RSUD Ruteng dan Litani Kisah Memilukan

Baca Juga

Cerita-cerita demikian hanya sebagian kecil dari cerita yang sempat terungkap.

Dari cerita Ibu AS di bagian awal, tampak jelas bahwa ada kecenderungan diskriminasi akut di RSUD Ruteng.

Perihal hal ini, juga misalnya muncul dari pengakuan sejumlah pihak, saat rumah sakit ini menelantarkan pasien berjam-jam pada Januari lalu.

Philipus Nomer (74) menunggu selama 12 jam untuk mendapat kamar perawatan di ruang VIP pada Rabu (7/1/2015).

Mereka harus menunggu lama, lantaran lambannya petugas di RSUD menyiapkan kamar yang dijanjikan sebelumnya. Pasien ini pun harus menempati ruang di Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada Rabu mulai pukul 00.00 hingga pukul 12.00 WITA.

Setelah anak Philipus marah,  barulah cepat-cepat petugas mengarahkan pasien ke ruang VIP yang sebenarnya sudah siap ditempati.

Saat berita tersebut muncul di Facebook Page Floresa, De Dedi, salah seorang warga Ruteng menulis di kolom komentar, “biasanya yg miskin selalu menjadi korban penelantaran”.

“Kkasihan org2 yg tidak punya uang banyak…”, kicau De Dedi.

Benediktus Tiwu, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng juga menyatakan, selama ini di RSUD Ruteng kerap terjadi praktek diskriminasi dalam melayani pasien.

“Misalnya ketika pasien yang berasal dari kampung-kampung atau tergolong orang miskin, petugas RSUD kesannya tidak serius dalam memberi pelayanan,” tutur Benediktus.

Kata dia, akan berbanding terbalik dengan pelayanan terhadap pasien yang bisa dikategorikan orang-orang kaya, dimana pelayanan sangat maksimal.

Apa yang disampaikan orang-orang di Manggarai tentang RSUD Ruteng terkonfirmasi lewat penelitian seorang mahasiswi Universitas Hasanuddinm, Makasar bernama Hilfrida  tentang “Gambaran Mutu Pelayanan Kesehatan Di Unit Rawat Inap RSUD Ruteng Kab. Manggarai, NTT” pada Tahun 2011.

Hasilnya menunjukkan, terhadap prosedur penerimaan pasien, diketahui bahwa  dari jumlah sampel sebanyak 242 orang terdapat 219 orang (90,5 %) yang menilai prosedur penerimaan pasien tergolong mudah dan 23 orang (9,5 %) yang menilainya sulit.

Namun, di antara responden yang menilai baik, mayoritas berasal dari kelas VIP. Artinya, kelompok masyarakat mampu, berada, kaya, menerima prosedur penerimaan yang lebih mudah ketimbang kelompok “Non VIP”.

Berhadapan dengan sejumlah kasus dengan pola demikian, reaksi pihak RSUD Ruteng umumnya sama, berusaha membela diri.

Dalam kasus yang terakhir, yang dialami Yoharnia misalnya, pihak RSUD terlibat marah-marah dengan wartawan yang menulis berita dugaan malpraktek itu.

Namun, kemudian Direktur RSUD Ruteng, Dupe Nababan meminta maaf dan beralasan, “Secara psikologis mungkin kami, khususnya staf saya itu,  masih banyak kesibukan karena memang situasinya pasien sudah dibius untuk segera dioperasi. Sekali lagi saya minta maaf.”

Sementara dalam kasus baru-baru ini, yang dialami Ibu Enik, dengan percaya diri, Dupe juga mengklaim, “Sebenarnya kami ini sudah melakukan yang terbaik dengan masyarakat,” ujar Dokter Dupe .

Dia juga menepis tudingan bahwa RSUD Ruteng dikenal dengan pelayanannya yang buruk.

Dupe mengklaim pihaknya sudah memberi pelayanan terbaik untuk masyarakat.

Namun, tentu saja klaim Dupe, tampak sebagai pepesan kosong bila disandingkan pengalaman yang dijumpai di kompleks RSUD Ruteng oleh para pasien. (ARS/ARL/GRD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini