Floresa.co – Pada Agustus tahun lalu, dalam acara yang dihadiri Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahudin Uno, Eiger Adventure melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyeknya di salah satu kawasan bisnis kontroversial di Labuan Bajo.
Perusahaan yang memproduksi pakaian dan peralatan rekreasi alam itu menyatakan akan membangun toko Eiger Hill Flagship Store Parapuar dan kafe yang dinamai Eiger Coffee.
Direktur Eiger Adventure, Imanuel N. Wirajaya menyebut tempat usaha itu bakal menjadi “sebuah hub yang terintegrasi dengan lifestyle,” ruang berkumpul berbagai komunitas, mulai dari pecinta alam, pemerhati budaya, penyuka olahraga serta riding.
Pembangunannya, kata Imanuel, akan selesai kurang lebih enam hingga sembilan bulan ke depan dengan menggunakan material yang berkelanjutan.

Delapan bulan berlalu pasca groundbreaking itu, belum ada tanda-tanda pembangunannya dimulai, sebagaimana disaksikan Floresa baru-baru ini.
Kawasan bisnis pariwisata bernama Parapuar itu berlokasi di Hutan Bowosie dan dikelola Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores (BPO-LBF), lembaga di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang dibentuk pada 2018.
Parapuar, menurut BPO-LBF, berarti pintu gerbang yang mengarah ke hutan, yang diadaptasi dari dua kata Bahasa Manggarai, para (pintu) dan puar (hutan).
Mendatangi Parapuar pada awal bulan ini, akses masuk dari persimpangan Jalan Trans Flores di Tuke Tai Kaba, Desa Golo Bilas masih berantakan, dengan gundukan tanah dan sisa-sisa material batu dan pasir berserakan.
Gundukan itu merupakan sisa-sisa pembangunan jalan dan tembok penahan tanah yang dikerjakan sejak pertengahan November tahun lalu hingga pertengahan bulan lalu oleh PT Cipta Jaya Piranti.
Sekitar 200 meter dari Trans Flores itu, jalannya memang sudah mulus hingga ke puncak.
Sementara di bagian puncak, tidak ada petugas jaga dengan sejumlah fasilitas yang tampak sudah lama tak lagi dimanfaatkan.

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BPO-LBF, Yoserizal berkata kepada Floresa, Eiger Adventure-korporasi pertama yang sudah melakukan groundbreaking di Parapuar-sebetulnya “hendak memulai pembangunan pada Januari lalu dan sekitar Agustus dan November tahun ini mereka mulai beroperasi.”
Eiger akan mendirikan bangunan berlantai dua di view atau pemandangan 360 derajat, di mana “bisa lihat Kota Labuan Bajo dan matahari tenggelam.”
“Di lantai atas kafe dan di lantai bawah toko yang menampilkan produk-produk mereka,” katanya pada 2 April.
Yoserizal berkata, hal yang menghambat Eiger memulai pembangunan adalah “infrastruktur dasar seperti jalan, listrik dan air belum terpenuhi.”
Dengan dana Rp1,8 miliar yang bersumber dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun anggaran 2024, BPO-LBF hanya mampu membangun jalan sepanjang 200 meter dan tembok penahan tanah di persimpangan Tuke Tai Kaba.
Namun, jalan itu hanya disirami agregat dan saat opname ditemukan bahwa pengerjaannya oleh PT Cipta Jaya Piranti hanya mencapai 95%. Opname merujuk pada catatan dan dokumentasi hasil pemeriksaan dan pengukuran pekerjaan oleh pengawas.
“Jalannya terbengkalai, belum rampung dan tidak sesuai target awal kami,” kata Yoserizal.
Hal itu berujung pada pemutusan hubungan kerja dengan PT Cipta Jaya Piranti, tambahnya.
Ia berkata, jalan itu sudah ditanyai oleh Eiger. “Mereka bilang ‘kami akan membangun, tapi posisi pintu masuknya aja belum siap. Bagaimana mau bangun?’” tambahnya.
Pembangunan itu juga masih menyisakan persoalan karena PT Cipta Jaya Piranti belum membayar upah subkontraktor dan pekerja lokal. Subkontraktor yang mengerjakan tembok itu sempat berujar, “kalau tidak ditindaklanjuti kami akan bongkar bangunan itu.”
Yoserizal berkata, pengaspalan akses masuk Parapuar dalam proyek sebelumnya tidak sampai di persimpangan Tuke Tai Kaba karena “awalnya kami hanya mengantongi sertifikat untuk pembangunan jalan sepanjang 1,5 kilometer.”
Pembangunan jalan sepanjang 200 meter ke jalur Trans Flores baru dilanjutkan setelah “kami mendapat tanah hibah dari pemerintah” yang sertifikatnya terbit pada awal 2024.

