RSUD Ruteng dan Litani Kisah Memilukan

Baca Juga

Hampir mirip yang dialami keluarga ELF, EIL, juga mengaku mengalami kisah miris di RSUD Ruteng.

Ia mengatakan, sekitar enam bulan lalu, kakak iparnya masuk rumah sakit itu.

Sehari setelah dirawat, kakaknya itu mengalami koma. Dalam kondisi seperti itu, kata dia, seharusnya pindah ke ruangan ICU.

“Karena kakak saya butuh alat pernafasan khusus, bukan seperti yang biasa dipakai pasien biasa di rumah sakit”, katanya.

Ia melanjutkan, “tapi seakan pihak rumah sakit malas tahu saja dengan keadaan seperti itu. Mereka seakan membiarkan saja orang sakit makin sakit”.

“Setidaknya tunjuk sedikit usaha menyelamatkan pasien,” kata EIL.

Karena tidak ada penanganan serius itulah, kakaknya itu pun meninggal.

“Pada hari sebelum meninggalkan pun, tidak ada tindakan penyelamatan. Pada waktu kakak mau meninggal, kecewa sekali menyaksikan semua itu”, katanya.

“Tapi, kami pikir positif saja. Tuhan lebih butuh dia di atas (surga)”, tuturnya berserah.

Selain kasus-kasus itu yang sampai kepada Floresa.co, kami juga menelusuri kasus-kasus lain yang diberitakan media.

Tahun, 2013 silam, terjadi peristiwa yang menimpa keluarga Vinsensius Jeradu dan Evita Mamu, pasangan suami isteri asal Kampung Rahong, Desa Bea Rahong, Kecamatan Rahong Utara, Manggarai.

Sebagaimana diberitakan Theindonesianway.com, keluarga ini digambarkan tinggal di rumah yang sederhana, berukuran 4×4 meter, berlantai tanah dengan bilik bambu dan atap sink.

Kala itu, pada Maret 2013, mereka dikabarkan mendapat tiga bayi kembar melalui operasi caesar di RSUD Ruteng. Bagi keluarga ini, itu sebuah anugerah Tuhan yang membuat mereka merasa begitu dirahmati.

Namun, naas menimpa, berhubung, salah satu bayi akhirnya meninggal.

Penyebabnya, menurut penuturan Vita, sang ibu, karena pasca melahirkan, pihak RSUD Ruteng menyuruh mereka segera pergi dari RSUD itu.

Setelah Jeli, salah satu puteri mereka itu meninggal, duka belum berhenti melanda. Kedua bayi lain selalu sesak napas dan batuk-batuk.

Dan, saat mereka kembali mengantar keduanya ke RSUD Ruteng, mereka diterima dengan sambutan  marah-marah petugas medis.

Masih menurut pemberitaan The Indonesian Way, pada akhir Januari 2013, ada dugaan malpraktek yang menyebabkan meninggalnya Yoharnia Wijayanti (25), seorang guru SDK Cumbi, Desa Pong Murung, Kecamatan Ruteng.

Kristianus Dahurandi, saudara kandung korban menuturkan, pada Jumat, 11 Januari 2013, Yoharnia mengeluh kesakitan. Karena kondisinya tersebut, Yoharnia kemudian dibawa ke RSUD pada 14 Januari 2013.

Usai didiagnosa, kata Kristianus, pihak RSUD Ruteng melalui salah seorang dokternya mengklaim bahwa pasien mengalami gangguan pada saluran pencernaan.

“Dokter waktu itu anjurkan saudari saya untuk makan buah-buahan. Karena menurut dokter, itu gangguan saluran pencernaan” papar Kristianus.

Berbeda dengan pernyataan dokter saat di RSUD, sebagian besar keluarga, kata Kristianus, menduga bahwa pasien menderita usus buntu.

“Waktu kami bawa pulang ke rumah…banyak keluarga yang menilai bahwa ciri-ciri klinis yang dialami saudari saya adalah gejala usus buntu. Dan banyak keluarga yang mengatakan itu,termasuk anggota keluarga yang juga bekerja sebagai perawat,” ungkapnya sedih.

Sebelum saudarinya meninggal, kata Kristianus, usaha keluarga untuk memulihkan kondisi Yoharnia tak hanya dengan mendatangi RSUD Ruteng.

Pihak keluarga pernah mengkonsultasikan kondisi Yoharnia ke salah seorang dokter yang praktek di samping SMK  Karya Ruteng pada Senin 21 Januari 2013.

“Setelah diperiksa di dokter praktek itu, dia tanya kenapa terlambat dibawa ke kliniknya. Dokter juga bilang kenapa dibawa  dalam kondisi parah begini” ungkap Kristianus meniru ucapan dokter bedah itu.

Dari dokter bedah tersebut, Yoharnia kemudian direkomendasikan ke RSUD Ruteng. Di RSUD, ungkap Kristianus lagi, keluarga Yoharnia mendapat komentar miris.

“Staf di sana tanya kami kenapa dibawa lagi. Kemarin kan sudah dibawa ke sini. Kami hanya jawab ini rekomendasi dokter bedah juga” kata Kristianus. Berdasarkan hasil pemeriksaan di RSUD, tutur Kristianus, Yoharnia pun diputuskan untuk dioperasi pada Rabu, 23 Januari 2013.

Namun, menurutnya, dua malam berselang pasca dioperasi, Yoharnia mengalami gejala aneh. “Mata memerah, mulai omong sembarang, berteriak-teriak dan bahkan mencaci maki keluarga dan pasien lainnya di ruangan di RSUD” jelas Kristianus.

Melihat kondisi Yoharnia ini, pihak keluarga pun berkomunikasi dengan dokter di RSUD Ruteng. Menurut dokter, jelas Kristianus, operasi Yoharnia berjalan  baik. Terkait kondisi Yoharnia pasca operasi, dokter menyarankan agar keluarga membawa Yoharnia ke psikiater atau pastor untuk mendapat penyembuhan.

Sebab, lanjut Kristianus, kata dokter, hal tersebut tidak disebabkan oleh proses operasi. Yoharnia pun akhirnya dibawa pulang ke rumah oleh keluarganya pada Sabtu 26 Januari 2013 di Wangkung.

Pada Senin 28 Januari 2013, Yoharnia kembali dibawa ke dokter bedah yang pernah dikunjungi sebelumnya.

Dari dokter bedah, usai diperiksa, keluarga Yoharnia mendapat informasi  bahwa kadar leukosit pasien meningkat.

Menurut Kristianus, dugaan malpraktik yang dilakukan RSUD Ruteng kepada Yoharnia dilihat dari gejala yang dialami pasien pasca dioperasi.

“Kami memang belum sepenuhnya menuduh RSUD Ruteng lakukan malpraktik. Tapi,dugaan kami, ini hanya dilihat dari gejala yang dialami setelah dia dioperasi. Gejala yang dialami tidak seperti biasanya”. (Lanjut ke halaman berikut…)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini