Di tengah upaya pemerintah pusat mempromosikan investasi 800 miliar rupiah untuk kawasan bisnis pariwisata di Hutan Bowosie, sejumlah pihak mengingatkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memperhitungkan kepentingan pihak-pihak sekaligus menjadi semacam investasi masalah yang akan lebih pelik ke depan.
Sejak diperkenalkan pada 2018, proyek pariwisata di Hutan Bowosie menuai kritikan dari warga dan berbagai pegiat masyarakat sipil di Labuan Bajo, selain karena memberi karpet merah bagi para investor, kebijakan itu juga mengabaikan konflik agraria dengan warga lokal dan ancaman krisis ekologi.
“Pariwisata berkelanjutan kelas dunia yang berkualitas tinggi di jantung Flores,” demikian julukan BPO-LBF untuk lahan seluas 400 hektar yang dikuasainya di Hutan Bowosie, meminggirkan soal yang masih belum selesai; konflik lahan dengan warga, juga kecemasan ancaman krisis ekologi bagi Labuan Bajo.
Desakan itu diutarakan warga Desa Gorontalo karena BPO-LBF turut mengklaim wilayah APL Bowosie yang sudah menjadi pemukiman dan lahan pertanian mereka. Wilayah itu, oleh BPO-LBF rencananya akan dijadikan destinasi wisata ekslusif. Bahkan lembaga yang dipimpin Shana Fatina itu berani menanam pilar tanpa berkoordinasi dengan mereka.
Pemerintah berjanji akan mengembalikan kebun dan tanah rumah milik warga adat Lancang, di Kelurahan Wae Kelambu – Labuan Bajo yang ‘dihutankan’ untuk dijadikan destinasi wisata yang dikelola oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO–LBF].
Diklaim demi menghidupkan ekonomi, program 'Work from Labuan Bajo' menyimpan soal serius, terkait ancaman bahaya peningkatan kasus Covid-19. Apalagi, baru-baru ini terungkap bahwa ada penumpang yang positif Covid-19 berdasarkan tes PCR, namun masih lolos menumpang pesawat terbang