Yoserizal berkata pengaspalan di akses masuk rencananya dilanjutkan tahun ini, namun pihaknya “masih berjuang mendapat anggaran terbaru.”
Ia mengaku “imbas efisiensi anggaran di seluruh kementerian sampai ke sini,” tetapi “kami ngotot agar pembangunan ini jangan sampai mangkrak.”
Kendati demikian, ia ragu apakah anggaran itu akan tersedia, mengingat “Kementerian Pariwisata nggak ada namanya pembangunan fisik” dan anggaran pembangunan tembok penahan tanah itu sebelumnya merupakan hasil “negosiasi di tingkat atas.”
Yoserizal mengakui jika jalan belum selesai tahun ini maka “turut menghambat pembangunan Eiger.”
Eiger “pasti nggak mau kalau mereka sudah mulai bangun, tetapi di bawahnya belum ada akses masuk.”
Sejauh ini, infrastruktur dasar yang sudah tersedia di Parapuar hanya listrik, kendati “di luar target utama kami,” yaitu “listrik dipasang di bawah tanah atau underground, bukan yang pakai tiang.”
“Karena kita mengejar biar pemasangannya cepat, kami memulai dengan yang gampang dan tidak memerlukan dana yang besar dulu. Itu makanya pakai tiang, tapi nanti pasti akan underground,” katanya.
“Kami juga sudah berjuang dengan PDAM — Perumda Wae Mbeliling — agar air bisa sampai ke atas (puncak Parapuar),” tambahnya.
Upaya BPO-LBF Memasarkan Parapuar
Parapuar berlokasi di Hutan Bowosie, penyangga Labuan Bajo yang mengitari kota itu di sisi timur.
Proyek yang mengalihfungsikan hutan itu bermula dari Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 yang menyerahkan kawasan seluas 400 hektar kepada BPO-LBF.
BPO-LBF telah membagi kawasan itu ke dalam empat zona, yakni zona budaya, zona rekreasi, zona alam liar, dan zona petualangan.
Ketika pada 29 Oktober 2022 Menteri Sandiaga Uno berkunjung ke Parapuar, ia menargetkan kawasan itu bisa menarik investasi Rp800 miliar. Rinciannya zona budaya Rp350 miliar, zona rekreasi Rp200 miliar, zona alam liar Rp40 miliar dan zona petualangan Rp210 miliar.

Dalam rangka promosi tempat itu, tahun lalu saat BPO-LBF masih dipimpin Direktur Shana Fatina sering menggelar acara hiburan di Parapuar yang dikemas dalam bentuk kemping.
Acara-acara itu yang dinamai Picnic Over The Hill melibatkan komunitas anak muda Labuan Bajo, juga beberapa kali mengundang artis nasional dan lokal.
Pelaksana Direktur BPO-LBF Frans Teguh yang menggantikan Shana mengklaim beberapa titik lokasi di Parapuar seperti Taman Parapuar dan Natas Parapuar telah digunakan sebagai ruang kreasi dari lintas komunitas dan publik.
Saat ini, katanya, Parapuar dapat digunakan lintas komunitas di Labuan Bajo Flores sebagai lokasi pameran dan pertunjukan kreativitas serta aktivitas wisata minat khusus seperti camping ground.
Via nomor kontak WhatsApp resmi, seorang Staf Komunikasi Publik BPO-LBF berkata kepada Floresa, pembangunan kawasan Parapuar mengusung konsep Etno, Eco, Edu, Cultural and Natural Conservation (3ECNC).
Ia mengklaim, pengembangannya akan memastikan terimplementasinya prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan dengan melestarikan budaya dan alam yang menjadi keunggulan kompetitif Labuan Bajo dan Flores.

