ReportasePeristiwaKontraktor Proyek Jalan di Parapuar Tak Kunjung Bayar Upah Pekerja, BPO-LBF Sebut Ganggu Citra Lembaga

Kontraktor Proyek Jalan di Parapuar Tak Kunjung Bayar Upah Pekerja, BPO-LBF Sebut Ganggu Citra Lembaga

Salah satu subkontraktor menagih upah hingga ke Jakarta

Floresa.co – Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO-LBF) mengklaim citra mereka terganggu karena kontraktor yang mengerjakan proyek di kawasan bisnis pariwisata Parapuar tak kunjung membayar upah pekerja.

Karena itu, lembaga tersebut mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum jika masalah tersebut tak kunjung selesai.

Pernyataan yang disampaikan Sisilia Lenita Jemana, Kepala Divisi Komunikasi Publik BPO-LBF melalui siaran pers pada 9 Mei itu merespons polemik antara pekerja lokal dengan PT Cipta Jaya Piranti, kontraktor yang memenangkan tender proyek tersebut.

Sisilia berkata, kendati pembangunan tahap awal jalan itu selesai pada Maret, namun “pekerjaan ini menyisakan polemik karena para pekerja mengeluh upah mereka belum dibayar.”

Para pekerja tersebut mendatangi kantor BPO-LBF pada 25 Maret dan memohon kesediaan untuk membantu mereka melakukan mediasi dengan PT Cipta Jaya Piranti.

Kedatangan mereka, katanya, bertujuan menagih upah kepada kontraktor tersebut. 

Sisilia mengklaim permohonan mediasi tersebut langsung ditindaklanjuti BPO-LBF dengan menggelar Zoom Meeting di ruang rapat kantor.

Namun, kata dia, rapat tersebut “tidak berhasil terlaksana” karena “PT Cipta Jaya Piranti tidak menjawab panggilan telepon.” 

Ia mengklaim tim BPO-LBF terus berupaya berkomunikasi melalui pesan WhatsApp dan panggilan telepon untuk mengingatkan dan meminta pihak kontraktor menyelesaikan kewajibannya.

Ia menyatakan lembaganya telah menyelesaikan seluruh kewajiban kepada PT Cipta Jaya Piranti pada 24 Maret. 

“Namun, hingga saat ini, PT Cipta Jaya Piranti rupanya belum menyelesaikan kewajibannya kepada para pekerja,” katanya. 

Sisilia berkata “situasi ini berkembang bias dan berdampak pada terganggunya citra BPO-LBF.”

Pelaksana Tugas Direktur Utama BPO-LBF, Frans Teguh menyatakan segera menindaklanjuti situasi ini secara tegas karena “telah merugikan citra lembaga.”

“Kami telah mempertimbangkan akan menempuh jalur hukum jika situasi ini terus berlarut-larut,” katanya. 

“Saat ini, kami sedang berkoordinasi dengan Bagian Hukum Kemenparekraf — merujuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif — untuk menyelesaikan masalah ini,” tambahnya. 

Sisilia Lenita Jemana berkata, proyek jalan sepanjang 200 meter itu  dilakukan melalui tender atau lelang terbuka oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemenparekraf pada pertengahan tahun lalu.

Dalam Surat Perjanjian Kerjasama yang ditandatangani bersama antara BPO-LBF dan PT Cipta Jaya Piranti, katanya, “tidak disebutkan adanya kerja sama antara kontraktor tersebut dengan pihak lain.” 

Ia mengklaim, ternyata Direktur PT Cipta Jaya Piranti, Husin Hasan Ali Salim menunjuk Ferdi Landing sebagai pelaksana pekerjaan “yang mewakili perusahaan tersebut di lapangan.”

Husin menyampaikan penunjukan tersebut dalam rapat bersama BPO-LBF, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan tim teknisnya, SPI dan Konsultan Pengawas pada 13 Februari. 

PT Cipta Jaya Piranti memenangkan tender proyek itu senilai  Rp2.383.518.200 pada 14 November 2024. 

Namun, ada penyesuaian menjadi Rp1,8 miliar karena pekerjaan hanya berupa penyiraman agregat, bukan pengaspalan.

Dengan anggaran Rp1,8 miliar pengerjaan jalan sepanjang 200 meter menuju Kawasan Parapuar hanya berupa penyiraman agregat. (Dokumentasi BPO-LBF)

Laporan Infotimur.id pada 6 Mei menyebutkan Ferdi Landing sudah datang ke kantor PT Cipta Jaya Piranti di Jakarta untuk menuntut pembayaran upah, namun ia mengklaim dipermainkan.

Bolak-balik ke kantor PT Cipta Jaya Piranti, katanya, ia “tak kunjung mendapat kepastian.”

“Setiap hari alasan sama, uang sedang proses, tapi tak pernah jelas kapan akan dibayar,” katanya.

Ferdi juga mengaku menanggung sendiri biaya hidup, kendati “mereka janji akan menanggung tiket dan hotel.”  

Ia berkata tunggakan pembayaran tersebut bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga beberapa subkontraktor lain, termasuk pemilik alat berat seperti vibro, excavator, dan grader, yang digunakan untuk meratakan permukaan tanah.

L. Natan, seorang subkontraktor berkata, berdasarkan kesepakatan dengan PT Cipta Jaya Piranti, ia mengerjakan tembok penahan tanah atau TPT dengan volume 145 meter kubik.

Biaya per kubik adalah Rp650 ribu, termasuk untuk upah pekerja dan pengadaan material seperti batu dan pasir.

Natan tidak mengungkapkan nilai keseluruhan pekerjaan TPT. 

Namun, hitungan Floresa, total nilainya mencapai Rp94.250.000.

Natan berkata, meski TPT sudah dikerjakan, PT Cipta Jaya Piranti belum membayarkan kewajibannya senilai Rp21.500.000 untuk membayar upah pekerja serta material batu dan pasir. 

Padahal, berdasarkan kesepakatan pembayaran mestinya dilakukan  setelah dua hari masa kerja.

Untuk mengerjakan TPT itu, Natan merekrut 22 tenaga kerja yang dibayar dengan sistem borongan, Rp150 ribu per meter kubik.

“Para pekerja dan pemilik material tagih terus upahnya,” katanya.

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA