‘Jangan Lupa, Kita Tetap Menjaga Lingkungan,’ Kata Direktur BPO-LBF yang Babat Hutan di Labuan Bajo untuk Proyek Pariwisata

Pernyataan itu dinilai bertentangan dengan apa yang dilakukan BPO-LBF

Baca Juga

Floresa.co – Berbicara dalam acara peletakan batu pertama sebuah kawasan pemukiman modern di Labuan Bajo baru-baru ini, Shana Fatina, direktur Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] meminta para investor agar memperhatikan kelestarian lingkungan saat melakukan pembangunan di Labuan Bajo.

Sebab, kata Shana, keindahan alam adalah salah satu nilai jual pariwisata Labuan Bajo.

“Kita butuh banyak lagi teman-teman yang bisa membangun Labuan Bajo. Masyarakat siap untuk terlibat juga. Dan, jangan lupa, kita tetap menjaga lingkungan,” katanya saat acara peletakan batu pertama pembangunan Kaliwatu Residence pada 8 September.

Pernyataan Shana itu menuai kritikan beragam pihak, yang membandingkan apa yang telah dilakukan BPO-LBF di Labuan Bajo. Salah satunya adalah proyek pariwisata di kawasan seluas 400 hektar di Hutan Bowosie, hutan yang selama ini menjadi penyangga kota Labuan Bajo.

Proyek itu sejak awal menuai protes dari berbagai elemen sipil yang khawatir terhadap dampak alih fungsi kawasan hutan itu terhadap Labuan Bajo. Kekhawatiran itu seakan terjawab ketika hujan lebat pada April dan memicu banjir dari kawasan di Hutan Bowosie yang sudah digusur untuk pembangunan jalan oleh BPO-LBF.

Sejumlah rumah warga di kampung sekitar, seperti Racang Buka, menjadi sasaran. Banjir juga terjadi di sejumlah wilayah lain di Labuan Bajo. Banjir itu disebut warga sebagai banjir pertama yang terparah di ibukota Kabupaten Manggarai Barat itu.

Dengan rekam pengalaman demikian, Heri Jem, salah satu warga Racang Buka menilai pernyataan Shana pada 8 September justru sudah dikangkangi sendiri oleh lembaga yang dipimpinnya.

Ia menyebut, proyek BPO-LBF di Hutan Bowosie itu “jelas-jelas merusak lingkungan,” yang sebetulnya hendak dilawan Shana lewat pernyataanya.

Ia juga menyebut penguasaan kawasan itu oleh BPO-LBF “merusak tatanan kehidupan masyarakat” di sekitar yang sudah bertahun-tahun menduduki kawasan itu, tetapi tidak mendapat pengakuan dari negara.

Di sisi lain, BPO-LBF dengan landasan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018 mendapat karpet merah untuk menguasainya.

Ia juga mengingatkan bahwa sampai saat ini titik simpul penyelesaian masalah itu belum jelas dan “berpotensi besar menimbulkan konflik berkepanjangan, baik terhadap BPO-LBF maupun antarsesama masyarakat.”

Sementara itu, Doni Parera salah satu aktivis di Labuan Bajo mengatakan, BPO-LBF “yang rusakkan hutan lalu anjurkan dan harapkan orang lain untuk merawat dan melestarikan hutan.”

“Lembaga ini jadi mirip lembaga politik yang penuh kontroversi, plin plan,” katanya.

Padahal, kata dia, lembaga tersebut dibentuk untuk akselerasi dan kordinasi pembangunan pariwisata di Flores, khususnya Labuan Bajo.

“Tujuannya supaya pariwisata bisa mengangkat kemakmuran warga NTT, Flores khususnya,” katanya.

Ia menyatakan, pernyataan Shana menjadi “sekedar bebunyian yang keluar di depan banyak pihak ketika ada seremoni.”

Sementara itu, akun Instagram @KawanBaikKomodo merespons Shana dengan menulis “operator lapangan” pengrusakan Hutan Bowosie “meminta para investor agar perhatikan kelestarian lingkungan saat melakukan pembangunan di Labuan Bajo.”

Menyinggung proyek di Hutan Bowosie, akun itu mengatakan, proyek itu “merusak alam Labuan Bajo dan tidak sesuai dengan prinsip pariwisata berkelanjutan,” sambil menambahkan sejumlah tagar seperti #SelamatkanHutanBowosie#SelamatkanHutamFlores,
#BuangOligarkiPadaTempatnya, dan #KakitanganOligarkiTidakTauMalu.

Floresa menghubungi Shana pada 11 September, meminta responsnya terhadap kritikan publik atas pernyataannya. Namun, ia hanya membaca pesan yang diikirimkan lewat WhatsApp.

Hutan Bowosie merupakan kawasan hutan alami yang membentang dari pinggir kota Labuan Bajo hingga kawasan Mbeliling yang oleh pemerintah diberi status sebagai hutan produksi.

Saat ini, BPO-LBF mengembangkan kawasan itu untuk bisnis pariwisata dan telah menamainya sebagai “Parapuar,” istilah dari Bahasa Manggarai yang berarti pintu gerbang hutan.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Menparekraf] Sandiaga Salahuddin Uno, didampingi Shana Fatinah; Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenparekraf, Henky Hotma Parlindungan Manurung – yang kemudian meninggal dunia pada 6 November dan Menteri Kesehatan Singapura, Ong Ye Kung mengunjungi Parapuar pada 29 Oktober 2022.

Saat itu Menteri Sandi  mengatakan menargetkan total investasi 800 miliar di empat zona yang hendak dikembangkan.

Promosi bisnis pariwisata ini dilakukan sementara warga seperti di Racang Buka masih terus mempersoalkan penguasaan kawasan itu oleh BPO-LBF.

Dari dari data yang dimiliki Floresa, selain warga Racang Buka, kelompok warga lain yang juga ikut mengklaim sebagian dari kawasan itu adalah warga di Lancang dan Nggorang.

Kelompok Serikat Petani Indonesia juga pernah ikut mengklaim sekitar 700 hektar lahan di Hutan Bowosie.

Pada April 2022, ketika BPO-LBF memulai pembukaan jalan ke kawasan itu dengan penjagaan ketat oleh polisi dan tentara, puluhan warga Racang Buka sempat melakukan penghadang terhadap alat-alat berat. Namun, beberapa warga kemudian direpresi, salah satunya sempat ditahan.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini