Floresa.co – Polisi sedang menyelidiki dugaan korupsi proyek budi daya sayuran hidroponik yang dibangun Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPOP-LBF] di Labuan Bajo dan dibiarkan telantar usai panen perdana pada pertengahan 2021.
Seorang staf lembaga itu telah diperiksa oleh penyidik pada unit Tindak Pidana Korupsi [Tipikor] Polres Manggarai Barat pada Senin, 19 Juni 2023.
AKP Ridwan, Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat mengatakan, pihaknya akan secepatnya mengagendakan pemeriksaan sejumlah pihak terkait lainnya di lingkup BPOP-LBF.
“Secepatnya akan kita agendakan,” kata Ridwan seperti dikutip Voxntt.com.
Ia mengatakan, pihaknya masih menunggu perhitungan jumlah kerugian negara akibat dugaan korupsi itu.
Sempat Digadang-gadang Jadi Salah Satu Pemasok Sayur
Kebun hidroponik itu teletak di Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo.
Saat dirintis pada awal 2021, Direktur Utama BPOP-LBF, Shana Fatina mengatakan budidaya hidroponik adalah salah satu strategi untuk menopang sektor agrowisata melalui teknologi pertanian di Labuan Bajo.
Ia juga mengatakan akan membuka pelatihan dan praktik langsung bagi semua orang yang ingin belajar cara berkebun dengan teknik hidroponik.
Shana mengklaim, hasil dari produk-produk lokal terutama sayur hidroponik tersebut akan disalurkan ke hotel, restoran, dan kapal di Labuan Bajo.
Mubazir Usai Panen Perdana
Kelompok Karang Taruna Saung Minak di Desa Golo Bilas, yang mengelola kebun itu kemudian melakukan panen perdana pada 27 Mei 2021.
Namun, sebagaimana digambarkan dalam laporan Floresa pada Desember tahun lalu, kebun itu dibiarkan mubazir usai panen perdana tersebut.
Kebun yang tepatnya berada di pinggir jalan Labuan Bajo-Ruteng, dekat RSUD Komodo itu dipenuhi semak. Tidak ada lagi tanda-tanda aktivitas pembudidayaan sayur.
Beberapa ekor sapi tampak diikat di dalam lokasi tersebut. Jejak-jejak dan kotoran sapi memenuhi tempat berukuran sekitar 30×30 meter itu.
Empat tenda dengan tiang-tiangnya dari baja ringan sudah tidak terawat, dengan bagian atap sudah banyak berlubang.
Iwan, warga Desa Golo Bilas yang diangkat menjadi pendamping untuk 20 orang anggota yang semula didaulat untuk mengelola kebun itu mengaku bahwa mereka hanya diminta untuk bekerja dan tidak mengetahui jumlah anggaran pembangunan hidroponik dan untuk pengelolaannya.
“Kami terima jadi fasilitasnya. Terkait anggaran, kami tidak tahu. Mereka dari BPO-LBF yang siapkan itu. Tidak ada kaitan dengan kami,” jelasnya ketika itu.
Proyek-proyek Bermasalah
Proyek kebun hidroponik ini hanyalah satu dari sejumlah proyek yang diduga bermasalah di tengah masifnya proyek infrastruktur pemerintah di Labuan Bajo yang dikembangkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional [KSPN].
Floresa juga melaporkan soal tempat pengolahan limbah bahan berbahaya beracun [B3] yang dibanguan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pada 2021 dengan anggaran Rp7 miliar juga hingga sekarang tidak dimanfaatkan.
Bangunan yang berada di atas lahan 2,65 hektar di Hutan Bowosie itu sudah rusak, dipenuhi rumput liar.
Proyek lainnya yang juga sedang diselidiki Kejaksaan Tinggi NTT adalah proyek persemaian modern milik KLHK yang membabat bagian lain di kawasan Hutan Bowosie.
Dalam proyek kontroversial yang dikerjakan sejak Agustus 2021 dengan anggaran Rp42 miliar itu, Kejaksaan menaksir kerugian negara mencapai Rp12,7 miliar.
Diklaim untuk mendukung pariwisata super premium Labuan Bajo sebagai etalase Indonesia, proyek ini merupakan salah satu dari program 1.000 kebun bibit desa yang tengah dijalankan KLHK di seluruh Indonesia.