Nilai PT PLN Abaikan Kesepakatan, Warga Lembata Hadang Proses Identifikasi Lahan untuk Proyek Geotermal

Identifikasi lahan dilakukan pada 6-7 September, dari jadwal semula 4-6 September

Floresa.co – Warga di Kabupaten Lembata menghadang petugas dari PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] yang hendak melakukan identifikasi lahan untuk proyek geotermal karena menilai perusahaan plat merah itu mengabaikan sejumlah kesepakatan, termasuk menjelaskan secara transparan dampak proyek itu bagi hidup mereka.

Aksi pengadangan itu terekam dalam sebuah video, di mana warga mencegat petugas yang didampingi aparat keamanan hendak mendatangi lokasi proyek di Kecamatan Atadei itu.

Andreas Baha Ledjap, pemuda Desa Atakore memimpin penghadangan itu. Ia didampingi Patal Ledjap, selaku pemilik lahan dan Romo Firminus Doi Koban, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Keuskupan Larantuka.

Andre berkata, PT PLN mengklaim kini memasuki tahap “pengidentifikasian lahan dan tumbuhan di sekitar lokasi Ina Kar” sebutan warga setempat untuk titik proyek.

Informasi itu, katanya, diketahui dari surat yang dikirimkan PT PLN pada 29 Agustus.

Surat yang diteken Kasirun, Manager Unit Pelaksana Proyek Nusa Tenggara Kegiatan ini, PT PLN sebut sebagai upaya “menindaklanjuti hasil dari tahapan sosialisasi yang telah terselenggarakan pada 22 dan 24 Agustus.”

Kegiatan pengukuran, kata Andre, dijadwalkan pada 4-6 September. PT PLN meminta pemilik lahan membawa KTP, Kartu Keluarga, serta fotokopi bukti hak kepemilikan tanah untuk sertifikat atau sporadik asli dari kantor Desa masing-masing.

Namun, ternyata kegiatan itu direalisasikan pada 6-7 September.

Andre berkata, upaya PT PLN kesannya dipaksakan “karena melalui tahapan yang keliru.”

Berdasarkan pengakuan beberapa pemilik lahan, katanya, kendati ada yang sudah tahu surat itu sejak beberapa beberapa hari sebelumnya, ada juga yang baru mengetahuinya pada 6 September, “menjelang pengukuran dan identifikasi lahan.”

Ia pun menyayangkan sikap PLN yang tidak tahu kondisi dan kesibukan warga Desa Atakore selama dua hari itu. 

Pada waktu bersamaan, katanya, warga sedang sibuk mengerjakan jalan rabat menuju Kampung Waeteba, berjarak tujuh kilometer dari Watuwawer, Desa Atakore.

Karena itu, katanya, kegiatan pada 6-7 September itu “memperlihatkan koordinasi yang buruk dari pihak PLN”.

“Kegiatan ini juga tidak melalui pertemuan resmi, tapi langsung terjadi sekitar lokasi Ina Kar,” katanya.

Mengabaikan Kesepakatan

Andre juga menyebut proses itu “tidak sesuai yang diminta dan diusulkan oleh warga Desa Atakore”.

Menurutnya, PT PLN “melanggar kesepakatan yang dibuat saat seminar budaya pada 9 Agustus, yang pokok pembahasannya antara lain “mendengarkan aspirasi tujuh tokoh adat melalui Ahar Tu,” . 

Ahar Tu merupakan nama tujuh komunitas adat di sekiktar Ina Kar.

“Para pemilik lahan harus mengikuti kesepakatan dalam proses penting ini, karena wilayah tujuh suku terdampak eksploitasi dan eksplorasi geotermal.” katanya.

Namun belum disampaikan aspirasi, “PT.PLN sudah berniat mencaplok lokasi tanpa diketahui warga selaku pemilik lahan.”

PT PLN juga mengabaikan salah satu poin penting lain yang disepakati saat Studi Banding atau Stuba di PTLP Kamojang, Jawa Barat pada 16-20 Juli lalu, katanya.

“Pihak PT PLN meminta sebelum proses eksplorasi dan eksploitasi, dijalankan diskusi dan dialog yang dilaksanakan oleh warga Desa Atakore”, kata Andreas.

Karena diabaikan, Andreas pun menilai ada upaya-upaya terselubung yang sedang diusahakan PT PLN.

Selain itu, menurutnya, tuntutan lain yang belum terjawab oleh pihak PLN adalah berkaitan dengan 20 pertanyaan yang diajukannya saat sosialisasi pada 24 Agustus.

Pertanyaan studi geologi, geofisika, geokimia yang menjelaskan posisi geotermal di Atadei “tidak dapat dijelaskan saat sosialisasi hingga sekarang.”

“PT. PLN menjanjikan membentuk forum guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan hingga kini forum belum terbentuk”, katanya.

PT PLN juga dinilai mengabaikan usulan Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali yang merekomendasikan “untuk menyelesaikan sertifikasi tanah yang masih bermasalah.”

“Paskalis mendorong pemerintah Desa Atakore untuk mendata terkait kepemilikan lahan dalam sertifikat yang masih bermasalah.” kata Andreas.

“Rencananya, lahan yang belum ada sertifikat, didata dan dilaporkan ke Pemerintah Daerah, dengan harapan proses penyelesaiannya dibantu oleh pihak Dinas Pertanahan,” tambahnya.

Menurut Andreas, seharusnya tahapan identifikasi lahan baru bisa dilakukan setelah melewati proses itu dan “melihat sikap masyarakat.”

Minta Jaminan

Hingga memasuki tahapan identifikasi lahan dan tumbuhan, belum ada pernyataan sikap dari warga Desa Atakore, yang membuat Andreas meminta pihak PLN “agar kegiatan pengindentifikasian tidak dimaksudkan memanipulasi data warga.”

Ia berkata, semua warga masih menunggu pertemuan bersama pemangku adat, yang “baru akan dilaksanakan pada 19 September.”

“Salah satu pemangku adat dalam lingkaran Ahar Tu sedang tidak ada di Desa Atakore,” kata Andre.

Ia lantas meminta jaminan PT PLN “bahwa kegiatan selama dua hari di lapangan adalah murni untuk klarifikasi kepemilikan lahan dalam rencana pembebasan.”

Selain itu, ia mendesak pihak PLN agar tidak melibatkan aparat keamanan untuk mengintimidasi.

“Kami meminta semua permintaan ini dijamin oleh pihak PLN”, kata Andreas.

Warga Desa Atakore yang menyaksikan penghadangan PT PLN di lokasi Ina Kar pada 6 September. (Romo Firminus Koban)

Belum Transparan

Erich Langobelen, akademisi asal Lembata dan proaktif memantau perkembangan proyek geotermal Atadei berkata, “sejak awal memang proyek geotermal tidak ditangani secara transparan oleh Pemerintah Daerah.”

Erich, yang mengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, berkata, “banyak kejanggalan proyek geotermal dan tidak sedikit pemaksaan di sana.” 

Ia mencontohkan anggota DPRD Lembata yang seperti “lagi pasang badan bukan untuk rakyat, tapi untuk PT PLN.”

Situasi seperti ini, katanya, seharusnya ditanggapi serius oleh Pemerintah Daerah dan anggota dewan, “bukan malah menutup mata-telinga dan menggelar karpet merah bagi PT PLN.”

“Pemerintah Daerah harus sadar, basis etis dari semua kebijakan pembangunan adalah orang-orang kecil.” katanya.

Jika hal ini diabaikan, Pemerintah Daerah hanya akan jadi penjajah baru untuk rakyatnya, di mana potensi terjadinya“ “kekerasan terhadap warga semakin terbuka lebar.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA