Floresa.co- Dewan Pers mendorong perusahaan-perusahaan media memiliki pedoman khusus dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual yang berperspektif pemulihan dan keadilan bagi korban.
Dorongan berangkat dari hasil kajian lembaga tersebut yang menunjukkan sejumlah jurnalis dan media “tidak memiliki kesadaran akan arti penting pemberitaan kekerasan seksual dan anak.”
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengingatkan pers perlu “memiliki komitmen bersama [melawan] kasus kekerasan seksual,” sesuai amanat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [TPKS] Nomor 12 Tahun 2022.
“Pertama, lingkungan pers bebas dari kekerasan seksual. Dewan Pers sudah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 3 tahun 2024 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pers,” katanya saat membuka Diskusi ‘Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak’ di Hall Dewan Pers pada 29 Oktober.
“Salah satu hasil riset yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] memperlihatkan 87 persen jurnalis, terutama perempuan, mengalami kekerasan seksual dalam menjalankan tugasnya,” ungkapnya.
Komitmen kedua, kata dia, adalah di ranah pemberitaan yang “memiliki perspektif pada upaya pemulihan dan keadilan bagi korban.”
“Bukan reviktimisasi korban melalui pemberitaan, apalagi memprovokasi kekerasan seksual, apalagi mentolerir kasus-kasus kekerasan seksual,” lanjutnya.
Kajian dari Komisi Pendataan Dewan Pers, kata dia, “ingin melihat bagaimana pemberitaan tentang kekerasan seksual”, yang “tampaknya juga memberikan hasil tidak membahagiakan bagi pers yang harus berkomitmen pada kode etik.”
Sebabnya, kata dia, penulisan-penulisan dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual justru melakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif.”
Sementara kondisi “yang tidak membahagiakan” itu terjadi, lanjutnya, sangat minim masyarakat yang melaporkan kasus pemberitaan kekerasan seksual.
“Selama saya hampir tiga tahun di Dewan Pers, hanya ada satu kali laporan keberatan atas pemberitaan kekerasan seksual,” katanya.
Atmaji Sapto Anggoro, anggota Dewan Pers yang berbicara dalam diskusi tersebut mengetengahkan hasil kajian AJI, salah satunya ada 29.883 kasus kekerasan seksual di tanah air sepanjang 2023.
Dari angka itu, sebanyak 26.161 kejadian dialami oleh perempuan. Sebanyak 6.332 korban merupakan laki-laki. Dalam satu kasus kekerasan seksual, korbannya bisa lebih dari satu orang.
Sapto, yang juga Ketua Komisi Penelitian dan Pendataan Dewan Pers mengatakan persepsi media massa terhadap kasus kekerasan seksual masih beragam.
“Tidak semua media massa punya kesadaran akan arti penting pemberitaan kekerasan seksual dan anak,” katanya.
Hasil riset Dewan Pers bersama Universitas Tidar, Magelang di Jawa Tengah menemukan antara Januari 2020 hingga Juni 2022 terdapat 768 artikel berita tentang kekerasan seksual di sembilan media. Sebanyak 212 atau 27 persen di antaranya menyebut identitas korban.
Selain terkait “identitas dan atribusi berlebihan” tentang korban, Sapto juga mengatakan media-media masih menggunakan diksi yang “seksis dan tidak sensitif gender,” juga mengandung penghakiman terhadap korban atau victim blaming.
Karena itu, kata dia, wartawan dan media seharusnya menjadikan Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik sebagai pegangan dalam pemberitaan. Pasal itu berbunyi “wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”
“Identitas korban kekerasan seksual harus dihindari. Demikian juga identitas anak pelaku kekerasan seksual juga tidak perlu diberitakan,” katanya.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengatakan korban kekerasan seksual seringkali menghadapi kesulitan dalam pemulihan dan pemenuhan haknya akibat pemberitaan yang diskriminatif.
“Pemberitaan kekerasan seksual yang mengabaikan prinsip perlindungan korban berdampak pada keselamatan, keamanan, dan pemulihan korban dan menghambat akses keadilan bagi korban,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya peran negara dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama terkait pemenuhan hak-hak korban.
“Keadilan yang bersifat transformatif dan membawa perubahan besar bagi pelaku dan korban harus terus diupayakan,” katanya.
Luviana Ariyanti, aktivis dan Pemimpin Redaksi Konde.co yang menjadi pembicara terakhir dalam diskusi tersebut mengatakan dalam 55 menit terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia.
“Jadi, Indonesia itu darurat kekerasan seksual,” katanya.
Ia mengatakan Undang-undang TPKS seharusnya menjadi pedoman penting, termasuk bagi wartawan, dalam melakukan pemberitaan.
Kendati demikian, kata dia, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi diskriminasi pemberitaan media.
Faktor-faktor tersebut seperti faktor situasional, di mana “media tidak memiliki ideologi yang tetap, misalnya mendukung UU TPKS.” Sebaliknya, “sensasional dalam pemberitaan perempuan.”
“Faktor redaksional, kalau redaksi memutuskan apa, harusnya A, jadi B, gak apa-apa deh sudah diputuskan di redaksi,” katanya.
Faktor lainnya, kata dia, adalah societal, yakni media dipengaruhi oleh konteks budaya dan adat setempat, dan political, di mana kebijakan dan regulasi negara memengaruhi sikap redaksi.
“Perlu panduan yang amat rinci untuk menjadi pegangan wartawan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Ini penting dan kami sudah menunggu delapan tahun lebih,” kata Luviana.
Editor: Ryan Dagur