Selain Eiger, saat ini sudah ada beberapa calon investor lain yang telah berminat untuk berinvestasi, kendati belum ada tindak lanjut.
Beberapa di antaranya adalah PT Akses Connecting Nusaraya, PT Semesta Indo Resort, PT Cikarang Prima Indah dan PT Kemah International.
PT Akses Connecting Nusaraya dan PT Semesta Indo Resort telah meneken Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman komitmen investasi pada 7 Agustus 2024.
Sementara PT Cikarang Prima Indah dan PT Kemah International juga telah meneken MoU di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Jakarta pada 23 September 2024. Keduanya berjanji berinvestasi US$ 10 juta.
Staf Komunikasi Publik BPO-LBF berkata, tahun ini lembaga itu juga berencana akan melelang satu klaster di lahan seluas 1,34 hetare yang diperuntukkan bagi Eco Hotel dan Eco MICE (Meetings, Incentives, Conferences and Exhibitions).
Eiger Adventure yang Tersandung Masalah
Sementara di Labuan Bajo proyeknya stagnan, di tempat lain Eiger Adventure sedang tersandung masalah karena dianggap mengancam kelestarian lingkungan.
Setidaknya ada dua proyek Eiger yang kini jadi sorotan di Jawa Barat, yakni Eiger Camp di lereng Gunung Tangkuban Parahu, Kabupaten Bandung Barat dan Eiger Adventure Land di kawasan Puncak, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor.
Seperti dilansir Kompas.com, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi telah menyegel proyek Eiger Camp karena ada potensi kerawanan bencana.
Menurutnya, proyek ini berada di area yang sangat tinggi, tepatnya di kebun teh paling ujung yang memiliki bangunan beton. Hal ini menimbulkan potensi bahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sedangkan proyek Eiger Adventure Land yang mencakup lahan 325,89 hektare di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung ramai dibicarakan setelah banjir besar melanda Depok, Bekasi, dan Jakarta — yang diduga dipicu oleh alih fungsi lahan di kawasan resapan, termasuk area proyek Eiger. Proyek itu kini sedang diselidiki.

Kawasan Parapuar di Labuan Bajo yang menjadi lokasi proyek Eiger juga bukan tanpa masalah.
Sejak awal, proyek itu menuai protes dari warga sekitar dan para aktivis lingkungan.
Protes itu selain karena sebagian dari lahan 400 hektare yang dikuasai BPO-LBF sebelumnya ditempati warga, juga karena kekhawatiran terhadap dampaknya bagi keseimbangan ekologi di Labuan Bajo.
Di tengah protes warga di kawasan sekitar Parapuar, pada 15 September 2023, BPO-LBF mengantongi Sertifikat Hak Pakai Lahan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang melalui SK Menteri ATR/BPN Nomor 110 untuk wilayah seluas 129,608 hektar untuk zona budaya.
Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni yang kini menjadi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang menyerahkan sertifikat itu.
Sejauh ini belum diketahui pasti apakah seluruh lahan 400 hektare itu sudah mengantongi sertifikat.
Menurut BPO-LBF, penerbitan sertifikat HPL diharapkan dapat meyakinkan investor untuk berinvestasi.
Sementara itu, bersamaan dengan pengembangan kawasan itu, banjir telah berulangkali melanda Labuan Bajo, hal yang memicu desakan terhadap pentingnya kawasan peresapan air dan pembatalan proyek Parapuar.
Pada April 2023, banjir besar melanda pemukiman warga di sekitar Parapuar, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Banjir itu yang juga melanda sejumlah wilayah lain di Labuan Bajo itu terjadi tak lama setelah BPO-LBF membangun jalan ke Parapuar yang menggusur kawasan hutan.
Sementara pada Januari tahun ini, sejumlah titik di kota Labuan Bajo juga dilanda banjir.

Warga Masih Suarakan Protes
Di tengah upaya BPO-LBF terus berusaha agar Eiger Adventure dan korporasi lainnya berinvestasi di Parapuar, warga di sekitar hingga kini masih terus mempersoalkan proyek itu.
Heri Jem, anggota Komunitas Racang Buka yang selama ini menduduki wilayah itu berkata, meski BPO-LBF telah mengantongi sertifikat, “kami tidak mau peduli.”
Kalaupun nanti investor bekerja di lahan itu, “kami juga tetap kerja,” katanya kepada Floresa pada 8 April.
“Sejak awal, kami sudah menolak pembangunan Parapuar karena lahan yang dikuasai BPO-LBF adalah ruang hidup dan tempat kami bercocok tanam,” katanya.
“Kami tidak menolak pariwisata, tetapi jangan sampai ada warga yang dikorbankan,” tambahnya.
Warga Racang Buka telah lama berjuang mendapat pengakuan negara. Upaya mereka sempat dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016.
Namun hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain atau APL. Sementara bagian lain dari hutan itu yang mereka mohonkan menjadi bagian dari kawasan yang kini dikuasai BPO-LBF.
Pada 21 April 2021, puluhan warga Racang Buka sempat mengadang alat-alat berat yang dikawal pihak aparat keamanan saat pembukaan jalan, di mana beberapa warga mengalami represi dan satu di antaranya sempat ditahan.
Perwakilan warga Racang Buka sempat hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI di Senayan, Jakarta pada 14 November 2022, yang berakhir dengan janji untuk membentuk Panitia Kerja untuk menyelesaikan kasus tersebut. Namun, janji itu belum terealisasi hingga kini.

Heri berkata, komunitasnya menolak siapapun investor yang datang ke sana, apalagi Eiger yang “sudah kami tahu track record-nya” dan “kita harus benar-benar waspada jangan sampai mereka melakukan hal yang sama di sini.”
Ia berkata, proyek Parapuar yang memicu masalah lingkungan dan konflik lahan kontras dengan aspirasi “pariwisata berkelanjutan dan ekologi integral” yang digaungkan berbagai pihak, termasuk baru-baru ini oleh Gereja Katolik.
Heri merujuk pada Surat Gembala Paskah 2025 dari Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus yang menyatakan pariwisata Labuan Bajo hanya dapat berkembang jika didukung oleh ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
Heri menilai, cara kerja BPO-LBF yang mengambil alih lahan mereka seperti “mafia tanah” yang “mengklaim lahan orang kemudian menjualnya ke investor.”
Ketika muncul persoalan, kata dia, BPO-LBF selalu “cuci tangan” dengan mengklaim “kami hanya menjalankan keputusan pemerintah pusat.”
Ia menyebut BPO-LBF sebagai “mafia yang terinstitusionalisasi atau yang dilembagakan oleh pemerintah” dan berharap kinerjanya dievaluasi.
BPO-LBF tidak merespons pertanyaan Floresa soal konflik lahan dengan warga.
Sorotan terhadap BPO-LBF juga muncul dari Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, yang menyebut kewenangannya tumpang tindih dengan pemerintah lokal.
Pembagian otoritas antara pemerintah daerah dengan BPO-LBF dan lembaga lainnya seperti Balai Taman Nasional Komodo telah menghambat pengelolaan daerah.
Kedati secara administratif Manggarai Barat menjadi tanggung jawabnya, ia mengaku secara otoritatif ia tidak bisa mengatur kewenangan lembaga lain.
“Ada zona tertentu bupati tidak punya kewenangan untuk mengaturnya,” katanya, menyinggung zona otoritatif BPO-LBF di Parapuar.
Editor: Ryan Dagur