Floresa.co – Sebuah diskusi publik bakal digelar di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur pekan ini, membahas topik terkait isu hak asasi manusia dalam proyek-proyek geotermal di daratan Flores dan beberapa pulau sekitarnya.
Diskusi bertajuk “Situasi Hak Asasi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Proyek Geothermal” itu dijadwalkan berlangsung pada 24 April di ruang kolektif kaum muda Rumah Baca Aksara, Langgo, Kelurahan Carep.
Kegiatan ini juga bisa diikuti secara daring melalui Google Meet: https://meet.google.com/xov-uhgq-meb.
Forum ini merupakan bagian dari Seri Literasi Hak Asasi Manusia yang diinisiasi oleh Terranusa Indonesia, bekerja sama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Rumah Baca Aksara, Sunspirit for Justice and Peace, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa Bunga, Puan Floresta Bicara, Koalisi Orang Muda Peduli Iklim (KoPI) dan LBH Labuan Bajo.
Selain itu juga lembaga keagamaan Justice, Peace and Integrity of Creation atau JPIC SVD Ruteng, JPIC Ordo Fratrum Minorum dan Lembaga Kajian dan Pemberdayaan SDM (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Manggarai.
Sejumlah tokoh akan hadir sebagai pemantik diskusi, antara lain Jimmy Z. Ginting (Terranusa Indonesia), Antonius Anu (Masyarakat Adat Mataloko), Andreas Ledjap (Masyarakat Adat Lembata), dan Agustinus Tuju (Masyarakat Adat Poco Leok).
Sedangkan beberapa lainnya akan menjadi penanggap diskusi, yakni Romo Beni Denar, rohaniwan dan dosen di STIPAS St. Sirilus Ruteng; Sri Chatun, Ketua Lakpesdam PWNU NTT; Saurlin P. Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM; serta Julio C. Achinadi (Accountability Counsel, lembaga internasional yang fokus memastikan terpenuhinya standar akuntabilitas dan pemenuhan prinsip hak asasi manusia).
Diskusi ini akan dipandu oleh Valeria Rahmat dari Rumah Baca Aksara.
Dalam kerangka acuan kegiatan yang diterima Floresa, panitia menyebut bahwa penetapan Flores sebagai “Pulau Geotermal” melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2268 K/30/MEM/2017 semasa Ignasius Jonan menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mewariskan tantangan besar bagi masyarakat, khususnya komunitas adat.
“Perkiraan potensi energi listrik dari pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menjadikan Flores sebagai wilayah strategis yang menyimpan kekayaan, tetapi juga potensi konflik,” tulis panitia.
Namun, lanjut mereka, realitas di lapangan justru menunjukkan adanya kontradiksi antara konsep welfare state atau negara kesejahteraan dan prinsip negara hukum.
“Proyek geotermal yang dikategorikan sebagai bagian dari mega proyek 35 ribu Megawatt milik PT PLN dan masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Perpres No. 4 Tahun 2016, kerap dijadikan alasan untuk melakukan tindakan represif terhadap kelompok masyarakat yang menolak atau mengkritisi proyek tersebut,” ungkap panitia.
Mereka mencontohkan bagaimana kelompok masyarakat adat kerap menjadi korban ketika proyek-proyek pembangunan “menghalalkan” pelanggaran atas hak asasi manusia.
“Padahal, baik di tingkat nasional maupun global, pembangunan dan praktik bisnis dituntut untuk selaras dengan prinsip-prinsip HAM melalui pendekatan Business and Human Rights,” tegas mereka.
Selama tiga tahun terakhir, menurut catatan panitia, gelombang penolakan terhadap proyek PLTP muncul di berbagai wilayah di Flores. Bahkan, Bank Dunia sempat menarik diri dari rencana pendanaan proyek PLTP Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat.
“Tahun ini, enam keuskupan di Flores juga secara kolektif menyatakan penolakan terhadap proyek ini. Pernyataan tersebut kemudian direspons oleh Gubernur NTT dengan janji untuk menghentikan sementara pembangunan PLTP di Flores,” tambah panitia.
Selain itu, data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menunjukkan bahwa hingga awal 2024, terdapat setidaknya 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di Indonesia, yang melibatkan 140 komunitas, dengan total luas wilayah terdampak mencapai 2,8 juta hektare.
“Melihat kondisi tersebut, Terranusa Indonesia melakukan riset yang menyoroti tindakan pembalasan terhadap masyarakat adat, khususnya di Poco Leok (Manggarai) dan Atakore (Lembata),” kata panitia.
Hasil riset tersebut juga akan dipaparkan dalam diskusi ini.
Berbagai proyek geotermal di Flores, termasuk dua pulau di sebelah timur, yakni Lembata dan Alor menghadapi penolakan warga selama beberapa tahun terakhir.
Upaya warga itu bersamaan dengan langkah pemerintah pusat dan daerah yang berusaha meloloskannya, disebut bagian dari upaya menangani krisis iklim global dengan menyediakan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, warga di lokasi-lokasi memprotesnya karena dianggap mengancam keutuhan ruang hidup mereka, baik dari sisi lingkungan, sosial hingga budaya.
Upaya warga itu, yang didukung para uskup, misalnya dengan demonstrasi yang dilakukan warga Poco Leok dan Mataloko, juga menyurati lembaga-lembaga negara dan pendana proyek tersebut.
Sementara Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) telah meminta penghentian sementara proyek yang dikelola PT PLN di Poco Leok, Bank Dunia menyatakan undur diri sebagai pendana proyek yang sama di Wae Sano, Manggarai Barat sejak 2023.
Editor: Anno Susabun