lisan soal ongkos pesawat dan kebutuh hidup sehari-sehari setibanya di Pulau Jawa.

Sebelumnya perekrut “berjanji tanggung semua biaya itu yang cicilannya nanti dipotong sejak gaji pertama saya.”

Yang terjadi kemudian, Ansel luntang-lantung hingga enam bulan di sebuah mes di Jawa Tengah. 

Meski akhirnya berangkat ke laut, tapi utang makan sudah membengkak.

Di sela-sela memikirkan utang, ia masih harus menghadapi “tuntutan tangkapan ikan harian sesuai kuota disertai cacian nakhoda.”

“Nakhoda terkadang tampar dan pukul kami,” katanya, “menyetrap kami tidur dalam lemari pendingin.”

Bagi Ansel, hari-harinya di atas kapal ibarat “jalan yang sarat badai.”

Ia sempat merasa pada titik kelelahan ketika memandangi laut dari bibir palka. 

“Ingin rasanya menceburkan diri, berenang sampai bertemu kapal lain,” kata Ansel, “tapi untuk berenang pun, saya tidak bisa.”

Ansel mau tak mau bertahan di atas kapal sarat cacian sembari berharap “segera melihat daratan.”

Tahun ini ia datang lagi ke Jawa Tengah. Tak seperti dua perjalanan lalu, ia mengaku “lebih melek soal pelanggaran HAM di laut.”

Keadilan, Bukan Penelantaran

Pengalaman buruk Ansel “banyak dialami teman-teman AKP migran dari NTT,” kata Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia [SBMI], Hariyanto Suwarno. 

Mereka direkrut “tanpa kompetensi yang memadai dan berbulan-bulan ditempatkan di mes dengan utang yang terus membengkak,” selain kontrak kerja tak gamblang.

Bagi Hari, sapaannya, apa yang dialami Ansel dan “ratusan AKP migran lain termasuk kasus perdagangan manusia.”

Hingga pertengahan 2024, SBMI mengadvokasi lebih dari 100 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] yang menimpa AKP migran. 

Hingga hari ini “kasusnya sedang menunggu keputusan di Polri.”

“Sulit sekali AKP migran memperoleh keadilan di negeri ini,” kata Hari.

Ketidakpastian tindak lanjut Polri atas serangkaian kasus TPPO turut menjadi sorotan Jeremia Humolong Prasetya, peneliti di wadah pemikir Indonesia Ocean Justice Initiative.

Selama ini “penegak hukum kerap tak mengungkap soal bagaimana mereka menindak perekrut dan pemilik perusahaannya.”

Kalaupun publik terinformasikan,” penegakan hukum dan repatriasi yang aman bagi AKP migran mungkin tidak dapat dilakukan ketika kapal penangkap ikan masih berada di laut.”

Upaya penyelesaian kasus semakin rumit karena “tidak konsistennya penerapan Undang-Undang TPPO dalam kasus pelanggaran HAM terhadap migran nelayan,” kata Jeremia.

Ia memandang peringatan Hari Anti-TPPO pada 30 Juli sebagai “pengingat bagi negara untuk menjamin AKP migran memperoleh keadilan, bukannya menelantarkan mereka.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA